Senin, 30 Maret 2020

Surat Untuk Nada (Part I)


Alohaa~ 
Btw covernya jelek banget ya? Iya, soalnya aku sendiri yg buat, gak berbakat banget tangan ku Ya Allah T.T
Oh iya niatnya sih aku mau bikinnya oneshoot seperti biasa, cuma pas lagi ngetik kok tanganku gk bisa berhenti, dan terpaksa aku buat dua bagian buat cerita ini.

Happy Reading!

***

Seorang perempuan cantik berwajah pucat itu sedang tersenyum menatap langit yang gelap disertai dengan rintik-rintik hujan yang membahasi seluruh jalan. Nada, perempuan itu duduk di jendela kamarnya sambil bersenandung kecil. Dari dulu tempat di kamarnya ini selalu menjadi tempat ternyaman untuknya jika ia sedang menginginkan waktu sendirian.

Pintu kamarnya terbuka, namun Nada masih enggan untuk mengalihkan pandangannya pada hujan yang berjatuhan. "Nad, jangan duduk disitu terus. Nanti kamu bisa sakit sayang," Nada menoleh lalu tersenyum melihat malaikatnya yang melahirkannya dan selalu menjaganya sejak kecil hingga sekarang.

"Nada suka disini, Mah. Bisa menikmati udara sejuk dan merasakan hujan yang turun merupakan kebahagiaan aku." Kata Nada dengan senyum tipis. Mama menghela napas khawatir, pasalnya tubuh Nada sejak kecil sangat lemah, Nada kecil sangat suka keluar masuk rumah sakit akibat penyakitnya itu.

"Mamah tau, tapi Mamah takut kamu masuk angin."

"Jangan khawatir, Mah. Nada bisa jaga diri, Nada bukan anak kecil lagi." Jawab Nada berharap dengan begitu Mamanya akan sedikit tenang. "Baiklah, tapi Mama mohon jangan lama-lama duduk disana." Pesan Mama, Nada hanya mengangguk pelan.

Sebelum keluar, Mama berbalik dan kembali menoleh pada Nada. "Kak Revan besok mau berkunjung ke rumah. Katanya dia kangen sama kamu, Nad." Setelah mengatakan itu, Mama keluar dari kamar dan menutup pintu dengan perlahan.

Senyum tipis terbit di wajah pucatnya. Kak Revan... seseorang yang sangat berarti di hidup Nada. Seseorang yang Nada anggap sebagai pelindungnya, kstarianya karena Kak Revan lah yang selalu menjaga Nada selama ini jika Mama atau Ayahnya sedang tidak bersamanya.

"Aku harus memakai baju apa ya? Terus rambutku harus aku gerai atau aku ikat?" Gumam Nada pada diri sendiri. Akhirnya Nada beranjak dari tempat ternyamannya dan berjalan menuju lemari besar miliknya. Nada mengeluarkan setiap baju yang ada disana, di letakkan diatas kasurnya. Nada mengernyit bingung sambil tangannya mengusap dagunya, melihat beberapa pakaian yang tadi ia keluarkan.

"Kalau baju itu baru dua hari yang lalu aku pakai. Yang warna merah juga pernah aku pakai waktu jalan sama Kak Revan, hmm..." Nada bergumam bingung. Melirik lemari bajunya yang masih terbuka dengan satu alis terangkat. "Apa nggak ada baju yang lain?" Nada terus bergumam sambil memilah baju yang ada didalam lemari. Akhirnya pilihannya jatuh pada jumpsuit berwarna cream yang di pegangnya.

"Ini aja deh, Kak Revan belum pernah melihatku pakai baju ini." Katanya dengan senyum cerah. Nada memasukkan kembali baju yang tadi ia keluarkan kedalam lemari. Kemudian Nada berjalan ke meja riasnya dan duduk di kursi. nada menatap cermin yang memantulkan wajah cantiknya yang pucat, terlampau sangat pucat. Tangannya mengusap surai hitamnya yang panjangm mengarah keatas kepalanya lalu menarik rambutnya yang ternyata hanyalah wig.

Nada tersenyum tipis melihat kepalanya yang botak, tak ada sehelai rambut yang tersisa. Nada mengelus kepalanya yang pelontos itu dengan senyum getir. Matanya mulai berkaca-kaca, namun sekuat mungkin Nada menahannya. Ia tidak ingin tangisannya terdengar keluar dan membuat Mamanya sedih.

Sejak penyakit kanker payudaranya muncul saat SMA, Nada terus melakukan kontrol ke rumah sakit dan mengikuti kemoterapi. Akibat dari kemoterapi itu, rambut Nada mulai rontok dan perlahan habis menyisakan kepalanya yang botak. Sejak saat itu Nada mengalami stress, frustasi yang bersamaan. Nada tidak ingin masuk sekolah dan hanya mengurung diri di kamar tanpa berniat bertemu dengan siapapun, termasuk kedua orangtuanya.

Perempuan mana yang tidak sedih ketika rambutnya rontok sampai tidak tersisa satupun? Disaat remaja seusianya dapat bermain dengan teman sebayanya, yang Nada lakukan hanyalah berdiam diri di rumah. Kanker di tubuh Nada terus bertambah parah membuat Mama akhirnya memutuskan untuk Nada keluar dari sekolahnya dulu dan mengikuti home schooling. Sejak saat itu hidup Nada terasa hampa, sampai dimana kakak kelas yang dekat dengannya dulu, Revan, satu-satunya orang yang mengetahui tentang penyakitnya tidak pernah absen untuk berkunjung ke rumah Nada.

Nada tersenyum getir dan mengahpus jejak air mata di pipinya. Mengenang semua kenangan menyedihkannya dulu membuat lukanya yang telah lama terkubur akhirnya terbuka kembali. Nada menatap langit-langit kamarnya dengan wajah sendu, "Kapan semua ini akan berakhir?"

***

Pagi-pagi sekali Revan sudah berdiri di depan pintu rumah Nada. Ia membawa satu buket bunga dan sebatang coklat yang sangat di sukai Nada.

Tok tok

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikum salam," Mama Nada membuka pintu dan tersenyum melihat sosok Revan di depan rumahnya.

"Eh Tante," Revan menunduk dan mencium punggung tangan Mama Nada sopan. "Baru dateng? Macet ya di jalan?" Tanya Mama Nada sambil mempersilahkan Revan untuk masuk.

"Iya nih Tante, kejebak macet tadi."

Mama Nada melirik buket bunga dan coklat yang dibawa Revan. "Kamu bawa coklat dan bunga lagi? Nggak usah repot-repot Revan, Tante jadi nggak enak hati sama kamu." Revan ini setiap main ke rumah, selalu membawa buah tangan untuk Nada, sesekali membawa juga untuknya dan Ayah Nada.

"Nggak repot kok, Tante. Saya malah senang membawa kesukaannya Nada." Jawab Revan sambil tersenyum. Mama Nada menyuruh Revan untuk masuk duluan ke kamar Nada. Revan mengetuk pintu kamar yang terdapat gantungan lucu disana bertuliskan 'Kamar Nada'.

"Nad?" Revan melangkah secara perlahan ketika melihat sosok Nada tengah duduk di jendela kamarnya. Nada menoleh, lalu ia tersenyum dan turun dari jendela sambil berlari kecil menghampiri Revan. "Kak Revan? Kok lama banget datangnya?" Tanya Nada dengan senyum cerah.

Revan mengelus surai hitam Nada dengan lembut. "Maafin ya, tadi aku kejebak macet." Nada mengangguk, memaafkan keterlambatan Revan. Mata coklat Nada melirik coklat dan bunga yang ada ditangan Revan. "Ini buat aku?" Revan mengangguk, Nada langsung mengambil coklat dan bunga yang dibawa Revan.

"Bagaimana keadaan kamu hari ini? Sudah merasa baikan?" Revan berkata setelah ia dipersilahkan duduk di sofa dekat kasurnya. "Tidak terlalu sih, tapi aku lumayan merasa segar hari ini. Apa karena Kak Revan datang makanya aku menjadi sehat begini?" Kata Nada dengan jahil.

"Ih kamu nih, masih aja pinter nge-gombalnya." Revan dan Nada tertawa bersama. Revan menatap wajah pucat Nada dalam diam. Meskipun hari ini wajah Nada terlihat lebih cantik dan lebih segar karena ada polesan make up di wajahnya, tapi tidak menutupi wajahnya yang terlihat sangat pucat.

Revan sangat mengagumi sosok Nada sejak ia melihatnya saat gadis itu mengikuti MOS di sekolah. Saat itu Revan tertarik  melihat Nada dengan wajah pucatnya beradu argumen dengan salah satu panitia MOS. Selama Revan bersekolah disana, baru ada gadis yang pemberani seperti Nada. Maka dari itu Revan diam-diam selalu membuntutinya agar bisa dekat dengan Nada. Sebuah keberuntungan saat itu sedang berada di pihaknya. Saat itu Nada tak sengaja jatuh tersandung batu yang ada di jalan. Kebetulan Revan sedang lewat dan langsung menolong Nada kala itu dan mengantarnya sampai rumah.

Sejak kejadian itu, hubungan Revan dan Nada semakin dekat. Banyak gosip yang beredar jika dirinya dan Nada berpacaran tapi Revan selalu mengabaikannya. Karena perasaan Revan pada Nada hanya sebatas perasaan seorang kakak kepada adiknya. Revan tidak pernah melihat Nada sebagai sosok seorang wanita yang harus dicintainya.

"Kak? Kenapa sih liat muka aku sampai segitunya? Hari ini aku cantik banget ya sampai Kak Revan bengong liat aku?" Goda Nada lagi membuat Revan mencubit pipi Nada gemas. "Iya, kamu cantik banget hari ini. Kenapa sih harus dandan kayak gini? Nggak biasanya kamu begini, Nad."

"Kenapa? Kakak cemburu kalau sampai ada cowok lain yang kepincut sama aku?" Revan tertawa renyah, Nada ini bisa saja membuatnya tertawa geli mendengar setiap ocehannya. "Hmm... mungkin?" Jawab Revan pura-pura berpikir. Nada memberengut kesal,lalu memukul lengan Revan kencang.

"Gimana sama pekerjaan Kakak? Atasan Kakak masih suka nyusahin Kakak ya?" Tanya Nada sambil memakan coklat yang dibawa Revan. "Nggak kok, sekarang atasan Kakak nggak terlalu sering ngomel-ngomel. Mau tobat kali dia, takut kena azab."

Revan menatap ragu Nada, namun gadis itu diam-diam menangkap keraguan dari  sorot mata Revan. "Kenapa, Kak? Ada yang mau di omongin?" Revan akhirnya mengeluarkan sebuah undangan kepada Nada. "Ini, surat undangan buat kamu." Nada diam membeku. Dengan tangan bergetar ia menerima surat undangan itu dan membaca tulisannya dengan seksama.

"Jadi... Kakak akhirnya memilih Mbak Kia?" Tanya Nada dengan perasaan, entahlah, sangat rumit sekali. "Iya, Kia adalah wanita terakhir pilihan aku."Jawab Revan dengan wajah yang menatap lantai.

Nada membuka surat undangan itu, "Pernikahannya diadakan Sabtu minggu ini?" Revan mengangguk, "Iya, ijab qobulnya jam delapan pagi, kalau resepsi sekitar jam sembilan sampai lima sore."

Tanpa sepengetahuan Revan, Nada menghapus air matanya yang jatuh. Nada tidak sadar air matanya jatuh begitu saja. Hatinya sedikit sakit melihat Revan yang sebentar lagi akan menikah dengan wanita pilihannya. Entahlah, Nada merasa seperti kehilangan miliknya yang berharga akan di renggut oleh orang lain.

"Wah... aku nggak nyangka Kakak akan menikah secepat ini, dengan Mbak Kia lagi. Aku kira Mbak Kia nggak suka sama Kakak, habisnya aku sering melihat kalian selalu bertengkar jika sudah bertemu." Nada tersenyum menggoda sambil memukul pelan lengan Revan bercanda. Nada nampak bahagia, yang sebenarnya ia sama sekali tidak merasakan kebahagiaan itu.

"Yah aku juga nggak akan mengira bahwa Kia adalah jodohku. Tapi aku bersyukur, Kia adalah wanita yang sangat baik dibalik sikapnya yang sangat bar-bar itu." Revan melengkungkan senyumnya, namun Nada merasa hatinya semakin sakit.

"Benar... Mbak Kia memang sangat baik. Aku saja selalu dibelikan Mbak Kia coklat, bukan cuma satu malah, tapi satu dus!" Kata Nada dengan mimik muka seperti anak kecil yang terlihat antusias. Revan membuka mulutnya kaget, "Oh ya? Kok aku nggak pernah tau?"

"Ngapain juga Kak Revan tau, memangnya penting?"

"Kamu benar juga sih, ha ha ha."

Nada diam sambil memperhatikan wajah tampan Revan yang sedang tersenyum. "Mbak Kia memang pantas menjadi pendamping Kak Revan. Aku hanya pesan, jangan pernah menyakitinya, jika Kakak sampai melakukan itu, Kakak akan berhadapan denganku." Ancam Nada dengan wajah galak.

"Iya iya, ampun nyai." Revan menggosokkan kedua telapak tangannya membuat Nada tertawa renyah.

"Oh iya, Adam juga di undang ke pernikahanku nani." Mendengar nama Adam, membuat tubuh Nada membeku. "A-Adam?" Ulangnya dengan suara bergetar.

"Iya, kamu nggak lupa kan kalau dia dan aku pernah satu tim basket, jadi aku mengundangnya dan teman-teman satu tim aku yang lainnya." Revan melirik Nada yang terlihat kaget dengan tubuh bergetar hebat.

"Nad, kamu nggak apa-apa kan?" Revan menyentuh tangan Nada yang dingin. Nada menoleh dengan wajah bingung. "Huh? Nggak apa-apa kok, Kak." Jawabnya mencoba untuk tersenyum.

Revan mendesah, "Nad, kamu harus bertemu dengan Adam. Setelah lima tahun kalian berpisah lima tahun, kamu tau apa yang terjadi dengan Adam?" Nada tanpa sadar menggeleng. "Adam seperti orang gila, Nad. Dia tidak pernah bisa fokus pada hal apapun, sampai saat tangannya cedera saat latihan dan akhirnya Adam nggak bisa mengikuti turnamen yang sangat dinantikannya. Adam sampai seperti itu cuma karena kamu, Nad, kamu mempengaruhinya sangat banyak." Revan mencoba menasehati agar Nada mau membuka dirinya lagi pada Adam.

Revan tau alasan mereka putus karena Nada yang lebih dulu memutuskan hubungan mereka dengan alasan yang sangat tidak masuk akal. Adam tentunya marah, lelaki itu sampai meminta Revan menjelaskan kenapa Nada bisa sampai memutuskan hubungannya secara sepihak.

"Adam masih cinta sama kamu, Nad. Oke, mungkin kamu pernah melihat atau mendengar kabar kalau Adam sekarang suka bermain cewek, atau pergi ke klub malam. Tapi semua itu hanya sebagai pelampiasan kemarahannya sama kamu. Setelah lima tahun lamanya, Adam tidak pernah berhubungan dengan wanita manapun. Nyatanya dia nggak pernah bisa move on dari kamu, Nad." Jelas Revan panjang lebar.

Nada menangis mendengar penuturan Revan kepadanya. Adam... lelaki yang pernah mengisi hatinya benar-benar mencintainya? Seketika Nada merasa menjadi orang yang jahat, Nada benci pada dirinya sendiri ketika tau bagaimana hidup Adam setelah lima tahun terakhir.

"Aku... jahat banget ya, Kak? Aku memutuskan Adam secara sepihak tanpa mau menjelaskan alasan sebenarnya pada dia. Aku benar-benar jahat Kak! Aku nggak pantas bertemu dia lagi, aku malu sama diri aku sendiri, aku--"

"Kamu nggak perlu merasa seperti itu, Nad! Apa yang kamu lakukan itu demi kebaikanmu dan Adam. Aku tau kamu terpaksa putus dengan Adam karena penyakit kamu, kanker yang merayap di tubuh kamu." Revan menangkup wajah Nada dan menghapus air mata di pipinya.

"Aku nggak mau membuat Adam malu. Aku nggak mau Adam memiliki pacar yang penyakitan kayak aku dan berakhir menjadi gunjingan semua orang. Aku ini banyak kekurangannya, Kak, sedangkan Adam sangatlah sempurna. Aku nggak pantas bersanding dengan dia, aku itu cuma beban buat Adam." Nada semakin menangis sesegukan. Revan mendesah, lalu membawa tubuh kurus Nada kedalam pelukannya.

"Jangan pernah berpikiran seperti itu, Nad. Nggak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT. Kamu sangat spesial, sama seperti yang lainnya. Jangan pernah berpikiran seperti itu lagi atau aku akan marah sama kamu." Nada tidak menjawab namun malah mempererat pelukannya dan menangis sejadi-jadinya. Revan hanya bisa berusaha menenangkan Nada dengan mengelus surai gadis itu.

Nada, gadis yang terlihat tangguh diluar namun sesungguhnya sangat rapuh didalam. Dia menyimpan semua kesedihannya sendiri, tidak ingin berbagi dengan yang lain dan selalu menunjukkan wajah cerianya kepada semua orang. Mama yang diam-diam mendengar pembicaraan mereka di dalam menutup mulutnya agar tangisnya tidak terdengar oleh putri semata wayangnya.Ya Tuhan, mengapa takdir putrinya sangat menyakitkan dan penuh kepedihan?

***


Untuk Part II tunggu aja ya, entah upload malam nanti atau besok. Pokoknya secepatnya, ok?

Terimakasih, sampai juma di Part II~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar