Selasa, 31 Maret 2020

Surat Untuk Nada (Part II END)


Nahh ini Part II nya yaa, hutangku sudah lunasss 😃

Happy Reading!

***

Seorang laki-laki berperawakan tinggi, dengan janggut tipis yang menghiasi wajahnya tengah serius berkutat dengan computer di hadapannya. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya yang merosot, kemudian ia kembali fokus pada layar komputer.

“Woy, Adam! Istirahat kali, makan yuk!” Panggil salah satu temannya. “Ok, bentar gua beres-beres dulu.” Adam segera menyimpan hasil kerjanya sebelum ia lupa dan berakhir harus lembur untuk menyelesaikan semua tumpukan dokumen yang membuatnya muak. Adam kini telah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Setelah lulus kuliah, ia langsung melamar dan akhirnya di terima. Memang Adam sangat bersyukur akan hal itu, karena beberapa teman karibnya sampai sekarang masih banyak yang belum mendapat pekerjaan.

“Tumpukan dokumen neraka lagi dari pak bos?” Kata Dion, teman SMAnya dengan jahil. “Iya, tumpukan neraka jahanam yang sangat gua benci!” Semua temannya tertawa mendengar kekesalan Adam.

“Siapa suruh jadi karyawan kesayangan bos? Gua sih ya meskipun di gaji gede pun, ogah gua jadi kesayangannya. Yang ada nantinya kayak elo, mulai muncul tanda-tanda gila di umur yang masih muda.” Adam menoyor kepala Dion sebal. Memang congornya si Dion itu tidak ada tandingannya.

“Makan siang di kantin kali ini apa ya?” Tanya Adam sambil menyentuh perut ratanya yang terasa meraung-meraung meminta makanan. “Iya nih, gue bosen sih kalau menunya sampai semur daging lagi.” Adam mengangguk setuju, begitu juga dengan teman-teman yang lainnya.

“Coba geh Ja, lo intip dulu makan siangnya apa di kantin.” Kata Dion sambil mendorong tubuh Ezza. 

“Loh kok jadi saya, bang?” Kata Ezza bingung.

“Udah nurut aja, lo akan anak magang disini. Turutin apa kata senior lo ya, Ja.” Ezza akhirnya mengalah dan berjalan menuju kantin yang ada di depan. Adam melirik Dion sambil berdecak, “Senior-Junioran nih ceritanya? Kalau begitu gua bisa dong nyuruh-nyuruh elo, secara gua kan lebih senior dari lo dua tahun.” Kata Adam meledek membuat mulut Dion bungkam.

“Ya elah, canda doang kali, bercandaaa.” Adam menyingkirkan mulut Dion dari wajahnya. “Jijik kali, Yon. Gue masih normal ya buat nerima cipokan dari lo! Gue masih demen sama cewek!” Gerutu Adam jijik sekaligus kesal.

“Halah sok jijik lo. Kalau emang demen sama cewek, masih normal, kenapa lo nggak pernah pacaran? Kasian kali si Karin lo cuekin gitu aja, lama-lama dia gua embat juga nih.”

“Ambil aja, gue nggak ada rasa apa-apa sama Karin.” Dion melongo mendengar perkataan Adam yang kelewat cuek itu.

“Yakin lo? Cewek secantik dan se-famous sejagad kantor lo tolak gitu aja?” Tanya Dion tak percaya, Adam mengangguk mantap. Ezza yang baru saja kembali dari kantin menghampiri segerombolan seniornya. “Gawat bang!” Katanya dengan mimik wajah yang serius.

Adam dan Dion langsung mendekat ke arah Izza dengan wajah panik. “Hah? Apaan yang gawat, Ja?” Tanya Adam dan Dion bersamaan. “Itu bang, gawat menu makan siang kali ini semur daging lagi.” Kata Ezza yang akhirnya mendapat jitakan dari Adam dan Dion.

“Keterlaluan lo, kira gue ada apa.” Kata Adam jengkel.

“Emang ampas lo, Ja!” Sahut Dion kesal. Ezza hanya menatap para seniornya itu dengan senyum malu, lalu mereka akhirnya memutuskan untuk makan siang di luar. Mereka memilih restoran padang yang lumayan terkenal di sekitar kantor.

Saat Adam tengah memesan, ia melihat sosok Revan yang juga terlihat ingin makan di restoran padang juga. “Bang Revan!” Panggil Adam sambil tersenyum lebar. Revan yang merasa dipanggil menoleh kearah Adam. “Adam? Kebetulan sekali, mau makan disini juga lo?” Revan dan Adam saling berjabat tangan.

“Iya bang, sama temen-temen gue. Abang jauh banget cari makan sampai sini? Ini bukan daerah kantor abang, kan?”

“Memang bukan, gue lagi pengen banget nasi padang disini. Ngidam gue, Dam.” Revan dan Adam tertawa bersama. “Gimana kerja lo? Aman?” Tanya Revan.

“Sejauh ini aman sih, bang. Cuma lagi dibuat repot aja sama bos, semua pekerjaan dialihkan ke gue semua.” Keluh Adam membuat Revan tertawa geli. “Lo itu bukan sekretarisnya, tapi semua pekerjaan dikerjakan sama lo semua? Fix ini mah, kayaknya bos lo naksir sama lo deh, Dam.” Kata Revan iseng membuat tubuh Adam bergidik ngeri.

“Ih amit-amit, bang! Gue masih normal ya,” Jawabnya dengan wajah kesal. Revan seketika ingat sesuatu, ia mengeluarkan surat undangan dari dalam paper bag yang ia bawa. “Oh iya, nih.” Revan memberikan surat itu kepada Adam.

“Apa nih? Undangan?”

“Iya, gue mau nikah Sabtu minggu ini.”

“Serius lo, bang? Kok nggak pernah ngabarin gue sih? Apa jangan-jangan lo ngehamilin cewek lo ya?” Mulut Adam langsung di tarik oleh Revan. “Enak aja lo kalau ngomong. Gue brengsek juga nggak mau melakukan perbuatan bejat kayak gitu, haram.”

Adam menyengir, “Iya deh, pak ustadz.”

Seketika Adam teringat sosok Nada. “Apa Nada datang juga ke pernikahan abang?” Tanya Adam dengan wajah sendu. “Tentu saja datang, Nada kan adik gue.” Revan ikut merasakan kesedihan dari raut wajah Adam.

“Lo dateng ya? Lo harus ketemu sama Nada,” Adam langsung menatap Revan terkejut. “Nggak bisa, bang. Gue nggak bisa ketemu Nada setelah lima tahun lamanya dia menghilang begitu aja. Gue nggak bisa—”

“Lo pasti bisa, Dam. Lagi pula Nada selama ini ada di rumahnya kok, nggak menghilang seperti yang lo katakan.” Adam menggeleng pelan. Bagaimana bisa ia bertemu dengan gadis yang sudah mengacaukan hidupnya selama lima tahun lamanya?

“Dam, lo sama Nada bukan lagi anak remaja yang masih labil dan dipenuhi oleh amarah. Lo berdua sama-sama udah dewasa, seharusnya lo berdua bisa bertemu dan bicara baik-baik tentang semuanya, tentang lima tahun yang lo rasa hidup lo hampa itu. Lo jangan kayak anak kecil yang kabur tanpa mau menyelesaikan masalah lo. Lo harus gentle, Dam, jangan pengecut kayak gini.” Jelas Revan berharap adik tingkatnya ini mengerti dengan perkataannya.

Adam meremas kedua sisi celananya. “Apa Nada mau bertemu sama gue, bang? Gue kira Nada mutusin gue karena dia benci sama gue atau—”

“Nada nggak benci sama lo, Dam, sama sekali. Justru itu Nada setuju buat bertemu sama lo di pernikahan gue nanti.” Sedetik kemudian wajah Adam yang tadinya nampak gelap mulai menunjukkan senyum tipisnya.

“Iya bang, gue akan dateng ke pernikahan lo.”

“Nah gitu dong, ini baru Adam yang gue kenal.” Kata Revan tersenyum bangga. Namun kemudian Revan memasang wajah bimbang. Haruskah ia mengatakan hal yang sebenarnya pada Adam tentang kondisi Nada yang sedang kritis?

“Dam, kalau setelah pulang kerja lo ada waktu, gue mau ngobrol sama lo tentang sesuatu, boleh?” Kata Revan membuat Adam merasakan aura yang sangat menegangkan dari wajah Revan.

***

Adam masuk kedalam rumahnya dengan keadaan lampu yang masih mati. Adam membuka sepatu dan kaos kakinya, berjalan menuju kamarnya. Kamarnya terlihat sangat gelap, namun Adam hanya menyalakan lampu di meja sebagai penerangan.

Adam duduk di kursi meja itu, membuka laci dan mengambil sebuah buku diary berukuran sedang yang bertuliskan ‘Diary Nada’. Adam membuka satu per satu halaman buku diary itu, semuanya tidak ada yang aneh. Nada hanya menuliskan semua kegiatannya di sekolah, dan momen bahagia bersama kedua orangtuanya.

Adam mengusap wajahnya, menghapus jejak air mata yang entah kapan mengalir di pipinya. Setelah selesai bekerja, Adam langsung pergi untuk bertemu dengan Revan. Baru kali ini Revan mengajaknya bertemu untuk membicarakan hal yang serius, maka dari itu Adam langsung pergi untuk menemuinya.

Disana Adam melihat sosok Revan yang sedang melambaikan tangannya kearahnya. “Lama bang? Sorry ya tadi gue harus beresin satu dokumen dulu.” Kata Adam merasa menyesal. “Nggak apa-apa kali, santai aja.” Adam dan Revan duduk saling berhadapan.

Revan meneguk kopi hangatnya dan meletakkan cangkir itu dengan perlahan. “Gue mau minta maaf sama lo sebelum gue kasih tau lo suatu hal.” Dahi Adam berkerut bingung. “Ada apa sih, bang? Jangan bikin gue penasaran deh,” Kata Adam tak sabaran.

Revan menghela napas sejenak, sebelum matanya menatap wajah Adam dengan raut serius. “Alasan kenapa Nada mutusin lo lima tahun yang lalu, bukan karena Nada yang benci sama lo atau dia udah nggak cinta sama lo.” Tubuh Adam langsung menegang, tangannya yang saling bertautan bergetar sangat hebat.

“Ma-maksud abang?”

“Dia punya alasan sendiri, dan itu demi kebaikan lo, Dam. Lo inget waktu kelas satu Nada sering jatuh sakit dan bolak-balik ke rumah sakit?” Adam mengangguk pelan. Ya, saat itu ia dibuat sangat khawatir dengan kondisi Nada. “Setelah itu penyakitnya semakin parah dan ternyata dokter mengatakan Nada mengidap kanker payudara stadium 3.”

Bagai tersambar petir, kepala Adam langsung kosong seketika. Jika ia punya riwayat penyakit jantung, ia akan terkena serangan jantung dan pingsan saat itu juga.

“Saat kelas dua, kanker yang bersarang di tubuh Nada semakin menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Tidak ada satupun teman yang Nada beritahu tentang kondisinya, ia terlalu takut, ia takut semua teman-temannya akan menjauhinya jika ia memberitahu tentang penyakitnya. Begitu juga dengan lo, Dam. Nada memutuskan untuk putus dari lo karena penyakitnya itu. Nada nggak mau jadi beban buat lo, dan membuat lo malu karena punya cewek penyakitan kayak dia. Sebenernya gue udah sering kasih nasehat ke dia, membujuknya agar nggak mengambil keputusan yang bakal membuat hubungannya sama lo itu renggang. Tapi Nada tetap kekeuh dan mengatakan bahwa keputusannya itu adalah yang terbaik buat kalian.”

Adam mengerjapkan matanya beberapa kali, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. “Kenapa… kenapa Nada nggak mau jujur sama gue bang? Kenapa Nada memendam semuanya dan nggak mau berbagi masalahnya sama gue?” Adam berkata dengan suara bergetar. Wajahnya terlihat sangat kacau, Revan menjadi tak tega melihatnya.

“Lo tau kan sifat Nada, dia nggak akan pernah mau merepotkan orang lain. Nada pikir dia bisa mengatasi semuanya sendirian, tapi nyatanya dia nggak bisa. Dia selalu kesepian, dia membutuhkan seseorang yang bisa mengerti keadaannya, tapi siapa? Nggak ada teman atau siapapun yang dapat menampung segala keluh kesahnya.” Adam menggebrak meja dengan kencang, membuat seluruh perhatian orang menuju padanya.

“Gue nggak ngerti bang. Selama lima tahun gue selalu ngira Nada benci sama gue, sampai dia memutuskan untuk keluar dari sekolah. Selama ini gue selalu menyalahkan diri gue sendiri, gue merasa melakukan kesalahan yang sangat fatal hingga membuat Nada sampai memutuskan hubungan kami yang sudah terjalin selama dua tahun lamanya. Nggak seharusnya Nada berpikiran seperti itu, gue… gue akan selalu bersamanya, menemaninya selama yang dia mau. Gue nggak peduli Nada punya penyakit mematikan, gue sama sekali nggak peduli bang! Gue cinta sama Nada, cinta gue tulus banget sama dia.” Hancur sudah pertahanan yang Adam bangun. Adam menampar wajahnya sendiri dengan banyaknya air mata yang mengalir di pipinya.

Adam kembali mengusap jejak air mata yang sudah kesekian kalinya. Ternyata selama ini dirinyalah yang terlalu bodoh untuk menyimpulkan semua ini terlalu cepat. Sudah dua tahun mereka menjalin kasih, tapi mengapa Adam sama sekali tidak dapat memahami isi hati Nada? Mengapa dirinya seakan menutup mata dengan masalah yang sedang menimpa gadis itu?

Adam baru sadar, selama mereka berpacaran, seringkali Nada terlihat sedih dan hendak mengatakan sesuatu padanya. Namun saat Adam bertanya, Nada dengan cerianya mengatakan tidak ada apa-apa, dan Adam tidak bertanya apapun lagi setelah itu. Pasti Nada saat itu sedih, ia ingin mengatakan semuanya pada Adam, namun Adam terlihat tidak peduli padanya.

Adam mengusap buku diary Nada dengan perlahan. “Maafkan aku, Nada. Maafkan aku…”

***

Nada berkali-kali mengambil napas lalu menghembuskannya. Dirinya sangat gugup, padahal sang empunya acara bukanlah dirinya. Sang empunya acara yang sebenarnya, Revan, melihat kedatangan Nada dengan Mamanya langsung tersenyum lebar.

“Tante,” Tak lupa Revan mencium tangan Mama Nada dengan sopan. Mama Nada mengusap rambut Revan penuh kasih saying. “Selamat ya atas pernikahan kamu.” Kata Mama Nada dengan tulus. Revan ini sudah ia anggap sebagai putranya sendiri. Walaupun jauh di dalam lubuk hatinya, Mama Nada menginginkan Revan untuk menjadi menantunya, tapi pada akhirnya ia tidak bisa mengubah takdir untuk berpihak padanya.

“Makasih Tante, makasih sudah mau datang ke pernikahan aku.” Mama Nada tersenyum, lalu ia pamit untuk mengobrol dengan Mama Revan dan lainnya. Nada sangat kikuk berhadapan langsung dengan Revan, terlebih lagi statusnya yang hari ini akan segera menjadi milik orang lain.

“Kok aku ngerasa aneh ya lihat Kakak pakai jas resmi begini?” Kata Nada memulai percakapan. “Aneh apanya? Malah ganteng kali aku pakai jas ini,” Nada tersenyum mengejek, lalu mereka berdua tertawa renyah.

“Ehmm… congrats ya, Kak. Akhirnya Kakak bisa melepas masa lajang juga. Aku kira Kakak bakal jadi perjaka seumur hidup.”

“Masya Allah, Nad. Doanya jelek banget sih,” Nada tertawa, kemudian ia meraih tangan Revan dan menggenggamnya erat. “Kakak harus bahagia ya sama Mbak Kia. Harus jadi pasangan yang sakinah ma waddah warahmah, langgeng sampai kakek nenek. Kalau Mbak Kia merajuk, Kakak harus sabar menghadapinya, jangan membalasnya pakai amarah lagi. Karena perempuan terkadang egonya memang tinggi, jadi Kakak harus lebih sabar dalam membimbing Mbak Kia.” Kata Nada sambil tersenyum manis.

“Ya ampun, Nad. Sebenernya disini yang lebih tua aku atau kamu sih? Kok aku ngerasa kamu kayak jadi Mbak aku ya?” Revan tertawa, namun Nada malah menekuk wajahnya murung. “Aku berpesan sama Kakak karena aku takut nggak akan bisa mengatakannya nanti. “ Kata Nada dengan suara pelan.

Revan dapat menangkap wajah sedih Nada dan suaranya yang bergetar. Kenapa Revan merasa perasaan takut sekaligus tak tenang melihat wajah Nada yang sedih itu?

“Kamu ngomong apa sih? Kamu bisa sering-sering ceramahin aku kalau aku buat salah, kalau aku lagi berantem sama Kia. Kamu bebas melakukan itu, Nad, kapanpun itu.”

Nada hanya diam, membuat Revan sedikit khawatir. Namun sedetik kemudian wajah Nada kembali ceria, “Iya, nanti aku bakal sering-sering omelin Kakak kalau sampai Mbak Kia nangis!” Kata Nada dengan galak. Nada sudah kembali ke sifatnya seperti semula, namun itu tidak membuat Revan merasa tenang.

“Nad, are you okay? Kamu nggak lagi sakit, kan?” Tanya Revan sangat khawatir. Nada mengerucutkan bibirnya lucu, lalu menggeleng cepat. “Nggak tuh, aku sehat-sehat aja. Kakak kenapa sih? Jangan murung dong, ini kan hari bahagianya Kak Revan, jadi Kakak harus selalu tersenyum seperti ini,” Nada menarik kedua ujung bibir Revan sehingga membentuk sebuah senyuman.

Revan menggenggam tangan Nada yang dingin dengan erat. “Kalau kamu merasa sakit, kasih tau aku. Jangan pernah kamu memendamnya sendiri, mengerti?” Nada langsung mengangguk. “Aye aye, captain!” Jawabnya sambil merentangkan tangannya membentuk sebuah hormat. Setelah izin kepada Revan untuk bergabung dengan Mamanya, perhatian Nada tertuju pada kue dan berbagai macam makanan yang ada di meja.

Nada meneguk air liurnya, perutnya terasa memberontak karena sejak mengikuti acara ijab qobul pagi tadi, Nada hanya makan dua sendok saja, karena ia merasa tidak nafsu makan. Dengan semangat Nada mengambil piring dan mengambil satu per satu kue yang ada disana.

“Kebiasaan kamu masih sama ya? Nggak takut gemuk badannya?” Nada terdiam dengan tubuh mematung. Sebuah tangan kekar mengulur kearah pundaknya dan seketika tubuh Nada berbalik menghadap orang itu. Pria berkulit sawo matang itu tersenyum tipis, melihat piring yang dibawa Nada berisi banyak kue yang bermacam-macam.

“Setelah lima tahun lamanya, kebiasaan kamu makan yang manis-manis masih belum berubah ya?” Adam tersenyum lembut, membuat kinerja jantung Nada tak beraturan. “Hai, Nad. Sudah lama semenjak lima tahun yang lalu kita tidak bertemu. Apa kabar?” Tanya Adam dengan suara yang berubah, lebih berat dan maskulin.

“A-Adam? Ke-kenapa kamu bisa kesini?” Kata Nada dengan terbata. Alis Adam terangkat satu, “Aku di undang oleh bang Revan, aku kan teman satu tim basket saat sekolah dulu.” Nada hanya diam, kepala menunduk malu. Bodoh kamu Nad! Tentu saja Adam ada disini karena dia juga temannya Kak Revan!

“O-oh begitu,” Jawab Nada malu-malu. Adam menatap wajah cantik Nada dengan pandangan kerinduan yang teramat dalam. Benar kata Revan, wajah Nada sekarang lebih tirus dan lebih pucat, beda sekali saat Nada masih sehat seperti dulu.

“Sudah lama kita tidak bertemu, bagaimana kalau kita mengobrol di tempat yang lebih minim keramaian?” Nada mengangkat kepalanya, belum sempat Nada menjawab permintaan Adam, lelaki itu sudah terlebih dahulu menarik tangannya entah membawanya kemana.

Adam membawanya ke sebuah danau kecil dengan pohon besar yang rindang membuat siapapun yang pernah kesini merasa tenang dan nyaman. Adam melepas tangan Nada dan menatap gadis itu, “Kamu bisa duduk di rumput? Atau mau aku ambilkan kain agar kamu bisa duduk?” Tanya Adam lembut.

Nada hanya menggeleng, membuat senyum tipis di wajah Adam terbit. Kemudian Adam menyuruh Nada untuk duduk diatas rumput yang kering. Mereka berdua sama-sama diam, lebih menikmati pemandangan danau di hadapannya dengan angin yang sejuk membuat mereka terhanyut dalam keheningan.

“Kamu,

“Kamu,”

Adam dan Nada sama-sama menoleh, lalu Nada memalingkan wajahnya kearah lain gugup. Adam tersenyum, “Kamu duluan, Nad.” Katanya membuat Nada perlahan melirik Adam malu-malu.

“Kamu apa kabar? Bagaimana keadaan orangtua mu? Apa mereka sehat?” Nada memberanikan dirinya untuk memulai pembicaraan. Lama kelamaan hanya diam membuat suasana menjadi canggung, dan Nada sangat tidak suka itu.

“Alhamdulillah aku baik, kedua orangtua ku juga sehat semua. Bahkan mereka sekarang sedang pergi ke puncak dan menginap disana selama satu minggu, aku saja nggak diajak sama mereka.” Kata Adam pura-pura kesal. Nada tertawa pelan, namun Adam dapat melihat senyum itu.

“Kamu cantik kalau senyum. Sering-sering tersenyum ya, pada orang lain, dan denganku juga.” Nada menatap Adam dengan wajah yang memerah. “Kamu juga apa kabar? Setelah membuat aku sedih dan patah hati, apa hidup kamu bahagia?” Tanya Adam tanpa menoleh pada Nada.

“A-aku baik,” Jawab Nada terbata. Apakah Adam masih tidak bisa melupakan kejadian lima tahun yang lalu? Tentu saja, mana bisa Adam lupa hari dimana Nada mencampakannya dan meninggalkannya begitu saja tanpa alasan yang jelas.

“Aku rasa kita harus mengobrol banyak apa yang telah terjadi setelah lima tahun lamanya. Aku rasa telah melewatkan banyak hal darimu, dan semuanya.” Kata Adam kini menatap kearah mata Nada dengan tatapan tajamnya.

Nada menghela napas sejenak, jantungnya berdegup dengan kencang. “A-aku minta maaf karena telah memutuskan hubungan kita secara sepihak. Aku minta maaf atas sikap aku yang membuat kamu sakit, aku minta maaf karena keegoisan aku kamu selalu menyalahkan diri kamu atas semua yang terjadi. Kamu nggak salah apa-apa, Dam, aku yang bersalah dan aku pantas mendapat hukuman yang setimpal.” Nada meneteskan air matanya. Nada ingin mengatakan semua itu pada Adam sejak dulu, namun selalu tidak ada keberanian untuk mengutarakannya.

Adam mengepalkan kedua tangannya, “Kamu tau darimana hidup aku selama lima tahun belakangan ini?”

“Aku tau semua dari Kak Revan,” Nada menundukkan kepalanya, sesekali mengusap air mata yang mengalir di wajahnya. “Kamu curang, Nad. Kamu tau semua kehidupan menyedihkan aku sedangkan aku sama sekali nggak tau kehidupan mu setelah kita berpisah. Kamu tau kamu egois dan kamu nggak mau bertemu denganku dan menjelaskan semuanya padaku?” Adam berkata dengan nafas yang terengah-engah.

Nada menggeleng, tangisannya semakin kencang. “Maafin aku, Dam. Aku memang bodoh, aku memang egois, aku menyesal, Dam. Maafin aku,” Nada menangis sambil sesegukan. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sejadi-jadinya.

“Kamu tau kenapa aku jatuh cinta sama kamu dan memutuskan untuk menjadikan kamu pacar aku saat itu?” Tanya Adam, Nada hanya diam mendengarkan. “Aku merasa kamu itu berbeda dari perempuan lain, Nad, kamu itu istimewa. Saat kamu menerima cintaku, aku berjanji akan selalu melindungi kamu seumur hidupku. Bahkan aku sudah memiliki rencana setelah lulus sekolah, aku berniat melamarmu menjadi tunangan aku. Aku sudah bermimpi akan menjadi pendamping hidup kamu, tapi apa? Tanpa sebab, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba kamu memutuskan hubungan kita dan membuat aku hancur, sehancur-hancurnya.  Aku sakit, Nad, kamu memperlakukan aku seperti itu.” Mata Adam memerah, air mata menggenang di pelupuk matanya.

Nada semakin menangis pilu, membuat kepalanya sedikit pusing sampai perutnya terasa mual. “Aku kira selama kita menjalin hubungan kamu sudah percaya penuh padaku. Aku kira kamu akan mencurahkan segala isi hati kamu kepadaku jika kamu butuh sandaran untuk segala masalah kamu. Aku kira hubungan kita sudah sedalam itu, Nad, tapi nyatanya hanya aku yang merasakan itu. Kamu nggak sepenuhnya percaya sama aku tentang rahasia kamu itu.”

Nada menoleh, dengan wajahnya yang kacau ia menatap Adam dengan sendu. Adam mendesah, setelah itu ia berkata, “Aku tau Nad, rahasia kamu. Penyakit kamu, aku sudah tau semuanya. Kenapa, Nad? Kenapa kamu nggak kasih tau aku soal ini? Kenapa kamu tega membiarkan aku seperti orang bodoh, Nad? Selama ini aku mengira aku memiliki kesalahan yang fatal sehingga kamu meninggalkan aku sendirian, tapi nyatanya bukan seperti itu. Alasan kamu memutuskan hubungan kita karena penyakitmu itu, kan?”

Nada hanya diam, ia tidak berani untuk menjawab. Jadi Adam sudah tau tentang penyakitnya, ya? Apa Adam akan merasa jijik dengannya?

“Stop berpikiran kalau aku akan menjauh dari kamu setelah aku mengetahui penyakit kamu, Nad. Demi Tuhan, Nad, kalau kamu memberitahu aku sejak awal, aku akan menjaga kamu Nad. Jangan kamu pikirkan omongan orang lain tentang kamu, pikirkan tentang hubungan kita, tentang perasaan aku terhadap kamu.” Adam menggenggam tangan kurus Nada dengan erat. “Nad, aku mohon, beri aku satu kesempatan lagi. Aku mau bersama kamu, Nad, walau hanya sebentar saja. Aku mau kita kembali seperti dulu, kembali menjadi Nada yang aku sayang.” Adam mengecup tangan Nada, membuat gadis itu tak kuasa menahan tangisnya.

“Adam,” Nada melepas tangan Adam. “Aku nggak bisa jadi wanita sempurna buat kamu,” Adam menggeleng.

“Nggak masalah,”

“Aku juga nggak bisa masak, yang aku bisa cuma bikin kacau rumah.”

“Yang itu aku udah tau,”

“Dan aku, udah nggak bisa bertahan lama di dunia ini.” Kalimat yang keluar dari mulut Nada membuat Adam menjatuhkan air matanya. “Kamu jangan ngomong kayak gitu, Nad. Kamu bisa sembuh, aku akan bawa kamu ke dokter yang paling bagus di manapun.” Adam meraih tangan Nada lagi, lalu menggenggamnya erat seakan takut Nada akan melepasnya lagi.

Nada tersenyum, “Penyakitku sudah parah, Dam. Aku jadi lebih sering jatuh sakit karena penyakitku ini. Aku nggak mau nyusahin lelaki yang aku cinta. Aku nggak mau jadi beban buat kamu, Adam.” Adam menarik tubuh rapuh Nada kedalam pelukannya. Nada membalasnya tak kalah erat. Mungkin ini akan menjadi pelukan terakhir mereka, sebelum ia pergi jauh kesana.

“Selalu ingat ini, Dam. Seseorang harus tetap melanjutkan hidupnya walau dalam keadaan yang terpuruk sekalipun. Jika aku sudah tidak ada, kamu harus bisa bangkit, jangan terus bersedih yang akhirnya membuat hidup kamu jadi hancur. Aku nggak akan tenang jika kamu terus menyalahkan diri kamu sendiri atas apa yang menimpa aku, aku sangat nggak suka itu.” Adam semakin mengeratkan pelukannya.

“Aku nggak mau, Nad, aku cuma butuh kamu.”

“Kamu nggak bisa seperti ini, Dam. Kamu harus mendapatkan wanita yang lebih baik dan pastinya lebih sehat dari aku. Aku akan senang jika kamu menemukan wanita seperti itu, Dam.” Nada meringis, merasakan kepalanya yang terasa sakit seperti seperti di tusuk oleh pisau.

“Inget pesan aku sekali lagi, Dam. Kamu harus bisa merelakan aku pergi, kamu harus segera melupakan aku, jika tidak aku akan merasa sangat sedih.” Setelah mengatakan itu, kesadaran Nada tiba-tiba hilang. Nada ambruk di dalam dekapan Adam yang membuat lelaki itu menjerit histeris.

***

Adam membuka jendela kamarnya dan menghirup dalam-dalam udara pagi yang masuk kedalam rongga pernapasannya. Adam tersenyum, hari ini sangat cerah. Sepertinya cocok untuk Adam melakukan aktifitas seperti biasa, yaitu berolahraga.

Adam mengganti pakaiannya dengan jaket olahraga dan celana pendek selutut. Ia bergegas keluar kamarnya, namun gerakannya terhenti melihat buku diary Nada yang tersimpan rapih di atas mejanya. Adam mendekat dan duduk di kursi, menatap buku diary itu lekat-lekat.

Adam membuka halaman satu per satu, sampai dimana ia melihat tulisannya di buku diary milik Nada yang ia sengaja tulis untuk gadis itu.

Dear, Nada

Apa kabar? Apa hari ini kamu bersenang-senang disana? Bersama beberapa temanmu?
Kalau kamu tanya kabarku, maka aku akan selalu menjawab, kabarku sangat baik. Karena kamu sangat tidak suka jika aku sedih berlarut-larut, kan?

Nada, setelah kepergianmu ke tempat yang jauh disana, hidupku terasa hampa. Seakan aku bertanya pada diriku sendiri, pada Tuhan. Mengapa aku dilahirkan ke dunia ini? Apa gunanya aku hidup jika tidak ada kamu disisiku, Nad? Aku hancur Nad, aku bohong selalu mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya sudah tiga tahun sejak kepergianmu, aku sama sekali tidak merasa baik. Setiap hari aku selalu teringat tentangmu, tentang kenangan bahagia kita dulu.

Kamu ingat, kamu selalu marah-marah jika aku selalu mengatakan bahwa aku mencintaimu sebanyak tiga puluh kali? Sebesar itu cintaku sama kamu, Nad. Kamu adalah nafasku, kamu adalah hidupku. Dunia sangat tidak adil meninggalkanku seorang diri tanpa kamu disisiku. Berkali-kali aku mencoba untuk bangkit seperti saranmu saat itu padaku, tapi berulang kali juga aku selalu gagal. Jika aku tidak melihat Mama yang selalu menangis melihatku, aku pasti kini sudah hancur, Nad.
Ini surat yang kesekian kalinya aku tulis hanya untukmu. Semoga kali ini kamu membacanya dan muncul di mimpi aku seperti yang terakhir kali. Aku takut Nad, aku merasa mulai melupakan wajah kamu. Maka dari itu tolong, muncul lah ke dalam mimpiku dan kita akan bersenang-senang disana. 

Aku mencintaimu, selalu dan selamanya.

Adam menutup buku diary Nada dengan senyum terukir di wajahnya. Sejak kematian Nada tiga tahun lalu, Adam selalu rajin menulis sebuah surat untuk Nada, walaupun ia tau jika Nada yang sudah tenang disana tidak akan membacanya. Tapi Adam selalu berharap, walaupun Nada sudah jauh disana, cinta dan doanya akan selalu bersamanya. Adam yakin, Nada tau seberapa besar cintanya pada gadis itu.

Semoga kamu selalu bahagia disana, sayangku, Nada.


***

Yokk mari kita menangis berjamaah yokkk 😭
Aku pas ngetik ini jujur nggak nyangka bisa jadi kayak gini. Terus aku juga nggak sadar pas lagi ngetik, aku ikutan nangis yak? T.T

Berakhir sudah cerita Nada dan Adam~ Walaupun gak happy ending, tetep puas atau malah kecewa sama endingnya? Oh ya aku pumya ide nih, baru ide loh yaa. Gimana kalau aku buat prequel nya Adam sama Nada? Adakah yang mau baca? Masih rencana ini loh ya, gk tau jadi atau enggak wkwkwk

Terimakasih dan tunggu di tulisan-tulisan ku selanjutnyaaa~


Baca Selengkapnya

Senin, 30 Maret 2020

Surat Untuk Nada (Part I)


Alohaa~ 
Btw covernya jelek banget ya? Iya, soalnya aku sendiri yg buat, gak berbakat banget tangan ku Ya Allah T.T
Oh iya niatnya sih aku mau bikinnya oneshoot seperti biasa, cuma pas lagi ngetik kok tanganku gk bisa berhenti, dan terpaksa aku buat dua bagian buat cerita ini.

Happy Reading!

***

Seorang perempuan cantik berwajah pucat itu sedang tersenyum menatap langit yang gelap disertai dengan rintik-rintik hujan yang membahasi seluruh jalan. Nada, perempuan itu duduk di jendela kamarnya sambil bersenandung kecil. Dari dulu tempat di kamarnya ini selalu menjadi tempat ternyaman untuknya jika ia sedang menginginkan waktu sendirian.

Pintu kamarnya terbuka, namun Nada masih enggan untuk mengalihkan pandangannya pada hujan yang berjatuhan. "Nad, jangan duduk disitu terus. Nanti kamu bisa sakit sayang," Nada menoleh lalu tersenyum melihat malaikatnya yang melahirkannya dan selalu menjaganya sejak kecil hingga sekarang.

"Nada suka disini, Mah. Bisa menikmati udara sejuk dan merasakan hujan yang turun merupakan kebahagiaan aku." Kata Nada dengan senyum tipis. Mama menghela napas khawatir, pasalnya tubuh Nada sejak kecil sangat lemah, Nada kecil sangat suka keluar masuk rumah sakit akibat penyakitnya itu.

"Mamah tau, tapi Mamah takut kamu masuk angin."

"Jangan khawatir, Mah. Nada bisa jaga diri, Nada bukan anak kecil lagi." Jawab Nada berharap dengan begitu Mamanya akan sedikit tenang. "Baiklah, tapi Mama mohon jangan lama-lama duduk disana." Pesan Mama, Nada hanya mengangguk pelan.

Sebelum keluar, Mama berbalik dan kembali menoleh pada Nada. "Kak Revan besok mau berkunjung ke rumah. Katanya dia kangen sama kamu, Nad." Setelah mengatakan itu, Mama keluar dari kamar dan menutup pintu dengan perlahan.

Senyum tipis terbit di wajah pucatnya. Kak Revan... seseorang yang sangat berarti di hidup Nada. Seseorang yang Nada anggap sebagai pelindungnya, kstarianya karena Kak Revan lah yang selalu menjaga Nada selama ini jika Mama atau Ayahnya sedang tidak bersamanya.

"Aku harus memakai baju apa ya? Terus rambutku harus aku gerai atau aku ikat?" Gumam Nada pada diri sendiri. Akhirnya Nada beranjak dari tempat ternyamannya dan berjalan menuju lemari besar miliknya. Nada mengeluarkan setiap baju yang ada disana, di letakkan diatas kasurnya. Nada mengernyit bingung sambil tangannya mengusap dagunya, melihat beberapa pakaian yang tadi ia keluarkan.

"Kalau baju itu baru dua hari yang lalu aku pakai. Yang warna merah juga pernah aku pakai waktu jalan sama Kak Revan, hmm..." Nada bergumam bingung. Melirik lemari bajunya yang masih terbuka dengan satu alis terangkat. "Apa nggak ada baju yang lain?" Nada terus bergumam sambil memilah baju yang ada didalam lemari. Akhirnya pilihannya jatuh pada jumpsuit berwarna cream yang di pegangnya.

"Ini aja deh, Kak Revan belum pernah melihatku pakai baju ini." Katanya dengan senyum cerah. Nada memasukkan kembali baju yang tadi ia keluarkan kedalam lemari. Kemudian Nada berjalan ke meja riasnya dan duduk di kursi. nada menatap cermin yang memantulkan wajah cantiknya yang pucat, terlampau sangat pucat. Tangannya mengusap surai hitamnya yang panjangm mengarah keatas kepalanya lalu menarik rambutnya yang ternyata hanyalah wig.

Nada tersenyum tipis melihat kepalanya yang botak, tak ada sehelai rambut yang tersisa. Nada mengelus kepalanya yang pelontos itu dengan senyum getir. Matanya mulai berkaca-kaca, namun sekuat mungkin Nada menahannya. Ia tidak ingin tangisannya terdengar keluar dan membuat Mamanya sedih.

Sejak penyakit kanker payudaranya muncul saat SMA, Nada terus melakukan kontrol ke rumah sakit dan mengikuti kemoterapi. Akibat dari kemoterapi itu, rambut Nada mulai rontok dan perlahan habis menyisakan kepalanya yang botak. Sejak saat itu Nada mengalami stress, frustasi yang bersamaan. Nada tidak ingin masuk sekolah dan hanya mengurung diri di kamar tanpa berniat bertemu dengan siapapun, termasuk kedua orangtuanya.

Perempuan mana yang tidak sedih ketika rambutnya rontok sampai tidak tersisa satupun? Disaat remaja seusianya dapat bermain dengan teman sebayanya, yang Nada lakukan hanyalah berdiam diri di rumah. Kanker di tubuh Nada terus bertambah parah membuat Mama akhirnya memutuskan untuk Nada keluar dari sekolahnya dulu dan mengikuti home schooling. Sejak saat itu hidup Nada terasa hampa, sampai dimana kakak kelas yang dekat dengannya dulu, Revan, satu-satunya orang yang mengetahui tentang penyakitnya tidak pernah absen untuk berkunjung ke rumah Nada.

Nada tersenyum getir dan mengahpus jejak air mata di pipinya. Mengenang semua kenangan menyedihkannya dulu membuat lukanya yang telah lama terkubur akhirnya terbuka kembali. Nada menatap langit-langit kamarnya dengan wajah sendu, "Kapan semua ini akan berakhir?"

***

Pagi-pagi sekali Revan sudah berdiri di depan pintu rumah Nada. Ia membawa satu buket bunga dan sebatang coklat yang sangat di sukai Nada.

Tok tok

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikum salam," Mama Nada membuka pintu dan tersenyum melihat sosok Revan di depan rumahnya.

"Eh Tante," Revan menunduk dan mencium punggung tangan Mama Nada sopan. "Baru dateng? Macet ya di jalan?" Tanya Mama Nada sambil mempersilahkan Revan untuk masuk.

"Iya nih Tante, kejebak macet tadi."

Mama Nada melirik buket bunga dan coklat yang dibawa Revan. "Kamu bawa coklat dan bunga lagi? Nggak usah repot-repot Revan, Tante jadi nggak enak hati sama kamu." Revan ini setiap main ke rumah, selalu membawa buah tangan untuk Nada, sesekali membawa juga untuknya dan Ayah Nada.

"Nggak repot kok, Tante. Saya malah senang membawa kesukaannya Nada." Jawab Revan sambil tersenyum. Mama Nada menyuruh Revan untuk masuk duluan ke kamar Nada. Revan mengetuk pintu kamar yang terdapat gantungan lucu disana bertuliskan 'Kamar Nada'.

"Nad?" Revan melangkah secara perlahan ketika melihat sosok Nada tengah duduk di jendela kamarnya. Nada menoleh, lalu ia tersenyum dan turun dari jendela sambil berlari kecil menghampiri Revan. "Kak Revan? Kok lama banget datangnya?" Tanya Nada dengan senyum cerah.

Revan mengelus surai hitam Nada dengan lembut. "Maafin ya, tadi aku kejebak macet." Nada mengangguk, memaafkan keterlambatan Revan. Mata coklat Nada melirik coklat dan bunga yang ada ditangan Revan. "Ini buat aku?" Revan mengangguk, Nada langsung mengambil coklat dan bunga yang dibawa Revan.

"Bagaimana keadaan kamu hari ini? Sudah merasa baikan?" Revan berkata setelah ia dipersilahkan duduk di sofa dekat kasurnya. "Tidak terlalu sih, tapi aku lumayan merasa segar hari ini. Apa karena Kak Revan datang makanya aku menjadi sehat begini?" Kata Nada dengan jahil.

"Ih kamu nih, masih aja pinter nge-gombalnya." Revan dan Nada tertawa bersama. Revan menatap wajah pucat Nada dalam diam. Meskipun hari ini wajah Nada terlihat lebih cantik dan lebih segar karena ada polesan make up di wajahnya, tapi tidak menutupi wajahnya yang terlihat sangat pucat.

Revan sangat mengagumi sosok Nada sejak ia melihatnya saat gadis itu mengikuti MOS di sekolah. Saat itu Revan tertarik  melihat Nada dengan wajah pucatnya beradu argumen dengan salah satu panitia MOS. Selama Revan bersekolah disana, baru ada gadis yang pemberani seperti Nada. Maka dari itu Revan diam-diam selalu membuntutinya agar bisa dekat dengan Nada. Sebuah keberuntungan saat itu sedang berada di pihaknya. Saat itu Nada tak sengaja jatuh tersandung batu yang ada di jalan. Kebetulan Revan sedang lewat dan langsung menolong Nada kala itu dan mengantarnya sampai rumah.

Sejak kejadian itu, hubungan Revan dan Nada semakin dekat. Banyak gosip yang beredar jika dirinya dan Nada berpacaran tapi Revan selalu mengabaikannya. Karena perasaan Revan pada Nada hanya sebatas perasaan seorang kakak kepada adiknya. Revan tidak pernah melihat Nada sebagai sosok seorang wanita yang harus dicintainya.

"Kak? Kenapa sih liat muka aku sampai segitunya? Hari ini aku cantik banget ya sampai Kak Revan bengong liat aku?" Goda Nada lagi membuat Revan mencubit pipi Nada gemas. "Iya, kamu cantik banget hari ini. Kenapa sih harus dandan kayak gini? Nggak biasanya kamu begini, Nad."

"Kenapa? Kakak cemburu kalau sampai ada cowok lain yang kepincut sama aku?" Revan tertawa renyah, Nada ini bisa saja membuatnya tertawa geli mendengar setiap ocehannya. "Hmm... mungkin?" Jawab Revan pura-pura berpikir. Nada memberengut kesal,lalu memukul lengan Revan kencang.

"Gimana sama pekerjaan Kakak? Atasan Kakak masih suka nyusahin Kakak ya?" Tanya Nada sambil memakan coklat yang dibawa Revan. "Nggak kok, sekarang atasan Kakak nggak terlalu sering ngomel-ngomel. Mau tobat kali dia, takut kena azab."

Revan menatap ragu Nada, namun gadis itu diam-diam menangkap keraguan dari  sorot mata Revan. "Kenapa, Kak? Ada yang mau di omongin?" Revan akhirnya mengeluarkan sebuah undangan kepada Nada. "Ini, surat undangan buat kamu." Nada diam membeku. Dengan tangan bergetar ia menerima surat undangan itu dan membaca tulisannya dengan seksama.

"Jadi... Kakak akhirnya memilih Mbak Kia?" Tanya Nada dengan perasaan, entahlah, sangat rumit sekali. "Iya, Kia adalah wanita terakhir pilihan aku."Jawab Revan dengan wajah yang menatap lantai.

Nada membuka surat undangan itu, "Pernikahannya diadakan Sabtu minggu ini?" Revan mengangguk, "Iya, ijab qobulnya jam delapan pagi, kalau resepsi sekitar jam sembilan sampai lima sore."

Tanpa sepengetahuan Revan, Nada menghapus air matanya yang jatuh. Nada tidak sadar air matanya jatuh begitu saja. Hatinya sedikit sakit melihat Revan yang sebentar lagi akan menikah dengan wanita pilihannya. Entahlah, Nada merasa seperti kehilangan miliknya yang berharga akan di renggut oleh orang lain.

"Wah... aku nggak nyangka Kakak akan menikah secepat ini, dengan Mbak Kia lagi. Aku kira Mbak Kia nggak suka sama Kakak, habisnya aku sering melihat kalian selalu bertengkar jika sudah bertemu." Nada tersenyum menggoda sambil memukul pelan lengan Revan bercanda. Nada nampak bahagia, yang sebenarnya ia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan itu.

"Yah aku juga nggak akan mengira bahwa Kia adalah jodohku. Tapi aku bersyukur, Kia adalah wanita yang sangat baik dibalik sikapnya yang sangat bar-bar itu." Revan melengkungkan senyumnya, namun Nada merasa hatinya semakin sakit.

"Benar... Mbak Kia memang sangat baik. Aku saja selalu dibelikan Mbak Kia coklat, bukan cuma satu malah, tapi satu dus!" Kata Nada dengan mimik muka seperti anak kecil yang terlihat antusias. Revan membuka mulutnya kaget, "Oh ya? Kok aku nggak pernah tau?"

"Ngapain juga Kak Revan tau, memangnya penting?"

"Kamu benar juga sih, ha ha ha."

Nada diam sambil memperhatikan wajah tampan Revan yang sedang tersenyum. "Mbak Kia memang pantas menjadi pendamping Kak Revan. Aku hanya pesan, jangan pernah menyakitinya, jika Kakak sampai melakukan itu, Kakak akan berhadapan denganku." Ancam Nada dengan wajah galak.

"Iya iya, ampun nyai." Revan menggosokkan kedua telapak tangannya membuat Nada tertawa renyah.

"Oh iya, Adam juga di undang ke pernikahanku nani." Mendengar nama Adam, membuat tubuh Nada membeku. "A-Adam?" Ulangnya dengan suara bergetar.

"Iya, kamu nggak lupa kan kalau dia dan aku pernah satu tim basket, jadi aku mengundangnya dan teman-teman satu tim aku yang lainnya." Revan melirik Nada yang terlihat kaget dengan tubuh bergetar hebat.

"Nad, kamu nggak apa-apa kan?" Revan menyentuh tangan Nada yang dingin. Nada menoleh dengan wajah bingung. "Huh? Nggak apa-apa kok, Kak." Jawabnya mencoba untuk tersenyum.

Revan mendesah, "Nad, kamu harus bertemu dengan Adam. Setelah lima tahun kalian berpisah lima tahun, kamu tau apa yang terjadi dengan Adam?" Nada tanpa sadar menggeleng. "Adam seperti orang gila, Nad. Dia tidak pernah bisa fokus pada hal apapun, sampai saat tangannya cedera saat latihan dan akhirnya Adam nggak bisa mengikuti turnamen yang sangat dinantikannya. Adam sampai seperti itu cuma karena kamu, Nad, kamu mempengaruhinya sangat banyak." Revan mencoba menasehati agar Nada mau membuka dirinya lagi pada Adam.

Revan tau alasan mereka putus karena Nada yang lebih dulu memutuskan hubungan mereka dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Adam tentunya marah, lelaki itu sampai meminta Revan menjelaskan kenapa Nada bisa sampai memutuskan hubungannya secara sepihak.

"Adam masih cinta sama kamu, Nad. Oke, mungkin kamu pernah melihat atau mendengar kabar kalau Adam sekarang suka bermain cewek, atau pergi ke klub malam. Tapi semua itu hanya sebagai pelampiasan kemarahannya sama kamu. Setelah lima tahun lamanya, Adam tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun. Nyatanya dia nggak pernah bisa move on dari kamu, Nad." Jelas Revan panjang lebar.

Nada menangis mendengar penuturan Revan kepadanya. Adam... lelaki yang pernah mengisi hatinya benar-benar mencintainya? Seketika Nada merasa menjadi orang yang jahat, Nada benci pada dirinya sendiri ketika tau bagaimana hidup Adam setelah lima tahun terakhir.

"Aku... jahat banget ya, Kak? Aku memutuskan Adam secara sepihak tanpa mau menjelaskan alasan sebenarnya pada dia. Aku benar-benar jahat Kak! Aku nggak pantas bertemu dia lagi, aku malu sama diri aku sendiri, aku--"

"Kamu nggak perlu merasa seperti itu, Nad! Apa yang kamu lakukan itu demi kebaikanmu dan Adam. Aku tau kamu terpaksa putus dengan Adam karena penyakit kamu, kanker yang merayap di tubuh kamu." Revan menangkup wajah Nada dan menghapus air mata di pipinya.

"Aku nggak mau membuat Adam malu. Aku nggak mau Adam memiliki pacar yang penyakitan kayak aku dan berakhir menjadi gunjingan semua orang. Aku ini banyak kekurangannya, Kak, sedangkan Adam sangatlah sempurna. Aku nggak pantas bersanding dengan dia, aku itu cuma beban buat Adam." Nada semakin menangis sesegukan. Revan mendesah, lalu membawa tubuh kurus Nada kedalam pelukannya.

"Jangan pernah berpikiran seperti itu, Nad. Nggak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Kamu sangat spesial, sama seperti yang lainnya. Jangan pernah berpikiran seperti itu lagi atau aku akan marah sama kamu." Nada tidak menjawab namun malah mempererat pelukannya dan menangis sejadi-jadinya. Revan hanya bisa berusaha menenangkan Nada dengan mengelus surai gadis itu.

Nada, gadis yang terlihat tangguh diluar namun sesungguhnya sangat rapuh didalam. Dia menyimpan semua kesedihannya sendiri, tidak ingin berbagi dengan yang lain dan selalu menunjukkan wajah cerianya kepada semua orang. Mama yang diam-diam mendengar pembicaraan mereka di dalam menutup mulutnya agar tangisnya tidak terdengar oleh putri semata wayangnya.Ya Tuhan, mengapa takdir putrinya sangat menyakitkan dan penuh kepedihan?

***


Untuk Part II tunggu aja ya, entah upload malam nanti atau besok. Pokoknya secepatnya, ok?

Terimakasih, sampai juma di Part II~


Baca Selengkapnya

Rabu, 25 Maret 2020

Teman Tapi Sayang 'TTS' (Oneshoot #2)



Gimana sih rasanya punya sahabat rese tapi ngangenin banget kalau dia nggak ada? Itulah yang dirasakan Ganeeta, sedang menunggu telpon dari sang sahabat yang katanya pergi sebentar membeli es krim di toko langganannya.

"Kemana sih si goblok itu? Kalau dia nongol, gua tinju sampe mampus!" Kata Ganeeta berapi-api. Ganeeta tuh nggak bisa ditinggal barang sebentar saja sama sahabatnya, Arkan Sadewa. Cowok yang terkenal susah di dekati satu kampus, dan tak ada cewek yang berani mendekatinya karena Arkan terlalu cuek. Tapi hanya pada Ganeeta, Arkan selalu menunjukkan kasih sayangnya dan selalu menuruti apa kata cewek itu. Memang Arkan itu, jiwa babunya sangat tinggi.

Ganeeta yang sedang tiduran sambil mengetuk bosan layar ponselnya seketika meloncat kegirangan begitu pintu kamarnya terbuka. Bukannya disambut dengan pelukan hangat, Arkan malah mendapat sebuah bantal ke wajahnya yang dilempar oleh Ganeeta.

"Sialan lo! Kemana aja sih, lama banget beli es krim doang." Kata Ganeeta sambil menggerutu kesal. Bukannya marah karena tindakan kasar Ganeeta, Arkan malah tersenyum lembut sambil mendekat ke ranjang Ganeeta dimana cewek itu duduk disana.

"Tadi ngantri panjang banget, Gane. Lo tau kan es krim yang lo pengen itu lagi hits dan diincar satu Indonesia?"

Ganeeta mengusap wajah Arkan dengan telapak tangannya. "Lebay lo, pak ustadz. Udah siniin es krim gua nya." Arkan memberikan satu kantung yang isinya berbagai macam varian es krim. Sebenarnya bukan permintaan Ganeeta juga, dia tidak akan setega itu untuk menyuruh Arkan memborong semua es krim disana. Tapi terkadang Arkan sendiri yang sengaja membelikan banyak barang untuk Ganeeta, katanya biar dia tidak usah capek-capek beli keluar.

So sweet banget kan, sahabatnya satu ini?

Ganeeta mengambil satu es krim yang membuatnya sampai ngidam seperti ibu hamil. "Sisanya lo simpen di kulkas." Arkan mengangguk, lalu ia pergi keluar untuk menyimpan sisa es krimnya kedalam kulkas. Setelah itu Arkan kembali lagi ke kamar Ganeeta, duduk di kursi meja belajar cewek itu dan mengambil komik yang berada di rak buku.

"Semua cowok yang gue kenal pada suka main game, entah game online atau offline. Tapi lo doang yang nggak pernah main game dan malah seneng baca komik?" Cerocos Ganeeta dengan mulut yang belepotan. Arkan meliriknya, mengeluarkan sapu tangannya dan mengelap sisa es krim yang menempel di sekitar bibir Ganeeta.

Ganeeta yang hanya diam sambil menatap wajah Arkan yang sangat dekat dengan wajahnya itu berpikir. Arkan punya wajah yang tampan, selalu mendapat nilai A disetiap ujian mata kuliah apapun, selalu baik pada orang tua, tapi kenapa sahabatnya ini belum punya kekasih sama sekali?

"Ar," Panggil Ganeeta setelah ia menghabiskan es krimnya.

"Hmm," Sahut Arkan sambil matanya fokus pada komik Shingeki no Kyoujin yang menjadi favoritnya.

"Lo nggak ada niat punya pacar gitu?" Kini Ganeeta mengambil posisi tengkurap dengan kedua tangan yang menopang wajahnya.

"Nggak ada, nggak tertarik." Jawabnya acuh. Ganeeta menggeram kesal, "Ya harus tertarik lah! Lo itu cowok, kalau cowok nggak tertarik sama cewek itu namanya gay!"

Arkan menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya lagi ke komik. "Oh gitu," Jawabnya datar. Ganeeta mengacak-acak rambutnya sebal. Pantas saja Arkan tidak pernah memiliki pacar karena sifat cueknya yang sudah sangat berbahaya. Atau jangan-jangan Arkan memang... gay?

"Ar, jangan bilang lo itu beneran gay ya?"

"Ngaco, lo." Jawabnya singkat. Ya, sesingkat dan sedatar itu mukanya.

"Ar, please, lo harus berubah. Gue nggak mau liat lo menutup diri lo terus kayak gini. Setidaknya lo harus coba untuk pacaran, walaupun cuma bertahan sebentar. Gue yakin lo bakal suka deh," Ganeeta sudah lelah berkali-kali menceramahinya dan menyuruhnya untuk perlahan membuka dirinya kepada orang lain. Karena selama ini lingkup sosial di sekitarnya hanya kedua orang tuanya, orangtua Ganeeta, dan tentu saja dirinya. Arkan bahkan tidak pernah mau berteman dengan orang lain, di kelas saja Arkan akan selalu mengambil tempat duduk disamping Ganeeta padahal saat itu sudah ada yang menempati kursi disebelahnya.

Arkan mengusirnya, mengusir teman Ganeeta yang sampai sekarang masih suka sakit hati dengan perlakuan Arkan padanya.

"Lo sendiri, emangnya lo udah punya pacar?" Tanya Arkan tiba-tiba sampai membuat Ganeeta terbatuk-batuk.

"Ya be-belum sih. Tapi setidaknya gue nggak kayak lo, gue punya mantan. Dan mantan gue itu cakep semua!" Kata Ganeeta dengan bangga.

"Ya intinya, lo sekarang juga jomblo kan?" Balas Arkan membuat Ganeeta seketika menutup rapat mulutnya. Skak mat. Ganeeta tidak bisa membalas Arkan karena apa yang dikatakan cowok itu memang benar.

"Karena lo jomblo dan gue jomblo, kenapa kita nggak pacaran aja?" Perkataan Devano sukses membuat Ganeeta menatapnya dengan tatapan aneh. Arkan mengatakannya tidak serius, kan?

"Lo nggak serius kan? Karena perkataan lo barusan bisa membuat seluruh dunia gempar, Ar."

"Serius, katanya lo mau liat gue berubah, punya pacar. Jadi sekarang gue lagi minta lo buat jadi pacar gue." Arkan berkata sambil menatap Ganeeta dengan wajah datarnya. Ganeeta menarik senyumnya ragu, tidak biasanya Arkan berkata blak-blakan seperti ini.

"Bercanda kan lo, gue nggak akan terbuai sama semua omongan lo. Sama sekali!"

"Terserah lo mau percaya atau nggak, yang pasti, lo mau jadi pacar gue?"

***
Ganeeta duduk di kursi jati sambil melihat langit yang sangat cerah dengan banyaknya burung yang terbang dengan cantiknya.

"Mamiii!" Panggil seorang anak kecil membuat Ganeeta menoleh. "Ada apa sayang?" Tanya Ganeeta sambil tersenyum lembut.

"Kak Deon makan es krim aku, Mi, nih!" Anak kecil berwajah gembul itu menunjukkan sebatang es krimnya yang terlihat tidak utuh lagi.

"Nggak apa-apa sayang. Kamu nggak boleh pelit sama Kak Deon, nanti Mami beliin lagi ya." Ganeeta menarik anak kecil itu kedalam pelukannya.

"Permisi, Tante." Ganeeta menoleh, melihat anak lelaki yang seumuran dengan putrinya berdiri di ambang pintu. "Deon, ada apa?" Tanya Ganeeta tersenyum. Deon anak kecil itu berjalan mendekat kearahnya dan memberikan kantung plastik yang dipegangnya.

"Ini Tante, Deon belikan es krim buat Queenza. Soalnya tadi Deon udah makan es krim Queenza sampai dia nangis," Ganeeta menerima kantung plastik tersebut dan membukanya. Ganeeta membulatkan matanya melihat es krim yang begitu banyak dengan berbagai varian rasa di dalamnya.

"Kamu membelikan semua ini buat Queen, Deon?" Tanya Ganeeta tak percaya. Deon mengangguk, "Iya Tante, disitu juga ada es krim yang Queenza sering minta sama Deon, makanya Deon belikan sekalian dengan rasa lainnya." 

Ganeeta sungguh tak menyangka dengan sikap dewasa Deon, padahal ia masih anak kecil. Ganeeta jadi teringat ketika dulu ia selalu rewel minta dibelikan es krim pada Arkan dan sahabatnya itu selalu membelikannya bukan pesanannya saja, tapi semua jenis es krim dia beli untuknya. Deon benar-benar duplikatnya Arkan sekali.

"Deon sudah bilang sama Mama kamu? Apa kamu nggak akan dimarahi Mama kamu kalau tau kamu membeli es krim sebanyak ini?'

"Enggak, Tante. Deon beli es krim ini dari uang tabungan Deon sendiri, jadi Mama nggak akan tau." Ganeeta sangat tersentuh dengan sikap Deon. Queenza yang menyembunyikan wajahnya di dada Ganeeta perlahan menoleh pada Deon.

"Queenza, aku minta maaf ya udah makan es krim kamu sampai kamu nangis." Kata Deon dengan dua tangan saling bertautan. Ganeeta tersenyum, lucu sekali tingkah malu-malu Deon. 

"Itu buat aku?" Tanya Queenza sambil menunjuk kantung plastik yang dipegang Ganeeta. Deon mengangguk, Queenza langsung menyambar kantung plastik itu dari Ganeeta. "Eh Queenza sayang, kalau ada orang yang memberi buat kamu, kamu harus bilang apa?" 

"Makasih, Kak Deon, buat es krimnya." Kata Queenza membuat senyum di wajah mungil Deon muncul. Ganeeta tersenyum ketika Queenza mengajak Deon untuk main ruang tengah. Masa kecil itu memang sangat menyenangkan, pikir Ganeeta.

Saat Ganeeta memalingkan wajahnya ke samping, sebuah buket bunga mawar terpampang dihadapannya. Ganeeta menoleh, menatap Arkan tersenyum padanya. "Buat kamu," Katanya sambil meletakkan buket bunga itu ke tangan Ganeeta.

Ganeeta melirik buket bunga itu dan Arkan secara bergantian. "Kamu ngasih buket bunga ke aku?" Arkan mengangguk dengan percaya diri. "Kenapa, kamu nggak suka? Mau aku belikan yang lain?" Tanya Arkan bingung.

Ganeeta meletakkan buket bunga itu diatas meja, dan menatap sang sahabat dengan kesal. "Aku maunya es krim, Arkan! Es krim!" 

Dahi Arkan berkerut bingung. "Jadi kamu bete sama suami kamu cuma gara-gara es krim?" Tanya Arkan tak percaya.

Ya, Ganeeta dan Arkan menikah dua tahun setelah lulus kuliah. Padahal sebelum menikah Arkan dan Ganeeta tidak pernah berpacaran. Hubungan mereka berdua mengalir begitu saja sampai saat dimana Arkan tiba-tiba datang ke rumahnya bersama orang tuanya berniat melamar Ganeeta. Syok? Tentu saja, Ganeeta hampir dibuat pingsan karena kelakuan frontal sahabatnya itu. Tapi Ganeeta terima-terima saja, karena ia sendiri sudah lelah berpacaran tapi ujung-ujungnya tidak ada yang serius. 

Makanya saat berita pernikahan mereka tersebar di telinga para teman-temannya, mereka sama sekali tidak percaya dan menuding Ganeeta telah membuat rumor palsu. Ganeeta masih ingat jelas bagaimana ekspresi teman-temannya saat ia dan Arkan menunjukkan cincin pertunangan di jari manis kami kepada mereka. Ada yang pingsan, dan ada juga yang mengoceh tak jelas. Yang pasti lika-liku perjalanan cintanya dengan Arkan sangat diluar dugaan.

"Aku lagi mau es krim sekarang, bukan bunga! Kamu selalu pulang bawa bunga sampai rumah rasanya sesak gara-gara bunga yang setiap hari kamu bawa. Aku mau es krim Arkan, sekarang." Ganeeta merengek seperti anak kecil. Namun Arkan hanya bisa menghela napas pasrah. Untung cinta, kalau tidak sudah Arkan buang Ganeeta ke rawa-rawa.

"Iya aku beliin, tapi pelukan sama ciumnya dulu?" Kata Arkan dengan senyum lebar. Setelah mereka menikah, Arkan yang awalnya irit bicara dan cuek menjadi lebih cerewet dan sangat perhatian pada Ganeeta, melebih saat mereka masih bersahabat dulu.

Ganeeta mendekat untuk mencium pipi Arkan lalu memeluk tubuh tinggi Arkan erat. "Aku udah menuhin keinginan kamu, sekarang kamu mau kan beliin aku es krim?" Kata Ganeeta dengan manja. 

"Iya iya aku beliin sekarang. Anything for you, Gane."

***
Huaaaaa akhirnyaaa update lagiii >.<
Garing? Maafin aja ya, baru dua kali bikin oneshoot wkwkwk
Setelah ini aku usahakan untuk update oneshoot lainnya secara teratur, gimana moodku aja sih :D

Terimakasih, sampai jumpa di oneshoot selanjutnya~

Baca Selengkapnya