Nahh ini Part II nya yaa, hutangku sudah lunasss 😃
Happy Reading!
***
Seorang
laki-laki berperawakan tinggi, dengan janggut tipis yang menghiasi wajahnya
tengah serius berkutat dengan computer di hadapannya. Sesekali ia membenarkan
letak kacamatanya yang merosot, kemudian ia kembali fokus pada layar komputer.
“Woy, Adam!
Istirahat kali, makan yuk!” Panggil salah satu temannya. “Ok, bentar gua
beres-beres dulu.” Adam segera menyimpan hasil kerjanya sebelum ia lupa dan
berakhir harus lembur untuk menyelesaikan semua tumpukan dokumen yang
membuatnya muak. Adam kini telah bekerja di salah satu perusahaan swasta.
Setelah lulus kuliah, ia langsung melamar dan akhirnya di terima. Memang Adam
sangat bersyukur akan hal itu, karena beberapa teman karibnya sampai sekarang
masih banyak yang belum mendapat pekerjaan.
“Tumpukan
dokumen neraka lagi dari pak bos?” Kata Dion, teman SMAnya dengan jahil. “Iya,
tumpukan neraka jahanam yang sangat gua benci!” Semua temannya tertawa
mendengar kekesalan Adam.
“Siapa
suruh jadi karyawan kesayangan bos? Gua sih ya meskipun di gaji gede pun, ogah
gua jadi kesayangannya. Yang ada nantinya kayak elo, mulai muncul tanda-tanda
gila di umur yang masih muda.” Adam menoyor kepala Dion sebal. Memang congornya
si Dion itu tidak ada tandingannya.
“Makan
siang di kantin kali ini apa ya?” Tanya Adam sambil menyentuh perut ratanya
yang terasa meraung-meraung meminta makanan. “Iya nih, gue bosen sih kalau
menunya sampai semur daging lagi.” Adam mengangguk setuju, begitu juga dengan
teman-teman yang lainnya.
“Coba geh
Ja, lo intip dulu makan siangnya apa di kantin.” Kata Dion sambil mendorong
tubuh Ezza.
“Loh kok jadi saya, bang?” Kata Ezza bingung.
“Udah nurut
aja, lo akan anak magang disini. Turutin apa kata senior lo ya, Ja.” Ezza
akhirnya mengalah dan berjalan menuju kantin yang ada di depan. Adam melirik
Dion sambil berdecak, “Senior-Junioran nih ceritanya? Kalau begitu gua bisa
dong nyuruh-nyuruh elo, secara gua kan lebih senior dari lo dua tahun.” Kata
Adam meledek membuat mulut Dion bungkam.
“Ya elah,
canda doang kali, bercandaaa.” Adam menyingkirkan mulut Dion dari wajahnya.
“Jijik kali, Yon. Gue masih normal ya buat nerima cipokan dari lo! Gue masih
demen sama cewek!” Gerutu Adam jijik sekaligus kesal.
“Halah sok
jijik lo. Kalau emang demen sama cewek, masih normal, kenapa lo nggak pernah
pacaran? Kasian kali si Karin lo cuekin gitu aja, lama-lama dia gua embat juga
nih.”
“Ambil aja,
gue nggak ada rasa apa-apa sama Karin.” Dion melongo mendengar perkataan Adam
yang kelewat cuek itu.
“Yakin lo?
Cewek secantik dan se-famous sejagad kantor lo tolak gitu aja?” Tanya Dion tak
percaya, Adam mengangguk mantap. Ezza yang baru saja kembali dari kantin
menghampiri segerombolan seniornya. “Gawat bang!” Katanya dengan mimik wajah yang serius.
Adam dan
Dion langsung mendekat ke arah Izza dengan wajah panik. “Hah? Apaan yang gawat,
Ja?” Tanya Adam dan Dion bersamaan. “Itu bang, gawat menu makan siang kali ini
semur daging lagi.” Kata Ezza yang akhirnya mendapat jitakan dari Adam dan
Dion.
“Keterlaluan
lo, kira gue ada apa.” Kata Adam jengkel.
“Emang
ampas lo, Ja!” Sahut Dion kesal. Ezza hanya menatap para seniornya itu dengan
senyum malu, lalu mereka akhirnya memutuskan untuk makan siang di luar. Mereka
memilih restoran padang yang lumayan terkenal di sekitar kantor.
Saat Adam
tengah memesan, ia melihat sosok Revan yang juga terlihat ingin makan di
restoran padang juga. “Bang Revan!” Panggil Adam sambil tersenyum lebar. Revan
yang merasa dipanggil menoleh kearah Adam. “Adam? Kebetulan sekali, mau makan
disini juga lo?” Revan dan Adam saling berjabat tangan.
“Iya bang,
sama temen-temen gue. Abang jauh banget cari makan sampai sini? Ini bukan
daerah kantor abang, kan?”
“Memang
bukan, gue lagi pengen banget nasi padang disini. Ngidam gue, Dam.” Revan dan Adam
tertawa bersama. “Gimana kerja lo? Aman?” Tanya Revan.
“Sejauh ini
aman sih, bang. Cuma lagi dibuat repot aja sama bos, semua pekerjaan dialihkan
ke gue semua.” Keluh Adam membuat Revan tertawa geli. “Lo itu bukan
sekretarisnya, tapi semua pekerjaan dikerjakan sama lo semua? Fix ini mah,
kayaknya bos lo naksir sama lo deh, Dam.” Kata Revan iseng membuat tubuh Adam
bergidik ngeri.
“Ih
amit-amit, bang! Gue masih normal ya,” Jawabnya dengan wajah kesal. Revan
seketika ingat sesuatu, ia mengeluarkan surat undangan dari dalam paper bag
yang ia bawa. “Oh iya, nih.” Revan memberikan surat itu kepada Adam.
“Apa nih?
Undangan?”
“Iya, gue
mau nikah Sabtu minggu ini.”
“Serius lo,
bang? Kok nggak pernah ngabarin gue sih? Apa jangan-jangan lo ngehamilin cewek
lo ya?” Mulut Adam langsung di tarik oleh Revan. “Enak aja lo kalau ngomong.
Gue brengsek juga nggak mau melakukan perbuatan bejat kayak gitu, haram.”
Adam
menyengir, “Iya deh, pak ustadz.”
Seketika
Adam teringat sosok Nada. “Apa Nada datang juga ke pernikahan abang?” Tanya
Adam dengan wajah sendu. “Tentu saja datang, Nada kan adik gue.” Revan ikut
merasakan kesedihan dari raut wajah Adam.
“Lo dateng
ya? Lo harus ketemu sama Nada,” Adam langsung menatap Revan terkejut. “Nggak
bisa, bang. Gue nggak bisa ketemu Nada setelah lima tahun lamanya dia
menghilang begitu aja. Gue nggak bisa—”
“Lo pasti
bisa, Dam. Lagi pula Nada selama ini ada di rumahnya kok, nggak menghilang
seperti yang lo katakan.” Adam menggeleng pelan. Bagaimana bisa ia bertemu
dengan gadis yang sudah mengacaukan hidupnya selama lima tahun lamanya?
“Dam, lo
sama Nada bukan lagi anak remaja yang masih labil dan dipenuhi oleh amarah. Lo
berdua sama-sama udah dewasa, seharusnya lo berdua bisa bertemu dan bicara
baik-baik tentang semuanya, tentang lima tahun yang lo rasa hidup lo hampa itu.
Lo jangan kayak anak kecil yang kabur tanpa mau menyelesaikan masalah lo. Lo
harus gentle, Dam, jangan pengecut kayak gini.” Jelas Revan berharap adik
tingkatnya ini mengerti dengan perkataannya.
Adam
meremas kedua sisi celananya. “Apa Nada mau bertemu sama gue, bang? Gue kira
Nada mutusin gue karena dia benci sama gue atau—”
“Nada nggak
benci sama lo, Dam, sama sekali. Justru itu Nada setuju buat bertemu sama lo di
pernikahan gue nanti.” Sedetik kemudian wajah Adam yang tadinya nampak gelap
mulai menunjukkan senyum tipisnya.
“Iya bang,
gue akan dateng ke pernikahan lo.”
“Nah gitu
dong, ini baru Adam yang gue kenal.” Kata Revan tersenyum bangga. Namun
kemudian Revan memasang wajah bimbang. Haruskah ia mengatakan hal yang sebenarnya
pada Adam tentang kondisi Nada yang sedang kritis?
“Dam, kalau
setelah pulang kerja lo ada waktu, gue mau ngobrol sama lo tentang sesuatu,
boleh?” Kata Revan membuat Adam merasakan aura yang sangat menegangkan dari
wajah Revan.
***
Adam masuk
kedalam rumahnya dengan keadaan lampu yang masih mati. Adam membuka sepatu dan
kaos kakinya, berjalan menuju kamarnya. Kamarnya terlihat sangat gelap, namun
Adam hanya menyalakan lampu di meja sebagai penerangan.
Adam duduk
di kursi meja itu, membuka laci dan mengambil sebuah buku diary berukuran
sedang yang bertuliskan ‘Diary Nada’. Adam membuka satu per satu halaman buku
diary itu, semuanya tidak ada yang aneh. Nada hanya menuliskan semua
kegiatannya di sekolah, dan momen bahagia bersama kedua orangtuanya.
Adam
mengusap wajahnya, menghapus jejak air mata yang entah kapan mengalir di
pipinya. Setelah selesai bekerja, Adam langsung pergi untuk bertemu dengan
Revan. Baru kali ini Revan mengajaknya bertemu untuk membicarakan hal yang
serius, maka dari itu Adam langsung pergi untuk menemuinya.
Disana
Adam melihat sosok Revan yang sedang melambaikan tangannya kearahnya. “Lama
bang? Sorry ya tadi gue harus beresin satu dokumen dulu.” Kata Adam merasa
menyesal. “Nggak apa-apa kali, santai aja.” Adam dan Revan duduk saling
berhadapan.
Revan
meneguk kopi hangatnya dan meletakkan cangkir itu dengan perlahan. “Gue mau
minta maaf sama lo sebelum gue kasih tau lo suatu hal.” Dahi Adam berkerut
bingung. “Ada apa sih, bang? Jangan bikin gue penasaran deh,” Kata Adam tak sabaran.
Revan
menghela napas sejenak, sebelum matanya menatap wajah Adam dengan raut serius.
“Alasan kenapa Nada mutusin lo lima tahun yang lalu, bukan karena Nada yang
benci sama lo atau dia udah nggak cinta sama lo.” Tubuh Adam langsung menegang,
tangannya yang saling bertautan bergetar sangat hebat.
“Ma-maksud
abang?”
“Dia
punya alasan sendiri, dan itu demi kebaikan lo, Dam. Lo inget waktu kelas satu
Nada sering jatuh sakit dan bolak-balik ke rumah sakit?” Adam mengangguk pelan.
Ya, saat itu ia dibuat sangat khawatir dengan kondisi Nada. “Setelah itu
penyakitnya semakin parah dan ternyata dokter mengatakan Nada mengidap kanker
payudara stadium 3.”
Bagai
tersambar petir, kepala Adam langsung kosong seketika. Jika ia punya riwayat
penyakit jantung, ia akan terkena serangan jantung dan pingsan saat itu juga.
“Saat
kelas dua, kanker yang bersarang di tubuh Nada semakin menjalar hingga ke
seluruh tubuhnya. Tidak ada satupun teman yang Nada beritahu tentang
kondisinya, ia terlalu takut, ia takut semua teman-temannya akan menjauhinya
jika ia memberitahu tentang penyakitnya. Begitu juga dengan lo, Dam. Nada
memutuskan untuk putus dari lo karena penyakitnya itu. Nada nggak mau jadi
beban buat lo, dan membuat lo malu karena punya cewek penyakitan kayak dia.
Sebenernya gue udah sering kasih nasehat ke dia, membujuknya agar nggak
mengambil keputusan yang bakal membuat hubungannya sama lo itu renggang. Tapi
Nada tetap kekeuh dan mengatakan bahwa keputusannya itu adalah yang terbaik
buat kalian.”
Adam
mengerjapkan matanya beberapa kali, air mata sudah menggenang di pelupuk
matanya. “Kenapa… kenapa Nada nggak mau jujur sama gue bang? Kenapa Nada
memendam semuanya dan nggak mau berbagi masalahnya sama gue?” Adam berkata
dengan suara bergetar. Wajahnya terlihat sangat kacau, Revan menjadi tak tega
melihatnya.
“Lo tau
kan sifat Nada, dia nggak akan pernah mau merepotkan orang lain. Nada pikir dia
bisa mengatasi semuanya sendirian, tapi nyatanya dia nggak bisa. Dia selalu
kesepian, dia membutuhkan seseorang yang bisa mengerti keadaannya, tapi siapa? Nggak
ada teman atau siapapun yang dapat menampung segala keluh kesahnya.” Adam
menggebrak meja dengan kencang, membuat seluruh perhatian orang menuju padanya.
“Gue
nggak ngerti bang. Selama lima tahun gue selalu ngira Nada benci sama gue,
sampai dia memutuskan untuk keluar dari sekolah. Selama ini gue selalu
menyalahkan diri gue sendiri, gue merasa melakukan kesalahan yang sangat fatal
hingga membuat Nada sampai memutuskan hubungan kami yang sudah terjalin selama
dua tahun lamanya. Nggak seharusnya Nada berpikiran seperti itu, gue… gue akan
selalu bersamanya, menemaninya selama yang dia mau. Gue nggak peduli Nada punya
penyakit mematikan, gue sama sekali nggak peduli bang! Gue cinta sama Nada,
cinta gue tulus banget sama dia.” Hancur sudah pertahanan yang Adam bangun.
Adam menampar wajahnya sendiri dengan banyaknya air mata yang mengalir di
pipinya.
Adam
kembali mengusap jejak air mata yang sudah kesekian kalinya. Ternyata selama
ini dirinyalah yang terlalu bodoh untuk menyimpulkan semua ini terlalu cepat.
Sudah dua tahun mereka menjalin kasih, tapi mengapa Adam sama sekali tidak
dapat memahami isi hati Nada? Mengapa dirinya seakan menutup mata dengan
masalah yang sedang menimpa gadis itu?
Adam baru
sadar, selama mereka berpacaran, seringkali Nada terlihat sedih dan hendak
mengatakan sesuatu padanya. Namun saat Adam bertanya, Nada dengan cerianya
mengatakan tidak ada apa-apa, dan Adam tidak bertanya apapun lagi setelah itu. Pasti Nada
saat itu sedih, ia ingin mengatakan semuanya pada Adam, namun Adam terlihat
tidak peduli padanya.
Adam
mengusap buku diary Nada dengan perlahan. “Maafkan aku, Nada. Maafkan aku…”
***
Nada
berkali-kali mengambil napas lalu menghembuskannya. Dirinya sangat gugup,
padahal sang empunya acara bukanlah dirinya. Sang empunya acara yang
sebenarnya, Revan, melihat kedatangan Nada dengan Mamanya langsung tersenyum
lebar.
“Tante,”
Tak lupa Revan mencium tangan Mama Nada dengan sopan. Mama Nada mengusap rambut
Revan penuh kasih saying. “Selamat ya atas pernikahan kamu.” Kata Mama Nada
dengan tulus. Revan ini sudah ia anggap sebagai putranya sendiri. Walaupun jauh
di dalam lubuk hatinya, Mama Nada menginginkan Revan untuk menjadi menantunya,
tapi pada akhirnya ia tidak bisa mengubah takdir untuk berpihak padanya.
“Makasih
Tante, makasih sudah mau datang ke pernikahan aku.” Mama Nada tersenyum, lalu
ia pamit untuk mengobrol dengan Mama Revan dan lainnya. Nada sangat kikuk
berhadapan langsung dengan Revan, terlebih lagi statusnya yang hari ini akan
segera menjadi milik orang lain.
“Kok aku
ngerasa aneh ya lihat Kakak pakai jas resmi begini?” Kata Nada memulai
percakapan. “Aneh apanya? Malah ganteng kali aku pakai jas ini,” Nada tersenyum
mengejek, lalu mereka berdua tertawa renyah.
“Ehmm…
congrats ya, Kak. Akhirnya Kakak bisa melepas masa lajang juga. Aku kira Kakak
bakal jadi perjaka seumur hidup.”
“Masya
Allah, Nad. Doanya jelek banget sih,” Nada tertawa, kemudian ia meraih tangan
Revan dan menggenggamnya erat. “Kakak harus bahagia ya sama Mbak Kia. Harus
jadi pasangan yang sakinah ma waddah warahmah, langgeng sampai kakek nenek.
Kalau Mbak Kia merajuk, Kakak harus sabar menghadapinya, jangan membalasnya
pakai amarah lagi. Karena perempuan terkadang egonya memang tinggi, jadi Kakak
harus lebih sabar dalam membimbing Mbak Kia.” Kata Nada sambil tersenyum manis.
“Ya ampun,
Nad. Sebenernya disini yang lebih tua aku atau kamu sih? Kok aku ngerasa kamu
kayak jadi Mbak aku ya?” Revan tertawa, namun Nada malah menekuk wajahnya
murung. “Aku berpesan sama Kakak karena aku takut nggak akan bisa mengatakannya
nanti. “ Kata Nada dengan suara pelan.
Revan dapat
menangkap wajah sedih Nada dan suaranya yang bergetar. Kenapa Revan merasa
perasaan takut sekaligus tak tenang melihat wajah Nada yang sedih itu?
“Kamu
ngomong apa sih? Kamu bisa sering-sering ceramahin aku kalau aku buat salah,
kalau aku lagi berantem sama Kia. Kamu bebas melakukan itu, Nad, kapanpun itu.”
Nada hanya
diam, membuat Revan sedikit khawatir. Namun sedetik kemudian wajah Nada kembali
ceria, “Iya, nanti aku bakal sering-sering omelin Kakak kalau sampai Mbak Kia
nangis!” Kata Nada dengan galak. Nada sudah kembali ke sifatnya seperti semula,
namun itu tidak membuat Revan merasa tenang.
“Nad, are
you okay? Kamu nggak lagi sakit, kan?” Tanya Revan sangat
khawatir. Nada mengerucutkan bibirnya lucu, lalu menggeleng cepat. “Nggak tuh,
aku sehat-sehat aja. Kakak kenapa sih? Jangan murung dong, ini kan hari
bahagianya Kak Revan, jadi Kakak harus selalu tersenyum seperti ini,” Nada
menarik kedua ujung bibir Revan sehingga membentuk sebuah senyuman.
Revan
menggenggam tangan Nada yang dingin dengan erat. “Kalau kamu merasa sakit,
kasih tau aku. Jangan pernah kamu memendamnya sendiri, mengerti?” Nada langsung
mengangguk. “Aye aye, captain!” Jawabnya sambil merentangkan tangannya
membentuk sebuah hormat. Setelah izin kepada Revan untuk bergabung dengan
Mamanya, perhatian Nada tertuju pada kue dan berbagai macam makanan yang ada di
meja.
Nada
meneguk air liurnya, perutnya terasa memberontak karena sejak mengikuti acara
ijab qobul pagi tadi, Nada hanya makan dua sendok saja, karena ia merasa tidak
nafsu makan. Dengan semangat Nada mengambil piring dan mengambil satu per satu
kue yang ada disana.
“Kebiasaan
kamu masih sama ya? Nggak takut gemuk badannya?” Nada terdiam dengan tubuh
mematung. Sebuah tangan kekar mengulur kearah pundaknya dan seketika tubuh
Nada berbalik menghadap orang itu. Pria berkulit sawo matang itu tersenyum
tipis, melihat piring yang dibawa Nada berisi banyak kue yang bermacam-macam.
“Setelah
lima tahun lamanya, kebiasaan kamu makan yang manis-manis masih belum berubah
ya?” Adam tersenyum lembut, membuat kinerja jantung Nada tak beraturan. “Hai,
Nad. Sudah lama semenjak lima tahun yang lalu kita tidak bertemu. Apa kabar?”
Tanya Adam dengan suara yang berubah, lebih berat dan maskulin.
“A-Adam?
Ke-kenapa kamu bisa kesini?” Kata Nada dengan terbata. Alis Adam terangkat
satu, “Aku di undang oleh bang Revan, aku kan teman satu tim basket saat
sekolah dulu.” Nada hanya diam, kepala menunduk malu. Bodoh kamu Nad! Tentu
saja Adam ada disini karena dia juga temannya Kak Revan!
“O-oh
begitu,” Jawab Nada malu-malu. Adam menatap wajah cantik Nada dengan pandangan
kerinduan yang teramat dalam. Benar kata Revan, wajah Nada sekarang lebih tirus
dan lebih pucat, beda sekali saat Nada masih sehat seperti dulu.
“Sudah lama
kita tidak bertemu, bagaimana kalau kita mengobrol di tempat yang lebih minim
keramaian?” Nada mengangkat kepalanya, belum sempat Nada menjawab permintaan
Adam, lelaki itu sudah terlebih dahulu menarik tangannya entah membawanya
kemana.
Adam
membawanya ke sebuah danau kecil dengan pohon besar yang rindang membuat
siapapun yang pernah kesini merasa tenang dan nyaman. Adam melepas tangan Nada
dan menatap gadis itu, “Kamu bisa duduk di rumput? Atau mau aku ambilkan kain
agar kamu bisa duduk?” Tanya Adam lembut.
Nada hanya
menggeleng, membuat senyum tipis di wajah Adam terbit. Kemudian Adam menyuruh
Nada untuk duduk diatas rumput yang kering. Mereka berdua sama-sama diam, lebih
menikmati pemandangan danau di hadapannya dengan angin yang sejuk membuat
mereka terhanyut dalam keheningan.
“Kamu,
“Kamu,”
Adam dan
Nada sama-sama menoleh, lalu Nada memalingkan wajahnya kearah lain gugup. Adam
tersenyum, “Kamu duluan, Nad.” Katanya membuat Nada perlahan melirik Adam
malu-malu.
“Kamu apa
kabar? Bagaimana keadaan orangtua mu? Apa mereka sehat?” Nada memberanikan
dirinya untuk memulai pembicaraan. Lama kelamaan hanya diam membuat suasana
menjadi canggung, dan Nada sangat tidak suka itu.
“Alhamdulillah
aku baik, kedua orangtua ku juga sehat semua. Bahkan mereka sekarang sedang
pergi ke puncak dan menginap disana selama satu minggu, aku saja nggak diajak
sama mereka.” Kata Adam pura-pura kesal. Nada tertawa pelan, namun Adam dapat
melihat senyum itu.
“Kamu
cantik kalau senyum. Sering-sering tersenyum ya, pada orang lain, dan denganku
juga.” Nada menatap Adam dengan wajah yang memerah. “Kamu juga apa kabar?
Setelah membuat aku sedih dan patah hati, apa hidup kamu bahagia?” Tanya Adam
tanpa menoleh pada Nada.
“A-aku
baik,” Jawab Nada terbata. Apakah Adam masih tidak bisa melupakan kejadian lima
tahun yang lalu? Tentu saja, mana bisa Adam lupa hari dimana Nada
mencampakannya dan meninggalkannya begitu saja tanpa alasan yang jelas.
“Aku rasa
kita harus mengobrol banyak apa yang telah terjadi setelah lima tahun lamanya.
Aku rasa telah melewatkan banyak hal darimu, dan semuanya.” Kata Adam kini
menatap kearah mata Nada dengan tatapan tajamnya.
Nada
menghela napas sejenak, jantungnya berdegup dengan kencang. “A-aku minta maaf
karena telah memutuskan hubungan kita secara sepihak. Aku minta maaf atas sikap
aku yang membuat kamu sakit, aku minta maaf karena keegoisan aku kamu selalu
menyalahkan diri kamu atas semua yang terjadi. Kamu nggak salah apa-apa, Dam,
aku yang bersalah dan aku pantas mendapat hukuman yang setimpal.” Nada meneteskan air
matanya. Nada ingin mengatakan semua itu pada Adam sejak dulu, namun selalu
tidak ada keberanian untuk mengutarakannya.
Adam
mengepalkan kedua tangannya, “Kamu tau darimana hidup aku selama lima tahun
belakangan ini?”
“Aku tau
semua dari Kak Revan,” Nada menundukkan kepalanya, sesekali mengusap air mata
yang mengalir di wajahnya. “Kamu curang, Nad. Kamu tau semua kehidupan
menyedihkan aku sedangkan aku sama sekali nggak tau kehidupan mu setelah kita
berpisah. Kamu tau kamu egois dan kamu nggak mau bertemu denganku dan
menjelaskan semuanya padaku?” Adam berkata dengan nafas yang terengah-engah.
Nada
menggeleng, tangisannya semakin kencang. “Maafin aku, Dam. Aku memang bodoh,
aku memang egois, aku menyesal, Dam. Maafin aku,” Nada menangis sambil
sesegukan. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis
sejadi-jadinya.
“Kamu tau
kenapa aku jatuh cinta sama kamu dan memutuskan untuk menjadikan kamu pacar aku
saat itu?” Tanya Adam, Nada hanya diam mendengarkan. “Aku merasa kamu itu
berbeda dari perempuan lain, Nad, kamu itu istimewa. Saat kamu menerima
cintaku, aku berjanji akan selalu melindungi kamu seumur hidupku. Bahkan aku
sudah memiliki rencana setelah lulus sekolah, aku berniat melamarmu menjadi
tunangan aku. Aku sudah bermimpi akan menjadi pendamping hidup kamu, tapi apa?
Tanpa sebab, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba kamu memutuskan hubungan kita
dan membuat aku hancur, sehancur-hancurnya.
Aku sakit, Nad, kamu memperlakukan aku seperti itu.” Mata Adam memerah,
air mata menggenang di pelupuk matanya.
Nada
semakin menangis pilu, membuat kepalanya sedikit pusing sampai perutnya terasa
mual. “Aku kira selama kita menjalin hubungan kamu sudah percaya penuh padaku.
Aku kira kamu akan mencurahkan segala isi hati kamu kepadaku jika kamu butuh
sandaran untuk segala masalah kamu. Aku kira hubungan kita sudah sedalam itu,
Nad, tapi nyatanya hanya aku yang merasakan itu. Kamu nggak sepenuhnya percaya
sama aku tentang rahasia kamu itu.”
Nada
menoleh, dengan wajahnya yang kacau ia menatap Adam dengan sendu. Adam
mendesah, setelah itu ia berkata, “Aku tau Nad, rahasia kamu. Penyakit kamu,
aku sudah tau semuanya. Kenapa, Nad? Kenapa kamu nggak kasih tau aku soal ini?
Kenapa kamu tega membiarkan aku seperti orang bodoh, Nad? Selama ini aku
mengira aku memiliki kesalahan yang fatal sehingga kamu meninggalkan aku
sendirian, tapi nyatanya bukan seperti itu. Alasan kamu memutuskan hubungan
kita karena penyakitmu itu, kan?”
Nada hanya
diam, ia tidak berani untuk menjawab. Jadi Adam sudah tau tentang penyakitnya,
ya? Apa Adam akan merasa jijik dengannya?
“Stop
berpikiran kalau aku akan menjauh dari kamu setelah aku mengetahui penyakit
kamu, Nad. Demi Tuhan, Nad, kalau kamu memberitahu aku sejak awal, aku akan
menjaga kamu Nad. Jangan kamu pikirkan omongan orang lain tentang kamu,
pikirkan tentang hubungan kita, tentang perasaan aku terhadap kamu.” Adam
menggenggam tangan kurus Nada dengan erat. “Nad, aku mohon, beri aku satu
kesempatan lagi. Aku mau bersama kamu, Nad, walau hanya sebentar saja. Aku mau
kita kembali seperti dulu, kembali menjadi Nada yang aku sayang.” Adam mengecup
tangan Nada, membuat gadis itu tak kuasa menahan tangisnya.
“Adam,”
Nada melepas tangan Adam. “Aku nggak bisa jadi wanita sempurna buat kamu,” Adam
menggeleng.
“Nggak
masalah,”
“Aku juga
nggak bisa masak, yang aku bisa cuma bikin kacau rumah.”
“Yang itu
aku udah tau,”
“Dan aku,
udah nggak bisa bertahan lama di dunia ini.” Kalimat yang keluar dari mulut
Nada membuat Adam menjatuhkan air matanya. “Kamu jangan ngomong kayak gitu,
Nad. Kamu bisa sembuh, aku akan bawa kamu ke dokter yang paling bagus di
manapun.” Adam meraih tangan Nada lagi, lalu menggenggamnya erat seakan takut
Nada akan melepasnya lagi.
Nada
tersenyum, “Penyakitku sudah parah, Dam. Aku jadi lebih sering jatuh sakit
karena penyakitku ini. Aku nggak mau nyusahin lelaki yang aku cinta. Aku nggak
mau jadi beban buat kamu, Adam.” Adam menarik tubuh rapuh Nada kedalam
pelukannya. Nada membalasnya tak kalah erat. Mungkin ini akan menjadi pelukan
terakhir mereka, sebelum ia pergi jauh kesana.
“Selalu
ingat ini, Dam. Seseorang harus tetap melanjutkan hidupnya walau dalam keadaan
yang terpuruk sekalipun. Jika aku sudah tidak ada, kamu harus bisa bangkit,
jangan terus bersedih yang akhirnya membuat hidup kamu jadi hancur. Aku nggak
akan tenang jika kamu terus menyalahkan diri kamu sendiri atas apa yang menimpa
aku, aku sangat nggak suka itu.” Adam semakin mengeratkan pelukannya.
“Aku nggak
mau, Nad, aku cuma butuh kamu.”
“Kamu nggak
bisa seperti ini, Dam. Kamu harus mendapatkan wanita yang lebih baik dan
pastinya lebih sehat dari aku. Aku akan senang jika kamu menemukan wanita
seperti itu, Dam.” Nada meringis, merasakan kepalanya yang terasa sakit seperti
seperti di tusuk oleh pisau.
“Inget
pesan aku sekali lagi, Dam. Kamu harus bisa merelakan aku pergi, kamu harus
segera melupakan aku, jika tidak aku akan merasa sangat sedih.” Setelah
mengatakan itu, kesadaran Nada tiba-tiba hilang. Nada ambruk di dalam dekapan
Adam yang membuat lelaki itu menjerit histeris.
***
Adam
membuka jendela kamarnya dan menghirup dalam-dalam udara pagi yang masuk kedalam rongga
pernapasannya. Adam tersenyum, hari ini sangat cerah. Sepertinya cocok untuk
Adam melakukan aktifitas seperti biasa, yaitu berolahraga.
Adam
mengganti pakaiannya dengan jaket olahraga dan celana pendek selutut. Ia
bergegas keluar kamarnya, namun gerakannya terhenti melihat buku diary Nada
yang tersimpan rapih di atas mejanya. Adam mendekat dan duduk di kursi, menatap
buku diary itu lekat-lekat.
Adam
membuka halaman satu per satu, sampai dimana ia melihat tulisannya di buku
diary milik Nada yang ia sengaja tulis untuk gadis itu.
Dear,
Nada
Apa
kabar? Apa hari ini kamu bersenang-senang disana? Bersama beberapa temanmu?
Kalau kamu tanya kabarku, maka aku akan selalu menjawab, kabarku sangat baik. Karena kamu sangat tidak suka jika aku sedih berlarut-larut, kan?
Kalau kamu tanya kabarku, maka aku akan selalu menjawab, kabarku sangat baik. Karena kamu sangat tidak suka jika aku sedih berlarut-larut, kan?
Nada,
setelah kepergianmu ke tempat yang jauh disana, hidupku terasa hampa. Seakan
aku bertanya pada diriku sendiri, pada Tuhan. Mengapa aku dilahirkan ke dunia
ini? Apa gunanya aku hidup jika tidak ada kamu disisiku, Nad? Aku hancur Nad,
aku bohong selalu mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya sudah tiga
tahun sejak kepergianmu, aku sama sekali tidak merasa baik. Setiap hari aku
selalu teringat tentangmu, tentang kenangan bahagia kita dulu.
Kamu
ingat, kamu selalu marah-marah jika aku selalu mengatakan bahwa aku mencintaimu
sebanyak tiga puluh kali? Sebesar itu cintaku sama kamu, Nad. Kamu adalah
nafasku, kamu adalah hidupku. Dunia sangat tidak adil meninggalkanku seorang
diri tanpa kamu disisiku. Berkali-kali aku mencoba untuk bangkit seperti
saranmu saat itu padaku, tapi berulang kali juga aku selalu gagal. Jika aku
tidak melihat Mama yang selalu menangis melihatku, aku pasti kini sudah hancur,
Nad.
Ini
surat yang kesekian kalinya aku tulis hanya untukmu. Semoga kali ini kamu
membacanya dan muncul di mimpi aku seperti yang terakhir kali. Aku takut Nad,
aku merasa mulai melupakan wajah kamu. Maka dari itu tolong, muncul lah ke
dalam mimpiku dan kita akan bersenang-senang disana.
Aku mencintaimu, selalu
dan selamanya.
Adam
menutup buku diary Nada dengan senyum terukir di wajahnya. Sejak kematian Nada
tiga tahun lalu, Adam selalu rajin menulis sebuah surat untuk Nada, walaupun ia
tau jika Nada yang sudah tenang disana tidak akan membacanya. Tapi Adam selalu
berharap, walaupun Nada sudah jauh disana, cinta dan doanya akan selalu
bersamanya. Adam yakin, Nada tau seberapa besar cintanya pada gadis itu.
Semoga
kamu selalu bahagia disana, sayangku, Nada.
***
Yokk mari kita menangis berjamaah yokkk ðŸ˜
Aku pas ngetik ini jujur nggak nyangka bisa jadi kayak gini. Terus aku juga nggak sadar pas lagi ngetik, aku ikutan nangis yak? T.T
Berakhir sudah cerita Nada dan Adam~ Walaupun gak happy ending, tetep puas atau malah kecewa sama endingnya? Oh ya aku pumya ide nih, baru ide loh yaa. Gimana kalau aku buat prequel nya Adam sama Nada? Adakah yang mau baca? Masih rencana ini loh ya, gk tau jadi atau enggak wkwkwk
Terimakasih dan tunggu di tulisan-tulisan ku selanjutnyaaa~




