Jumat, 24 April 2020

AC 'Andrean Carissa Story' (Oneshoot #3)


Holaaa aku balik lagi dengan oneshoot terbaru yang masih segarr banget 😁
Oiya selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan 😊😊
Semoga amal ibadah kita di bulan ramadan ini diterima oleh Allah swt, amiin ya rabbal alamin

Gak usah banyak cuap2 lagi kayaknya yah, selamat membaca dan enjoy!

****

Aku, Carissa Evangelita, sudah mengibarkan bendera perang kepada musuh bebuyutanku sekaligus seniorku di sekolah, Andrean Julio. Sejak aku masuk sekolah SMA Cakrawala ini, aku selalu diganggu oleh seniorku—si Andre yang gila itu—entah karena alasan apa. Andre juga seringkali menjahiliku di tempat umum, dimana seringkali membuatku menjadi bahan gunjingan oleh satu sekolah karena itu. Aku sangat membenci Andre, aku tidak akan memaafkannya sebelum ia bersujud dihadapanku secara langsung.

Aku baru saja masuk ke dalam kelas ketika aku melihat teman-temanku sedang mengerumuni mejaku sambil berbisik-bisik. Aku mengerutkan dahiku bingung, namun tak menyuruti rasa penasaranku. Aku berjalan membelah kerumunan orang-orang yang sedang mengerumuni mejaku.

Carissa jelek!

Carissa bodoh, wleee!

Aku menggeram marah melihat tulisan bernada ejekan itu di mejaku. Aku melirik semua teman-temanku yang menatapku dengan berbagai macam tatapan yang aku benci. Ada yang menatapku kasihan, ada juga yang menatapku dengan sinis seakan tulisan di mejaku itu pantas untuk aku terima. Aku melempar tasku dengan kencang dan langsung keluar kelas mencari si pelaku yang sudah membuat pagiku menjadi hancur berantakan.

Aku tiba di kelas 12 IPA 2, aku langsung masuk begitu saja ke dalam kelas membuat semua orang disana menatapku dengan bingung.

“Andre, keluar lo! Jangan kayak banci bisanya ngumpet aja! Keluar lo!” Aku terteriak marah. Aku tau kalau perbuatanku ini sangat tidak sopan, terlebih lagi aku berteriak di kelas 12 dimana semuanya adalah seniorku.

Seorang lelaki berjalan menghampiriku dengan senyum tengilnya. “Santai mbak, jangan teriak-teriak. Nggak malu dilihat semua orang?” kata lelaki itu—Geovan—temannya si Andre.

“Bodo amat! Mana temen banci lo itu? Udah coret-coret meja orang nggak mau tanggung jawab lagi. Suruh dia keluar, cepetan!” kataku tidak sabaran. Geovan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Lalu ia menunjuk ke arah pojok di mana si kunyuk Andre sedang duduk santai di sana.

Aku berjalan menghampiri meja Andre dengan perasaan menggebu-gebu. Aku menggebrak mejanya dengan kencang, namun Andre tidak bereaksi apa-apa. “Heh, dasar banci! Kenapa lo coret-coret meja gue, hah? Lo kira meja gue kanvas lukis apa?!” bentakku kesal. Andre mengangkat wajahnya menatapku, aku masih mempertahankan muka sangarku, agar Andre tau bahwa aku tidak takut sama sekali kepadanya.

“Oh, ada Carissa si cewek populer sekolah? Kenapa pagi-pagi ke sini? Kangen sama aku ya?” kata Andre dengan nada menjengkelkan. Aku menggeram kesal, Andre ini selalu saja bisa membuatku naik darah setiap berhadapan dengannya.

“Nggak usah banyak bacot lo. Kenapa lo coret-coret meja gue? Apa alasan lo ngelakuin itu?” Aku terus menuntutnya untuk bicara to the point, karena aku tau kalau Andre akan berbicara bertele-tele untuk mengulur waktu.

“Apa? Gue nggak coret-coret meja lo, kok. Jangan nuduh gitu dong, sayang,” kata Andre sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku menggeram kesal, Andre tidak bisa diajak bicara baik-baik.

“Apapun itu, gue nggak akan maafin lo karena lo udah buat gue kesel dengan coret-coret meja gue.” Aku berbalik dan keluar dari kelas Andre dengan amarah yang membuncah.

***

Aku memasukkan semua buku pelajaran ke dalam tasku. Aku menghela napas lelah, sampai kapan aku akan terus diganggu oleh Andre dan tidak lagi di benci oleh semua semua siswa-siswi satu sekolah?

Riana, satu-satunya orang yang mau mendekatiku tanpa peduli dengan gosip tentangku yang sudah beredar di satu sekolah. Ana, panggilan akrabnya, terlihat iba melihatku yang terlihat murung sejak insiden pagi tadi.

“Ca, are you okay?” kata Ana terdengar khawatir. Aku menampilkan senyum terbaikku kepada Ana, aku tidak ingin membuat satu-satunya teman yang aku punya khawatir padaku.

“Nggak apa-apa kok, cuma sedikit capek aja.” Aku mencoba terlihat tegar, seperti biasanya. Namun kali ini aku merasa benar-benar sangat lelah dengan semua ini. Dengan tingkah Andre dan semua cibiran orang kepadaku, aku benar-benar lelah dan ingin mengakhirinya secepat mungkin.

“Nggak usah bohong, Ca. Gue tau lo sedih kan karena kejadian tadi pagi?” Mendengar suara lembut Ana membuat pertahananku hancur. Aku tak bisa membendung tangisanku hingga Ana memelukku untuk menenangkanku.

It’s okay, Ca. Keluarin semuanya, Ca, jangan ada yang lo pendem lagi,” kata Ana sambil menepuk punggungku. Aku bersyukur semua teman sekelasku sudah pulang semua, jadi aku bisa menangis dengan leluasa dan mencurahkan semua isi hatiku pada Ana.

Setelah tangisanku reda, Ana mengusap bahuku dengan senyum manis di wajahnya. “Udah merasa lebih baik?” tanya Ana, aku hanya mengangguk sambil sesegukan.

Ana menghela napas, sebelum berkata, “Gue juga nggak ngerti maksud Kak Andre itu apa. Kenapa dia getol banget jahilin lo, bikin lo kesel, bikin lo malu. Gue rasa Kak Andre itu nggak ada otak deh, Ca.” Aku mengerjapkan kedua mataku menatap Ana dengan kagum. Baru kali ini aku melihat Ana misuh-misuh seperti tadi. Pasalnya Ana ini cewek pendiam dan tenang, tidak pernah aku melihat dia terpancing emosi sampai seperti ini.

“Gue capek, Na. Gue capek setiap hari dijahilin terus sama Andre, gue capek jadi bahan gunjingan terus sama semua orang. Gue capek, Na. Apa salah gue? Bukan kemauan gue buat Andre ngejahilin gue sampai semua orang nuduh gue caper lah ke Andre dan bla bla bla. Kalau bisa, gue lebih milih nggak usah kenal sama Andre sekalian, biar hidup gue tenang.” Ana menganggukkan kepalanya, ia mengelus bahuku lagi.

“Udah jangan sedih, kalau Kak Andre buat ulah lagi sama lo, jangan kepancing emosi kayak sebelum-sebelumnya. Karena semakin lo terpancing emosi karena ulahnya, semakin Kak Andre seneng dan getol buat jahilin lo lagi.” Aku mengangguk dengan lemah. Mungkin kali ini aku harus mengikuti saran dari Ana. Mungkin dengan begitu, Andre bisa berhenti membuat ulah padaku dan hidupku akan lebih tenang.

***

Sudah satu minggu lebih hidupku lebih berwarna.  Andre tidak membuat ulah lagi yang dapat membuat emosiku tersulut. Sudah satu minggu ini juga gosip tentangku hilang begitu saja, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan kini aku memiliki banyak teman, membuat aku tak percaya. Bahkan aku sempat mengira ini semua hanyalah mimpi.

Aku masuk ke dalam kelas dan tersenyum melihat Ana yang sudah duduk manis di tempatnya. 

“Tumben pagi berangkatnya?” tanya Ana.

“Iya nih, lagi mood berangkat pagi,” balasku sambil tertawa.

“Sekarang udah nggak ada tas lo yang nyangkut di tiang bendera sama meja lo yang dicoret-coret lagi, makannya lo jadi semangat berangkat pagi?” kata Ana menggodaku. Aku memukul lengannya pelan, lalu melihat mejaku yang terlihat sangat bersih tanpa coretan kapur yang membuatku naik darah setiap melihatnya.

Aku mengusap mejaku dengan perasaan aneh. “Kenapa? Aneh karena Kak Andre nggak jahilin lo lagi? Merasa kehilangan gitu?” kata Ana iseng membuat aku memberengut kesal padanya.

“Apa sih, nggak gitu ya. Gue cuma seneng aja akhirnya meja gue nggak kotor lagi dan gue nggak harus bersihin setiap pagi,” jawabku dengan tenang. Merasa kehilangan sosok Andre? Pufttt… rasanya aku ingin muntah mendengar kalimat itu.

“Awas loh, nanti BJC lagi,” kata Ana.

Aku mengerutkan dahiku bingung. “Apaan tuh?”

“Benci jadi cinta!” Aku langsung menghujani Ana dengan pukulan mautku begitu ia mengatakan hal laknat itu.

“Udah ih, daripada lo marah-marah nggak jelas, mending anterin gue ke kantin.”

“Ngapain lo, mau bolos pelajaran?” Kali ini Ana mencubit lenganku gemas.

“Enak aja, gue laper belum sarapan.” Ana menarik lenganku secara paksa. Kami berdua berjalan ke kantin dengan santai, karena jam pelajaran pertama masih lama. Kami melewati kelas 12 IPA 2, seketika aku berhenti dan refleks melirik ke dalam kelas itu.

Ana menatapku dengan bingung. “Kenapa berhenti?” tanyanya membuat aku langsung tersadar dan langsung menggeleng. “Nggak apa-apa,” jawabku dengan canggung.

Ana membeli dua roti, satu untuknya dan satu lagi untukku. Bukan aku yang minta dibelikan, tapi Ana sendiri yang selalu membelikan satu untukku juga. Kami memutuskan untuk berjalan memutar melewati lapangan sekolah ke kelas. Entahlah, aku hanya sedang ingin sedikit berjalan-jalan saja.

Namun aku dan Ana melihat kerubunan orang yang sedang berdiri di tengah-tengah lapangan.  “Ada apa sih rame-rame begitu?” tanya Ana. Aku hanya menggeleng sama bingungnya dengan Ana.

“Mau liat nggak?” Ana mengajakku untuk mendekat ke arah kerubunan itu.

“Maaf, ini ada apa rame-rame begini ya?” tanya Ana pada salah satu siswi yang sedang ikut melihat juga.

“Oh ini kayaknya ada yang mau nyatain cinta deh,” jawab siswi itu. Aku dan Ana saling pandang dengan berbagai pertanyaan memenuhi isi kepala kami. Kemudian siswi itu melihat ke arah name tag di seragamku.

“Lo Carissa Evangelita?” tanya siswi itu dengan heboh. Aku menganggukkan kepala, walau didalam benakku aku bertanya-tanya mengapa siswi itu terlihat sangat antusias melihat name tagnya?

“Kayaknya cowok itu mau nyatain cinta ke lo, deh!” Aku membulatkan mataku tak percaya, sedangkan Ana tersedak roti yang sedang ia makan.

“Apa? Tapi siapa dan kenapa bisa?” tanyaku bingung sekaligus takut. Apalagi ini? Setelah hidupku mulai tenang, siapa lagi yang membuat ulah kekanakan begini?

Aku dan semua orang yang ada disana memikik ketika mendengar suara nyaring yang berasal dari mic yang menyala.

“Tes satu dua … tes satu dua, oke sip. Ehm … mohon maaf kepada kepala sekolah dan ibu bapak guru karena sudah menganggu waktu mengajar Anda sebentar. Gue disini ingin mengutarakan perasaan gue yang sebenarnya kepada seseorang.” Aku terdiam sambil mendengar suara orang itu dengan seksama.

“Gue mau minta maaf kepada cewek yang gue suka karena selama ini sudah membuat dia seringkali marah dan kesal dengan tingkah laku gue yang konyol ini.” Semua orang yang menontonnya tertawa mendengar guyonan orang itu. Namun aku tetap diam dan mendengar kelanjutan dari perkataan orang itu.

“Sejak pertama dia masuk ke sekolah ini, gue udah tertarik sama dia. Berkali-kali gue berusaha buat deketin cewek itu, tapi gue nggak tau caranya bagaimana. Sampai akhirnya gue punya ide buat ngejahilin dia cuma untuk menarik perhatiannya dan gue bisa deket sama dia.”

Tubuhku diam mematung. Ana menoleh ke arahku dengan wajah syok yang terlihat konyol. “Ca, kayaknya cewek yang di maksud itu lo deh,” kata Ana pelan. Aku masih belum bisa percaya ini, namun aku yakin suara ini adalah suara Andre.

“Tapi gue nggak pernah mikir bahwa apa yang gue lakuin itu membuat dia sedih dan membuat dirinya dibenci oleh semua orang. Kalau dia denger ini, gue mau minta maaf sama dia atas apa yang gue lakukan selama ini. Gue emang bodoh, pengecut, semua sumpah serapah yang pernah dia ucapin ke gue itu benar, tapi semua itu gue lakukan karena gue suka sama dia.” Aku langsung menahan napasku begitu mendengar perkataan Andre yang sangat mengejutkan.

 “Gue cinta lo, Carissa Evangelita. Jadi apa lo mau maafin gue dan terima cinta gue?” kata Andre menggema membuat riuh semua orang disana. Aku membelalakan mataku tak percaya dengan pernyataan cinta konyol yang Andre katakan. Ana menyenggol lenganku sambil memberikan isyarat lewat matanya.

“Sana samperin, kasihan loh Kak Andre udah bikin malu dirinya sendiri cuma buat lo, Ca.” Ana tersenyum sambil meyakinkan diriku. Aku menatap Ana ragu, “Gue takut,” gumamku pelan.

“Buat apa takut? Kak Andre udah gentle loh ngomong di depan semua orang. Sekarang giliran lo buat menjawab perasaan Kak Andre.” Ana meminta salah satu siswa disana untuk bergeser kesamping agar aku dapat berjalan ke depan dimana Andre berada.

Satu per satu orang-orang disana membuka jalan untukku. Aku merasa malu, apalagi saat semua orang berteriak riuh saat aku berjalan melewati mereka. Tanpa aku sadari, aku sudah berada di depan dan berhadapan langsung dengan Andre. Bisa kulihat Andre nampak kaget melihat kedatanganku.

Aku mengusap lenganku canggung, tak biasa dengan perhatian orang banyak kepadaku. “Carissa, kenapa lo bisa ada disini?” tanya Andre masih dengan wajah syoknya.

“Lo kira ngomong pake mic gitu nggak akan kedengeran sama gue? Sampai kampung sebelah juga kedengeran kali suara jelek lo itu,” kataku dengan wajah gemas. Andre ini biasanya terlihat sangat menjengkelkan, tapi entah kenapa hari ini aku merasa Andre sangat menggemaskan?

“Ma-maaf kalau buat lo nggak nyaman—”

“Hem, sangat nggak nyaman.” Diam-diam aku melirik wajah Andre yang nampak sedih membuat aku ingin tertawa.

“Ya maafin gue, Ca. Selama ini gue emang rese, nyebelin dan masih banyak lagi.”

Aku mengangguk, “Iya.”

“Dan gue juga suka buat lo marah sampai lo pernah mengutuk gue.”

“Iya.”

“Sebenernya waktu lo nangis di kelas itu gue lihat dan denger semuanya. Lo yang tersiksa selama ini karena sikap gue, lo yang jadi bahan gosip orang-orang disini, gue tau semuanya. Karena itu gue merasa menyesal dan berusaha memperbaiki sikap gue dan alasan itu selama satu minggu ini gue menjauh dari lo.”

Aku tertegun mendengar penuturannya. Jadi Andre mendengar semua curahan hatinya kepada Ana saat di kelas waktu itu?

“Jadi Carissa, maukah lo terima maaf dan cinta gue?” kata Andre membuat perasaanku menjadi tidak karuan. Aku mendengar semua orang yang menonton adegan tadi berteriak untuk aku menerima cinta Andre. Aku menjadi bimbang, aku menoleh ke arah Ana yang menganggukkan kepala kepadaku.
Aku kembali menatap Andre yang tengah harap-harap cemas menunggu jawabanku.

“Lo tau kan gue itu benci jadi pusat perhatian?”

“Iya, gue tau.”

“Kalau lo tau buat apa lo ngelakuin ini? Emangnya lo kira gue bakal suka apa?”

Andre menatapku dengan wajah merasa bersalah. “Maaf, gue emang bodoh.”

“Ya lo emang bodoh, nyerempet goblok. Tapi gue suka sama lo.” Wajah Andre yang tadinya murung menatapku dengan ekspresi terkejut.

“Apa lo bilang?”

“Ya Andre, gue juga cinta sama lo.” Andre langsung melempar mic di tangannya ke sembarang arah dan langsung memelukku dengan erat.

“Ya ampun, Ca. Gue udah jantungan banget takut lo nolak gue,” kata Andre dengan suara bergetar. 

Aku membalas pelukannya tak kalah erat. “Makannya kalau suka itu, ngomong. Jangan pakai cara bikin gue kesel sama lo, kan nggak gentle namanya.”

Andre melepas pelukannya dan menatapku dengan senyum bahagia di wajahnya. “Gue janji nggak akan bikin lo nangis dan sedih lagi. Gue akan selalu menjaga lo seumur hidup gue, Ca.” Aku mengangguk lalu kami tertawa bersama. Tepat saat itu juga, kepala sekolah dan para guru datang dan membubarkan kami semua sambil membawa satpam sekolah dengan pentungan di tangannya.

****

Hari ini upload ini aja dulu yaaa, gk janji bakal update teratur karena bentrok juga sama wattpad dan daily life aku 😉

Terimakasih dan jangan bosen untuk baca ceritaku yaaaw~



Baca Selengkapnya