Rabu, 27 Mei 2020

Ending Scene (Oneshoot #7)


Halloww aku bawa oneshoot baru nih! Terinspirasi lagi dari lagu Ending Scene IU. Bagi kalian yg udah pernah denger lagu ini, pasti ngerasa sedih kan? Coba search deh artinya, ngena banget buat kalian yg pernah merasakan putus cinta *cieelah*

Ada sepenggal lirik Ending Scene yang paling ngena dan paling aku suka 👇

'Karena semuanya akan berlalu, pastikan kau makan dengan baik. Kau akan bisa tidur senyenyak dulu. Aku berdoa dari lubuk hatiku. Kau pantas untuk lebih berbahagia.'

'Aku sungguh mengharapkan kau bertemu seseorang yang akan mencintaimu melebihi dirimu. Aku menyesal karena dia bukan aku. Ini bukanlah hal yang mudah.'

Nah nahh 'jlebb' banget kan artinya? Aku blm pernah sih ngerasain putus cinta kayak gimana *bangga bgt dah-_-* tapi ikutan sedih juga liat artinya T.T

Oke deh langsung aja yuk, selamat membaca ^^

****

Dua manusia yang tengah duduk saling berhadapan itu sama-sama terdiam di tengah suasana ramai coffe shop yang mereka kunjungi. Si wanita berwajah putih pucat itu menatap pria di hadapannya dengan ekspresi sendu. Pria itu adalah seseorang yang sangat dicintainya. Ia bahkan rela menukar apapun miliknya agar bisa bersama dengan pria itu untuk selamanya.

Namun kenyataannya tidak seperti yang diinginkan dan diimpikan olehnya. Pria itu, Ardan, sama sekali tidak menoleh ke arahnya, bahkan untuk sekedar berbasa-basi saja, Ardan seperti enggan melakukannya.

Wanita itu, Diandra, menghela napas. Disaat seperti ini saja, Ardan tidak memiliki waktu untuknya. Padahal mereka sudah menjalin hubungan selama datu tahun lamanya, tapi sifat Ardan tidak pernah berubah selama itu.

“Dan,” panggil Diandra mencoba menarik perhatian kekasihnya itu. Namun Ardan hanya berdehem tanpa meliriknya sama sekali.

Lagi, Diandra hanya bisa tersenyum miris mendapat jawaban dingin dari Ardan yang sudah menjadi makanan sehari-harinya selama ini.

“Kamu ingat ini hari apa?” tanya Diandra hati-hati. Ardan perlahan menegakkan wajahnya, menatap wajah Diandra dengan tatapan matanya yang tajam. Tak sadar Diandra mengukir senyum tipisnya, sebisa mungkin ia akan berusaha terlihat baik-baik saja setiap Ardan menatapnya.

“Hari Kamis, bukan?” jawab Ardan membuat senyum tipis di bibir Diandra pudar. Ia menatap Ardan dengan perasaan sedih yang tak terbendung lagi. Pada akhirnya Ardan memang tidak pernah mengingat hari jadian mereka berdua. Padahal hari itu adalah hari yang sangat membuat Diandra bahagia. Hari dimana Diandra merasa terbang ke dunia luar karena berhasil menjadi kekasih seorang Ardan.

Namun tepat satu bulan hubungan mereka terjalin, Ardan tidak memberi kejutan ataupun hadiah seperti bunga atau coklat kepada Diandra. Sedih? Tentu saja, bahkan saat itu Diandra sempat berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Ardan. Tapi lagi-lagi rasa cintanya yang lebih besar kepada Ardan membuatnya mengurungkan niatnya untuk memutuskan pria itu.

Diandra tersenyum miris, “Lagi-lagi kamu lupa hari anniversary kita.” Sekuat tenaga Diandra menahan genangan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya.

“Ah … ehm … maafkan aku,” jawab Ardan dengan nada menyesal. Diandra mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar disampingnya sembari menikmati kopi hangat yang setidaknya dapat menenangkan hatinya.

“Kamu tidak pernah mengingat hari jadi kita, apa kamu juga tidak pernah ingat kalau aku adalah kekasihmu?” Ardan sedikit terkejut mendapat pertanyaan dari Diandra yang terdengar menyudutkannya itu.

“Itu … kenapa kamu menanyakan itu? Apa kamu kesal karena aku hanya tidak mengingat hari jadi kita?” Diandra melongo mendengar jawaban Ardan. Hanya, katanya? Apakah pria di hadapannya ini benar Ardan, kekasihnya? Tapi mengapa Diandra merasa Ardan seperti orang lain yang sama sekali tak dikenalnya?

“Hanya kata kamu? Apa kamu merasa anniversary kita bukanlah hal yang penting?” Diandra tidak habis pikir dengan Ardan. Biasanya jika ia lupa dengan hari jadi mereka, Ardan akan langsung memberikan hadiah kepada Diandra sebagai tanda permintaan maaf. Tapi apa yang dikatakannya barusan benar-benar membuat Diandra tak bisa berkata-kata.

“Itu hanyalah sebuah simbol, Dian. Kamu bukan lagi anak kecil yang apapun harus selalu di rayakan. Lagi pula kita ini bukan pasangan yang baru menjalin kasih selama satu minggu, kita sudah cukup lama untuk berpikir dewasa dan mengerti kehidupan pribadi masing-masing. Kamu tau aku sibuk dengan pekerjaan di kantor, seharusnya kamu bisa paham posisi aku sekarang,” kata Ardan dengan nada kesal yang ditahannya.

“Itu bukan hanya sekedar simbol bagiku. Itu adalah hari spesial dimana hubungan kita dimulai. Hari dimana aku dan kamu menjadi satu sebagai sepasang kekasih. Kamu bahkan tidak menghargai perasaanku, Ardan.” Diandra menumpahkan segala rasa kesalnya yang selama ini ia pendam sendiri. Sikap Ardan kali ini benar-benar membuat Diandra naik pitam. Ia harus segera meluruskan masalah ini, jika tidak hubungan mereka akan hancur.

“Aku hanya manusia biasa yang bisa melupakan hal kecil sekalipun. Aku minta maaf jika sikapku ini menyakiti perasaan kamu, tapi inilah aku. Aku bukanlah pria yang romantis, aku juga bukan pria yang perhatian, tapi jika kamu mulai lelah dengan semua ini, kamu bisa berhenti sekarang juga.” Kata-kata yang keluar dari mulut Ardan menusuk tepat di hati Diandra.

“Kamu bersungguh-sungguh mengatakan hal itu, Ardan? Apa kamu sadar dengan apa yang telah kamu katakan tadi?”

Ardan mengacak rambutnya frustasi. Menurut Ardan, Diandra adalah wanita yang sangat rumit untuk dipahami. Ardan rasa semua yang ia lakukan selama ini selalu salah di mata wanita itu. Pengorbanan yang selama ini telah ia lakukan tidak ada maknanya bagi wanita itu.

“Aku sadar, Diandra. Seratus persen sadar,” jawab Ardan dengan frustasi. Memangnya Diandra ini mau ia melakukan apa? Mengemis permintaan maaf dengan berlutut di bawah kakinya begitu? Tidak akan, Ardan tidak akan pernah mau melakukan hal serendah itu.

Diandra mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Ia berusaha menetralkan amarahnya yang sudah mencuat. Jika mereka sedang sama-sama terbawa emosi, salah satu caranya adalah Diandra memilih untuk mengalah daripada masalah ini bertambah besar.

“Aku … aku hanya ingin kamu perhatian padaku, setidaknya sedikit saja. Apa permintaanku ini terlalu berlebihan bagimu?”

“Aku selama ini sudah mencoba untuk memberikan perhatian padamu, tapi kamu selalu meminta lebih. Lalu aku harus bagaimana?” Ardan benar-benar sudah kehabisan kesabarannya. Memangnya selama ini perhatian yang ia berikan untuk Diandra kurang? Ardan selalu memberikan apapun yang wanita itu mau, meskipun tidak sering.

“Ardan, yang selama ini kamu berikan bukanlah perhatian atau kasih sayang, tapi hanya sekedar barang yang tidak terlalu penting bagiku. Semua wanita ingin diperhatikan oleh pasangannya, bukan perlakuan seperti ini yang aku inginkan, Ardan.” Diandra mengeluarkan segala isi hatinya berharap setelah ini Ardan akan sadar dan bersikap lembut padanya.

Ardan mendecih pelan, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, kemana saja asalkan tidak menatap wajah Diandra. Rasanya Diandra ingin menangis ketika Ardan kembali bersikap dingin padanya, dengan Ardan memutus kontak mata dengannya, sudah dipastikan jika pria itu sedang marah besar padanya.

Tidak… ini tidak boleh terjadi. Bagaimanapun Diandra tidak ingin hubungannya hancur hanya karena masalah ini. Diandra masih sangat mencintai Ardan, meskipun pria itu mencintainya ataupun tidak. Sebut saja Diandra wanita bodoh atau tolol, karena perasaannya hanya ia sendiri yang tau, bukan orang lain.

“Ardan ….” Kalimat Diandra terputus ketika ponsel Ardan di atas meja bergetar. Diandra menangkap sebuah nama ‘Adinda’ di layar ponsel Ardan. Kekasihnya itu langsung menyambar ponselnya dengan cepat dan menerima panggilan itu tanpa menghiraukan Diandra.

Satu nama di ponsel Ardan tadi mengusik Diandra. Nama itu adalah nama dari seseorang yang sangat dibenci oleh Diandra. Adinda adalah mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya Ardan. Lantas, mengapa Adinda masih berhubungan dengan Ardan? Diandra juga tidak tau.

Diandra baru mengetahui jika mereka berdua masih saling berhubungan tadi, saat ia mengintip ponselnya Ardan. Diandra kira Ardan sudah memutus kontak dengan mantan kekasihnya itu ketika ia baru jadian dengannya. Tapi ternyata semua itu tidak benar, nyatanya Ardan masih berhubungan dengan Adinda.

Diandra tau Adinda adalah mantan kekasih Ardan dari sahabat pria itu. Katanya Ardan diputuskan oleh Adinda karena mantan kekasihnya itu lebih memilih menikah dengan bosnya saat itu. Bahkan yang Diandra dengar, Ardan sempat putus asa karena diputuskan Adinda dan melajang selama hampir tiga tahun lamanya.

Setelah melajang tiga tahun itu, Ardan bertemu dengan Diandra di salah satu mini market dekat dengan rumah Diandra. Dari sana lah hubungan mereka mulai dekat dan setelah satu bulan pendekatan, Ardan memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Diandra.

“Halo? Kamu dimana? Apa, di rumah sakit? Ada masalah apa sama kandunganmu? Oh oke baiklah, aku akan segera kesana.” Ardan segera menutup sambungannya dan hendak pergi namun Diandra dengan cepat menahan tangannya.

“Kamu mau kemana?” tanya Diandra dengan wajah memerah menahan amarah.

“Aku ada urusan mendadak, maaf kamu harus pulang sendiri malam ini.” Ardan mencoba melepaskan cengkraman tangan Diandra, namun wanita itu memegang tangannya dengan erat.

“Urusan mendadak apa sampai buat kamu gelisah seperti ini? Katakan, siapa yang menelponmu?”

Ardan hanya diam, membuat kesabaran Diandra perlahan menipis. “Adinda, bukan? Adinda kan yang menelponmu?” kata Diandra sembari meninggikan suaranya.

“Bagaimana kamu tau Adinda?” tanya Ardan dengan wajah terkejut. Ardan sama sekali tidak pernah membicarakan soal siapa Adinda kepada Diandra. Bahkan Ardan juga tidak pernah mengatakan alasan ia jatuh cinta pada Diandra dan akhirnya menjadikannya kekasihnya adalah karena wajah Diandra sangat mirip dengan Adinda. Sebut saja Ardan brengsek, tapi itulah kenyataannya.

“Aku tau darimana soal Adinda, itu bukan urusan kamu. Sekarang kamu harus jelasin semuanya, kenapa Adinda menelponmu?” Diandra terus mendesak agar Ardan menjawab pertanyaannya. Hatinya begitu sakit mengetahui bahwa selama ini Ardan masih berhubungan baik dengan mantan kekasihnya tanpa sepengetahuannya.

“Adinda menelponku karena dia sedang di rumah sakit ….” Diandra menatap Ardan lekat-lekat, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.

“Dia terjatuh di rumahnya dan kandungannya sedikit bermasalah jadi—”

“Demi Tuhan, Ardan! Lalu apa urusannya denganmu? Kamu bukan Ayah dari anak yang di kandung wanita itu! Kamu tidak seharusnya bereaksi seperti ini! Biarkan saja suaminya yang kesana dan mengurus wanita itu!” bentak Diandra marah. Ardan sampai khawatir seperti itu hanya karena Adinda terjatuh? Diandra iri, sangat iri terhadap Adinda. Wanita itu dengan mudahnya mendapat perhatian Ardan yang selama ini Diandra inginkan tapi tidak pernah ia dapatkan.

“Justru karena itu, Diandra! Adinda sendirian di rumah sakit karena dia sudah bercerai dengan suaminya! Adinda tidak punya siapa-siapa lagi, hanya aku yang dia punya, dan sekarang dia membutuhkan bantuanku untuk menemaninya.” Ardan berkata dengan npas terengah-engah. Adegan pertengkaran mereka semakin memanas membuat seluruh perhatian pengunjung maupun pegawai coffee shop tertuju pada mereka berdua.

Diandra terkejut dengan bentakan Ardan kepadanya. Selama menjalin hubungan dengan Ardan, pria itu tidak pernah sama sekali membentak atau berprilaku kasar kepadanya. Meskipun Ardan tidak pernah perhatian pada Diandra, tapi ia selalu berlaku sopan kepadanya.

Tanpa Diandra sadari, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Diandra menangis untuk pertama kalinya di hadapan Ardan. Biasanya Diandra tidak pernah menunjukkan kesedihannya di depan Ardan dan selalu memasang topeng ceria agar pria itu tidak tau bahwa jauh di dalam lubuk hatinya, Diandra sangat sakit dengan sikap Ardan selama ini.

Tubuh Ardan membeku melihat cairan bening itu mengalir di pipi Diandra. Ia tidak menyangka bentakannya tadi akan membuat kekasihnya itu menangis.

Cengkraman erat di tangan Ardan melemah, tangis Diandra makin pecah tatkala ia menutup wajahnya dan menangis tersedu-sedu. Hancur sudah tembok besar yang sudah ia bangun selama ini. Diandra kira, ia bisa berlakon lebih lama menjadi Diandra yang ceria dan selalu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya, semuanya berantakan begitu saja karena kehadiran seseorang di masa lalu dan menghancurkan semua rencana yang telah Diandra impikan.

“Jadi selama ini, arti aku di hidup kamu itu apa? Atau jangan-jangan selama ini aku tidaklah penting bagi kamu? Aku hanya seseorang yang sekedar lewat saja di hidup kamu, gitu?” kata Diandra dengan air mata yang terus membanjiri wajahnya.

Ardan bereaksi melihat air mata di wajah Diandra. Ia menggenggam salah satu tangan wanita itu dan mengusapnya pelan. Diandra terkejut mendapat perlakuan manis dari Ardan. Tidak pernah Ardan menggenggam tangannya terlebih dahulu kecuali jika Diandra yang menyuruhnya.

“Aku … minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu, Diandra.” Ardan menatap Diandra dengan wajah sendu. Diandra menggelengkan kepalanya, jadi semua harus berakhir saat ini juga?

“Aku tidak butuh permintaan maafmu, Ardan. Yang aku butuhkan adalah jawaban kamu, apa arti aku di hidup kamu?” Diandra sudah tidak peduli dengan bisik-bisikkan orang lain yang sedang melihat adegan dramatis mereka seperti di sinetron.

“Kamu berarti di hidup aku, Diandra. Kamu yang mengisi kekosongan hatiku selama tiga tahun lamanya kosong. Tapi lebih baik aku jujur padamu bahwa sebagian besar ruang di hatiku tidak sepenuhnya diisi sama kamu, tetapi Adinda lah yang mengisi penuh sebagian ruang kosong di hatiku,” jawab Ardan dengan suara pelan, hampir seperti sebuah bisikkan.

Diandra menghentikkan tangisnya, Ia melepaskan tangan Ardan dari tangannya sedikit kasar. “Terimakasih karena kamu mau menjawab pertanyaanku. Setelah mendengar jawabanmu, aku langsung sadar jika aku tidak berarti apa-apa bagimu. Karena selamanya hanya ada Adinda di hatimu, benar kan?” kata Diandra berhasil membuat Ardan diam.

Diandra menarik napas dalam-dalam, ia butuh oksigen lebih banyak untuk mengucapkan kalimat yang mungkin akan membuatnya menangis lagi. “Kalau begitu kita akhiri sampai disini saja,” kata Diandra membuat Ardan membelalakan matanya kaget.

“Kenapa kaget? Seharusnya kamu merasa senang karena sekarang kamu bebas bisa menjalin hubungan dengan Adinda tanpa takut ketahuan olehku.” Diandra menahan sekuat tenaga air mata yang kembali memenuhi pelupuk matanya. Tidak, kali ini ia tidak boleh terlihat cengeng di depan Ardan. ia harus menunjukkan bahwa ia bukanlah Diandra yang cengeng yang dapat diperlakukan Ardan seenaknya.

Ardan tidak bereaksi apapun, ia hanya menatap Diandra dengan tatapan matanya yang entah kenapa ia merasa sangat kesal melihatnya.

“Mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu, pesanku untukmu, jaga Adinda dan kandungannya dengan baik. Jangan pernah kamu sia-siakan Adinda seperti aku yang pernah kamu sia-siakan.”

Ardan mengusap wajahnya dengan pelan. “Bencilah aku, Dian, kamu pantas membenci seorang pria seperti diriku.”

“Aku tidak akan membenci dirimu atau siapapun, karena disini tidak ada siapapun yang salah. Hanya aku yang terlalu bodoh karena percaya padamu dan bertahan disisimu padahal semua itu hanya sebuah kesia-siaan.” Diandra mengambil selembar uang dari dompet dan meletakkannya di atas meja setelah itu ia beranjak dari kursi hendak keluar dari coffee shop yang mendadak terasa panas dan pengap.

“Diandra—” Langkah Diandra terhenti begitu mendengar suara Ardan memanggilnya. Diandra tidak berbalik, ia tidak mau pertahanannya runtuh ketika menatap wajah pria yang pernah mengisi hatinya itu.

“Aku minta maaf atas segala yang aku lakukan kepadaku selama ini. Aku berdoa dari lubuk hatiku semoga kelak kamu akan menemukan seorang pria yang lebih baik dariku, yang lebih mencintaimu lebih dari aku. Kamu pantas untuk mendapat kebahagiaan itu, Diandra, selamat tinggal.” Setelah mengatakan itu, Ardan pergi melewatinya begitu saja tanpa sebuah pelukan perpisahan.

Diandra menangis, meratapi kisah cintanya yang begitu menyedihkan. Ia terlalu bodoh dan naïf, menganggap bahwa hubungannya dengan Ardan selama ini akan baik-baik saja jika ia lebih banyak mengalah dan berkorban. Diandra tidak terlalu mempermasalahkan cinta Ardan kepadanya selama ia mencintai pria itu melebihi dirinya sendiri.

Semua itu adalah kebodohan Diandra. Sebuah kesalahan besar mencintai seorang Ardan dengan tulus dimana sebenarnya pria itu tidak pantas untuk mendapatkan cintanya yang begitu murni.


****

Uuuggh ... sini sini aku kasih pelukan virtual dulu buat Diandra💔
Next oneshoot yg hepi hepi ya gengs, aku otw ngetik dulu dan gk janji bakal update cepet✌

Sampai jumpa di oneshoot selanjutnyaa~
Baca Selengkapnya

Rabu, 20 Mei 2020

The Boy Next Door (Oneshoot #6)


Haiiiiii aku balik lagi sama OS baru nih! Sebenernya udh dari kapan tau aku buat oneshoot ini, tapi baru di upload sekarang 😂
Jadi aku tuh niatnya mau upload oneshoot secara bergantian, misalnya hari ini aku upload genre romance, besoknya aku upload yg genre sad. Habis dibuat senyam-senyum langsung dibuat nangis ya gengs😂

Okay Happy Reading guys!

****

Pagi itu, seorang gadis cantik sedang menyiram tanaman di halaman depan rumahnya. Sesekali ia curi-curi pandang ke rumah di sampingnya, berharap sang empunya rumah keluar dan menyegarkan kedua mata indahnya di pagi hari ini.

Namanya Ameira, seorang mahasiswa yang baru pindah ke perumahan dekat kampusnya. Sebenarnya rumah ini bukan ia kos sendiri, melainkan milik tantenya yang sudah lama kosong. Karena itu Ameira diminta tantenya untuk tinggal di rumahnya yang sekarang ia tempati, daripada mencari tempat kos yang mahal dan sangat susah di cari.

Ameira sangat senang saat ditawari untuk tinggal di rumahnya, uang sakunya lumayan hemat untuk kebutuhan yang lainnya. Apalagi saat Ameira tau bahwa ada tetangga yang tinggal tepat disamping rumah tantenya adalah seorang lelaki tampan yang sangat jarang keluar rumah.

Ame, panggilan akrabnya, baru bertemu beberapa kali dengan lelaki itu. Saat itu ia baru saja pindah ke rumah tantenya, tiba-tiba saja si tetangga tampannya itu datang ke rumah untuk mengajaknya makan malam di rumahnya. 

Kaget? Tentu saja. Ame bahkan belum menyiapkan diri untuk berkenalan dengan tetangga yang lain, niatnya Ame akan berkunjung ke beberapa tetangga dekat rumahnya esok hari, karena ia perlu menyiapkan beberapa hal. Tidak etis bila Ame berkunjung dengan tangan kosong tanpa membawa apapun.

Yang membuat Ame lebih merasa takjub dan tak menyangka, ternyata ibu dari lelaki tampan yang bernama Zahran itu adalah teman tantenya saat masih tinggal disini. Sungguh, Ame tidak menyangka di malam pertama ia pindah kemari akan langsung diberi sebuah kejutan yang sangat tidak diduga-duganya.

Kira-kira sudah satu bulan lebih Ame tinggal di perumahan sederhana ini. Dan selama itu juga bisa dihitung berapa kali Ame bertatap muka dengan Zahran, si tetangganya itu. Yang hanya Ame tau, Zahran juga seorang mahasiswa yang juga sedang bekerja paruh waktu di coffe shop dekat kampusnya. Semua informasi tentangnya, Ame tau secara ekslusif dari ibunya.

“Hari ini dia nggak keluar juga? Betah amat di rumah, emangnya ada apa sih?” gerutu Ame kesal. Menurut informasi dari ibunya, Zahran memang tipe anak rumahan. Ia hanya akan keluar rumah jika mau kuliah dan bekerja saja. Selebihnya ia menghabiskan waktunya di dalam rumah, entah melakukan apa disana.

“Masa aku harus main ke rumahnya lagi?” Ame berkata pada dirinya sendiri. Demi bisa bertemu dengan sang pujaan hati, Ame rela dua hari sekali main ke rumah Zahran dengan dalih ingin bertemu ibunya. Begitulah resiko memiliki gebetan yang jarang ke luar rumah, jadilah Ame yang harus berkorban demi mengejar masa depannya yang cerah.

Ame menghela napas pasrah, sepertinya pagi yang kesekian kalinya ini akan menjadi sia-sia lagi. Baru saja Ame mematikan kran air dan hendak berbalik masuk kedalam rumah, pintu rumah Zahran terbuka. Ame buru-buru membungkukkan sedikit tubuhnya dan mengintip dari balik tembok pembatas rumahnya dan Zahran. Ame melihat Zahran yang membawa gunting rumput seketika membentuk sebuah senyuman di wajahnya.

Akhirnya, setelah tigapuluh menit lamanya Ame menunggu di luar, sosok Zahran muncul membuat pagi Ame terasa lebih cerah. Zahran dengan wajah cool di mata Ame menggunting daun-daun kering tanaman di halaman rumahnya.

Ame masih terus mengintip dengan senyum bodohnya setiap gerak-gerik Zahran tanpa ia ketahui bahwa lelaki itu…

“Sedang apa kamu disana?” Zahran berkata tiba-tiba membuat Ame jadi salah tingkah. Ame menegakkan tubuhnya kaku sambil merapikan rambutnya dengan canggung.

“Eh? A-aku lagi nyiram bunga,” jawab Ame dengan gugup. Zahran melirik tangan Ame yang masih memegang kran air.

“Yakin lagi nyiram bunga? Kok krannya mati?” sambungnya lagi membuat Ame semakin salah tingkah. Memang tembok pembatas rumahnya dan rumah Zahran tidak terlalu tinggi, jadi Ame bisa mengobrol dan bertatap muka dengan Zahran dari halaman rumah masing-masing.

“I-ini baru aja dimatiin tadi. Habisnya aku nunggu kamu keluar lama banget, jadinya daripada mubazir air mendingan aku matiin ….” Tersadar telah mengucapkan kata yang sangat fatal keluar dari mulutnya, Ame membanting kran air di tangannya begitu saja dan langsung berlari masuk ke dalam rumah seperti orang gila.

Zahran yang melihat tingkah aneh Ame hanya tertawa gemas. Semenjak kedatangan Ame disamping rumahnya, hidupnya berubah menjadi lebih berwarna. Yang biasanya di rumah hanya ibu yang dapat menghidupkan suasana rumah, kini ada Ame yang sering membuat rumahnya terasa lebih hidup.
Setelah memastikan Ame tidak keluar lagi dari rumahnya, Zahran memutuskan untuk masuk kedalam rumah dengan senyum geli yang masih menghiasi wajah tampannya.

***

Sudah sekitar dua jam setelah kejadian memalukan itu, tapi Ame belum bisa melupakan kebodohan yang baru saja ia lakukan.

“Kenapa sih punya mulut ember banget?” gerutu Ame sambil menepuk bibirnya kesal. Ame tidak melihat ekspresi Zahran setelah ia mengatakan hal laknat itu karena ia sudah terlanjur kelewat malu pada lelaki itu.

“Selesai sudah, setelah ini pasti Zahran nggak akan mau lagi ngobrol sama aku. Pasti dia ilfeel deh sama omongan aku, pasti Zahran kira aku cewek ganjen yang ngejar-ngejar dia. Eh, bukannya bener ya? Aish tapi, aduuuh … bodoh banget sih kamu, Ame!” Ame terus saja merutuki dirinya sendiri sambil mengacak-acak rambutnya kesal.

Tok Tok

Ame terperanjat dari sofa sambil menatap ke arah pintu dengan tatapan bertanya. Ame mengambil langkah lebar menuju pintu utama, sebelum itu ia waspada dengan mengintip terlebih dahulu melalui jendela dekat pintu. Betapa terkejutnya Ame melihat sang tamu yang mengetuk pintu itu ternyata lelaki yang menghantui pikirannya sejak tadi pagi.

Ame buru-buru merapihkan kembali rambutnya yang berantakan akibat dari kekesalannya tadi. Ame membuka pintu secara perlahan sambil tersenyum semanis mungkin. “Zahran, ada apa ya?” Sebisa mungkin Ame menghalau rasa gugupnya dan berlakon senormal mungkin di hadapan Zahran.

“Aku pesan makanan lewat aplikasi online tadi dan ternyata porsinya kebanyakan. Aku mau numpang makan di rumah kamu, boleh?” tanya Zahran sambil mengangkat tangannya yang sedang memegang satu kantong plastik besar bernamakan restoran terkenal.

“Ah iya boleh, silahkan masuk.” Ame membuka pintunya lebar-lebar sehingga Zahran bisa masuk kedalam. Zahran berjalan menuju ruang tengah diikuti Ame dibelakangnya.

“Aku boleh duduk disini, kan?” tanya Zahran yang langsung dibalas anggukan oleh Ame. Zahran duduk di sofa sambil mengeluarkan satu per satu makanan dari dalam kantong plastik.

“Kamu nggak mau makan di ruang makan?” tawar Ame dengan nada setenang mungkin. Padahal tubuhnya sudah panas dingin dan jantungnya berdetak sangat cepat. Ame sangat bersyukur bibirnya tidak gemetaran yang bia membuat ia terlihat bodoh untuk kedua kalinya dihadapan Zahran.

“Nggak usah, lebih enak makan disini,” jawab Zahran. Ame ikut duduk di sofa berhadapan dengan Zahran. Ia menatap makanan yang sangat menggiurkan itu dengan mata yang berbinar.

“Kamu pesannya nggak kebanyakan? Emangnya kamu sanggup habisin semua makanan ini?” Ame menunjuk semua makanan yang tersusun rapih di atas meja dengan tatapan ragu.

“Siapa yang mau menghabiskan semuanya sendiri? Kamu juga ikut makan, Ameira. Aku nggak akan pelit kalau soal makanan,” sahut Zahran dengan nada lembutnya membuat semburat merah di wajah Ame muncul.

“Aku ambilkan piring dulu.” Ame beranjak dari sofa berjalan menuju dapur sambil menahan senyum bahagianya. Ame mengambil dua piring dan dua sendok untukya dan Zahran. Ame tidak menyangka bahwa ia bisa makan berdua bersama dengan Zahran di rumahnya. Rasanya seperti pasangan baru menikah yang sedang bahagia menikmati makanan berdua.

 Aih… barusan Ame berpikir yang iya-iya lagi—eh maksudnya yang tidak-tidak lagi.

Ame kembali dengan membawa piring dan sendok yang tadi ia ambil di dapur. Dengan sigap Ame menaruh makanan keatas piring dan memberikannya kepada Zahran. Lelaki itu mengucapkan terimakasih sambil tersenyum penuh arti kepada Ame.

Mereka berdua makan bersama dengan tenang. Zahran tidak banyak bicara ketika makan membuat Ame sedikit merasa canggung dengan suasana hening seperti saat ini. “Ibu kamu kemana?” tanya Ame memecah keheningan diantara mereka.

“Ibuku sedang ke rumah bibi buat bantu-bantu lagi hajatan disana,” jawab Zahran singkat. Lagi-lagi suasana kembali hening dan itu benar-benar mengganggu Ame.

“Ameira, menurut kamu kalau cewek yang mengejar cowok duluan itu gimana?” tanya Zahran tiba-tiba membuat Ame tersedak kuah sop yang sedang ia makan.

Zahran yang panik melihat Ame terbatuk-batuk dengan sigap memberikan air minum botol miliknya kepada Ame. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Zahran khawatir. Ame menggeleng, sambil tersenyum tipis. “Nggak apa-apa kok,” jawabnya dengan gugup. Zahran ini meledeknya atau gimana sih? Kenapa tiba-tiba ia mendadak bertanya hal seperti itu kepada Ame?

“Ke-kenapa kamu mendadak tanya itu?” Ame tidak berani memandang wajah Zahran. Entah kenapa ia mendadak merasa malu dengan pertanyaan yang Zahran ucapkan. Benarkah Zahran sedang menyindirnya secara halus? Apakah Zahran mengetahui bahwa Ame selama ini suka padanya tapi ia sengaja pura-pura tidak mengetahuinya?

“Bukan, temanku tadi bertanya dan meminta pendapatku. Menurutku nggak ada salahnya jika cewek yang mengutarakan perasaannya terlebih dahulu kepada cowok. Aku rasa itu nggak aneh, bagaimana menurut kamu?” Zahran menatap Ame lekat-lekat membuat gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Apa ini karena Ame yang keceplosan tadi pagi makannya Zahran bertanya seperti itu? Apakah Zahran benar-benar menyadari perasaannya selama ini gara-gara perkataan bodohnya tadi pagi?

Ame, kamu harus minta maaf segera.

Nggak usah! Kamu nggak salah apa-apa. Itu kan perasaan kamu, kamu berhak mengatakan itu ke dia.

Suara hati Ame saling beradu argument. Ame bimbang memilih antara meluruskan perkataannya tadi pagi agar tidak terjadi kesalah pahaman yang akan membuat Zahran menjauh darinya atau ia harus jujur pada lelaki itu bahwa selama ini ia memiliki rasa padanya.

“Ehm … Zahran, aku mau minta maaf soal tadi pagi.”

Dahi Zahran mengkerut bingung, “Memangnya tadi pagi kenapa?”

“Itu loh aku yang keceplosan kalau aku nunggu kamu keluar rumah. Aku benar-benar nggak tau kenapa bibir aku bisa keceplosan ngomong begitu. Aku benar-benar nggak sadar waktu ngomong itu, aku minta maaf.” Ame berkata sambil menundukkan wajahnya, antara merasa sedih dan malu.

“Kenapa minta maaf? Aku suka kamu ngomong itu tadi pagi,” kata Zahran membuat Ame mengangkat wajahnya dan menatap lelaki itu dengan ekspresi terkejut bercampur bingung.

“Eh?” tanya Ame memastikan. Ame tidak salah dengar, kan? Barusan Zahran mengatakan bahwa ia suka dengan perkataannya tadi pagi?

Zahran mengangguk mantap, kemudian ia menaruh sendok keatas piring dan menatap wajah Ame lekat-lekat. “Karena topik sedang dibahas, maka aku mau jujur sama kamu.” Ame menelan salivanya susah payah, harap-harap cemas menunggu apa yang akan dikatakan oleh Zahran setelah ini.

“Aku suka sama kamu, Ameira.” Kata-kata singkat yang keluar dari mulut Zahran berhasil membuat tubuh Ame membeku. Beberapa kali Ame mengerjapkan matanya, seakan tak percaya telah mendengar kata-kata sakral yang selama ini ingin ia dengar dari bibir Zahran sendiri.

“Aku tau mungkin ini terlalu mendadak, tapi aku nggak bisa menahan perasaan aku lagi. Sejak kamu datang dan tinggal di rumah sebelah, kamu menarik perhatianku apalagi setelah Ibu menyuruhku mengundangmu  untuk makan malam bersama. Kamu tau kan, aku itu cowok rumahan yang tidak terlalu tertarik dengan dunia luar apalagi perempuan? Tapi setelah melihat kamu berhasil dekat dengan Ibu dan sering berkunjung ke rumah, aku merasakan perasaan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Hanya kamu, Ameira, yang berhasil membuat hatiku tergerak untuk dapat merasakan cinta.” Zahran berkata dengan nada lembut namun ekspresi wajahnya sangat serius itu justru nampak lucu di mata Ame.

Ame melirik malu-malu Zahran dihadapannya, “A-aku kira selama ini kamu nggak suka sama aku. Aku kira cintaku bertepuk sebelah tangan …,” sahutnya dengan nada rendah.

“Kamu salah besar, Ameira. Kamu kira selama ini aku nggak memberi kamu kode bahwa aku suka sama kamu? Kamu kira selama ini yang mengajak kamu makan malam adalah Ibuku? Bukan, itu adalah aku, tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya secara langsung. Lalu, dengan segala hadiah yang mengatasnamakan Ibuku, itu juga semua hadiah dariku. Aku hanyalah cowok rumahan biasa yang nggak tau cara mendekati seorang cewek, maafkan aku.” Zahran menatap wajah Ame dengan ekspresi menyesal.

“Jadi kamu selama ini tau kalau aku suka sama kamu?” tanya Ame dengan wajah kaget. Zahran menganggukkan kepalanya, “Iya, tingkah kamu lucu setiap ada aku pasti kamu langsung gugup gitu dan akhirnya masuk ke rumah nggak keluar semalaman.” Zahra tertawa geli setiap mengingat tingkah lucu Ame.

Ame mengambil satu bantal sofa dan melemparnya ke arah Zahran. “Ikh, kamu mah! Kalau kamu udah tau dari dulu, kenapa nggak langsung bilang suka sama aku sih? Kan aku jadi malu …,” kata Ame sambil memberengut kesal.

“Kapan lagi aku bisa isengin kamu sampai muka kamu merah kayak tomat?” tawa Zahran semakin kencang yang membuat Ame semakin kesal mendengarnya.

Sadar jika Ame sedang merajuk padanya, Zahra beranjak dari sofa dan duduk disebelah gadis itu. “Ameira, yang semua aku katakan itu benar, tentang perasaanku padamu bukanlah main-main. Maaf jika sikap cuek aku selama ini telah membuat kamu tertekan, tapi perasaanku ini benar-benar tulus kepadamu. Jadi, maukah kamu menerima si cowok rumahan yang masih dangkal dengan hal-hal percintaan menjadi pacar kamu?” kata Zahran sambil menatap Ame intens.

Ame diam selama beberapa detik dengan wajah gugup yang sangat terlihat jelas. Padahal ia hanya tinggal menjawab ‘iya’, tapi mengapa rasanya sangat susah sekali untuk mengucapkannya?

“Iya, Zahran, aku terima pernyataan cinta kamu.” Zahran tak bisa menutupi rasa bahagianya, tanpa sadar ia memeluk tubuh Ame dengan erat membuat gadis itu sedikit speechless dengan perlakuan lelaki yang baru saja menyandang status sebagai kekasihnya itu.

“Terimakasih, aku sangat senang kamu menerima cintaku, Ameira.” Zahran melepas pelukannya dan menatap wajah Ame dengan binar bahagia.

“Aku yang seharusnya berterimakasih sama kamu, ternyata cintaku selama ini nggak bertepuk sebelah tangan.” Zahran mengelus puncak kepala Ame dengan lembut.

“Malam nanti, aku akan mengenalkan kamu sebagai pacar aku kepada Ibuku,” kata Zahran tiba-tiba membuat kedua mata Ame membulat sempurna.“Secepat itu? Tapi aku belum memiliki persiapan apa-apa …,” kata Ame dengan panik.

“Nggak usah takut, aku yakin Ibuku seratus persen akan setuju sama hubungan kita. Aku beritahu satu rahasia yang Ibu katakan padaku,” kata Zahran dengan seringai misterius di wajahnya.

“Apa itu?” tanya Ame penasaran.

“Ibu pernah bilang padaku bahwa dia ingin kamu menjadi menantunya kelak.” Wajah Ame seketika menjadi merah padam mendengar perkataan kekasihnya itu. Zahran tertawa gemas melihat tingkah malu-malu Ame yang sangat lucu di matanya.


Zahran berharap hubungannya dengan Ame akan langgeng sampai saatnya ia lulus kuliah dan memiliki pekerjaan tetap sehingga ia bisa menimang Ame menjadi istrinya kelak. Memikirkannya saja membuat Zahran merasa tidak sabar hari itu tiba.

****

Happy ending lagi pemirsahhhhh wkwkwk😂
Next OS berarti genre sad yah, nanti aku harus nonton atau denger lagu yg sedih2 dulu biar kebawa emosi pas ngetiknya😂

Terimakasih sudah membaca dan sampai jumpa di oneshoot selanjutnyaaa~

Baca Selengkapnya

Jumat, 08 Mei 2020

My Old Story (Oneshoot #5)


Halooo~ Aku comeback lagi dengan cerpen terbaru yang fresh from the oven banget!
Sedikit cerita ya, cerpen ini terinspirasi dari lagu IU - My Old Story. Makna lagu itu dalem banget, bagi kalian yg kpopers pasti tau betapa sedihnya lagu itu *cielahhh*


Oh ya sedikit info, kalau di blog ini aku emang sengaja post khusus cerpen aja. Kalau kalian mau liat karyaku yg lain bisa cari di wattpad ya, usernamenya : ayalim_

Aku belum pasti bakal jadiin blog ini sebagai dunia imajinasi kedua ku setelah wattpad atau gimana, yg jelas untuk saat ini setiap postingan disini baru sekedar cerpen. Kalau untuk review drama sepertinya ditahan dulu, karena aku sedang tidak tertarik nonton drakor😄

Oke udahan ya cuap2nya, selamat membaca 😚

****

Sebuah perpisahan seringkali meninggalkan luka yang mendalam bagi seseorang yang pernah mengalaminya. Tentu saja tidak semua orang ingin berpisah dari orang yang dikasihinya, sama halnya dengan perempuan cantik berkulit pucat yang sedang duduk sendiri di pojok perpustakaan. Deana namanya, perempuan itu tengah membaca salah satu buku poetry kesukaannya dengan seksama. Deana sangat suka dengan hal-hal berbau novel, dan genre apapun Deana sangat menyukainya.

Deana membuka lembaran baru di buku yang sedang ia baca. Disana tertulis jelas judul yang menceritakan tentang perpisahan yang sangat menyedihkan. Deana menghirup napas dalam-dalam dengan kedua mata yang tertutup.

Jangan lagi, aku mohon…

Deana meringis pelan sambil mengusap dahinya yang sedikit pusing dengan pelan. Ia benar-benar trauma mendengar atau melihat kata-kata perpisahan, karena setelah itu kepalanya langsung terasa sakit seperti rasanya ingin pecah sampai erkeping-keping.

Deana punya alasan sendiri penyebab mengapa ia sampai seperti ini. Deana berasal dari keluarga yang broken home. Ayah dan ibunya telah berpisah sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan Deana sendiri yang melihat langsung bagaimana pertengkaran hebat mereka malam itu sebelum mereka memutuskan bercerai keesokan harinya.

Saat itu adalah kenangan terburuk yang pernah Deana miliki. Bertahun-tahun ia mencoba melupakan kejadian pertengkaran orangtuanya namun semua memori itu tidak bisa lepas dari benaknya yang membuat dirinya menjadi trauma karena hal itu. Itulah alasan mengapa Deana sangat membenci dengan kata ‘perpisahan’.

Disaat hidupnya terasa hampa karena retaknya rumah tangga keluarganya, Deana mulai memiliki harapan untuk hidup sejak muncul Wildan dalam hidupnya. Mereka tak sengaja bertemu di salah satu danau belakang sekolah dekat rumahnya dulu.

Saat itu Deana berniat untuk melakukan bunuh diri karena tidak tahan lagi hidup lebih lama di dunia. Namun Wildan yang entah darimana muncul dan menggagalkan rencana Deana. Tentu saja reaksi Deana saat itu bingung dan sedikit terkejut, karena memang jarang banyak orang yang datang ke danau ini kecuali dirinya.

Saat itu Wildan mengenalkan dirinya kepada Deana. Wildan adalah orang pindahan berasal dari Surabaya. Ia mengikuti ayahnya yang sedang bertugas di Jakarta. Entah bagaimana sejak saat itu hubungan mereka menjadi dekat. Dan seperti sebuah takdir, keluarga Wildan pindah ke rumah tepat di samping rumah Deana membuat gadis itu bahagia tak terkira.

Deana yang awalnya sangat menutup diri dan pendiam mulai menampilkan wajah ceria dan tingkah imutnya sejak Wildan menjadi temannya.  Hidupnya saat itu sangatlah indah, Deana sangat bersyukur Wildan datang di hidupnya dan membuatnya mulai berubah ke arah yang lebih baik.

Wildan masuk ke sekolah yang sama dengan Deana, tentunya atas rekomendasi gadis itu sendiri. Deana dan Wildan satu kelas. Yang awalnya Deana selalu duduk sendiri, setelah muncul Wildan lelaki itu yang menempati bangku kosong disebelahnya. Deana sangat bahagia, hari-harinya di sekolah sudah tidak terasa membosankan lagi sejak ada Wildan yang menemaninya.

Jika Wildan pergi ke kantin, Deana akan mengikutinya. Jika Wildan dipanggil oleh guru, Deana menemaninya kesana. Deana terus mengekori Wildan kemanapun lelaki itu pergi sampai membuat seluruh murid bergosip jika mereka berpacaran.

Deana sih tidak masalah dengan gosip itu, ia malah sangat senang jika semua orang menganggapnya sebagai pacar Wildan. Namun karena rumor itu telah tersebar di lingkungan sekolah membuat Wildan perlahan memberi jarak dengan Deana. Wildan tidak lagi duduk bersama Deana, ia lebih memilih duduk bersama teman cowok lainnya.

Perasaan Deana? Tentu saja sedih, ia tidak tau mengapa sikap Wildan menjadi aneh saat itu. Berkali-kali Deana hendak menanyakan perihal sikap Wildan yang berubah, namun lelaki itu nampak sengaja menjauhinya dan tidak ingin berbicara dengannya.

Dengan perubahan sikap Wildan membuat hari-hari Deana kembali gelap. Tidak ada lagi Wildan yang selalu menyemangatinya dan membuatnya tertawa, karena satu-satunya orang yang membuatnya berubah sudah menjauhinya.

Hari demi hari telah berlalu, tak terasa Deana sudah menginjak kelas tiga sekolah menengah atas. Selama itu juga Wildan tidak pernah bertegur sapa lagi dengan Deana. Bahkan setiap Deana ingin berangkat sekolah bersamanya, Wildan sudah pergi terlebih dahulu. Sejak saat itu Deana mengerti, mungkin Wildan merasa tidak nyaman dengan adanya gosip tentang mereka berdua yang telah menyebar di lingkungan sekolah.

Karenanya Deana memutuskan untuk perlahan mulai menjauh dari Wildan. Ia tidak lagi mencoba meminta penjelasan atas sikap anehnya ke Wildan, atau apapun itu. Deana tidak ingin membuat Wildan malu karena dirinya.

Hari itu dimana hujan turun dengan derasnya, ditambah dengan petir yang sangat menyeramkan, Deana tengah duduk termenung di depan lab komputer sendirian. Deana paling suka dengan hujan, karena dengan begitu ia bisa menumpahkan segala kesedihannya tanpa diketahui atau terdengar orang lain.

Deana ingat saat itu Wildan tiba-tiba saja muncul disana dan melihat ke arahnya dengan ragu. Deana tau jika ada sosok Wildan disana, namun ia hanya diam dan bersikap seakan tidak tau ada orang lain selain dirinya disana. Mereka berdua saling diam satu sama lain selama tiga puluh menit lamanya sebelum perkataan Wildan membuat Deana tidak dapat berkata-kata.

***

“Deana, aku mau pergi,” katanya dengan wajah sendu. Deana masih tidak menoleh ke arahnya dan tetap berfokus menatap lurus kedepan.

“Ayahku di tugaskan lagi di Surabaya, aku harus ikut pergi dengannya,” sambungnya lagi dengan kepala yang tertunduk. Deana membeku, pandangannya mulai tidak fokus, pikirannya juga mulai kacau.

“Kepindahanku satu minggu dari sekarang. Aku harus mengatakan ini kepadamu sebelum hari itu tiba dan aku tidak bisa mengucapkan perpisahan denganmu.” Wildan mulai melangkah dengan gerakan lambat mendekat kea rah Deana yang masih dalam posisi duduknya.

Saat Wildan sudah tepat berdiri di belakangnya, Deana berbalik dan menatap wajah Wildan yang sudah sangat ia rindukan. “Ke-kenapa tiba-tiba?” kata Deana dengan bibir bergetar menahan tangis. Ia berusaha keras agar air matanya tidak jatuh.

“Aku tidak tau, ini bukan keinginanku. Ini karena pekerjaan Ayahku yang mengharuskan aku untuk berpindah-pindah tempat,” jawabnya dengan wajah sedih dan bingung bercampur aduk.

Air mata Deana berjatuhan membuat Wildan cukup kaget melihatnya. “Dean … kenapa kamu nangis?” tanya Wildan khawatir. Deana menggelengkan kepalanya, namun tangisnya malah semakin kencang membuat Wildan bingung sekaligus khawatir. Akhirnya Wildan memutuskan untuk memeluk Deana dan mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut.

“Kamu jahat, Wil. Kamu nggak seharusnya begini sama aku, kamu tau aku sudah sangat terluka karena sikap acuh kamu ke aku? Dan sekarang kamu tiba-tiba ngomong ke aku kalau kamu mau pergi? Kamu kira aku nggak punya perasaan? Kamu kira aku hanya boneka yang nggak berharga dengan gampangnya kamu buang?” Deana berkata dengan frustasi sambil memukul lengan Wildan lemah.

Wildan memejamkan matanya dan semakin mempererat pelukannya pada Deana. “Maafin aku … maafin aku, Deana. Aku memang cowok brengsek yang nggak pantas buat kamu, buat jadi sahabat kamu. Maaf jika sikap aku membuat kamu sedih, tapi kamu perlu tau bahwa aku melakukan semua itu untuk kebaikan kamu juga.” Deana menghentikan tangisnya untuk mendengar penjelasan Wildan selanjutnya.

“Kamu nggak pernah tau bahwa banyak orang di sekolah ini terutama di kelas yang nggak suka sama kamu, Dean. Semenjak ada gosip tentang kita menyebar, aku pernah mendengar beberapa siswi sedang membicarakan hal-hal jelek tentang kamu. Karena aku nggak ingin hal buruk menimpa kamu, aku memutuskan untuk menjauh dari kamu agar orang-orang yang membenci kamu itu nggak mengganggumu lagi,” jelas Wildan membuat Dean melepaskan pelukannya dan menatap wajah Wildan dengan kedua mata yang sembab.

“Aku nggak peduli, Wil. Aku sama sekali nggak peduli tentang omongan orang lain tentangku, itu terserah mereka. Aku yang menjalani hidupku sendiri, Wil, bukan mereka! Aku nggak butuh dengar semua cacian nggak penting mereka yang malah membuat aku semakin down. Aku cuma butuh kamu, Wil, cuma kamu satu-satunya orang yang ngerti perasaan aku,” kata Deana dengan marah.

“Justru kalau kamu terus diam seperti ini malah akan membuat orang yang membenci kamu semakin gencar mengolok-ngolok kamu. Kamu harus buktikan kepada mereka bahwa kamu bukanlah seorang pecundang yang dengan gampang mereka jatuhkan. Kamu harus merubah jalan pikiranmu, Dean. Kalau kamu terus menutup diri seperti ini, hidup kamu bagaimana setelah kepergianku nanti?” Wildan meremas bahu Deana erat.

Deana terdiam mendengar semua perkataan Wildan. “Aku sayang sama kamu, Dean. Aku nggak mau kamu dijahati oleh mereka, aku nggak mau kamu menjadi lemah. Kamu harus berubah menjadi lebih kuat, menjadi Deana yang nggak takut pada apapun.” Deana kembali meneteskan air matanya begitu kalimat yang keluar dari bibir Wildan sangat mempengaruhinya.

“Maafin aku, Wil karena udah nyusahin kamu selama ini. Aku kira kamu benar-benar muak berteman denganku, aku kira kamu tidak suka berdekatan denganku. Ternyata dugaanku selama ini salah, kamu adalah orang terbaik di hidupku, Wil.” Deana kembali memeluk Wildandengan erat.

“Aku sama sekali nggak membenci kamu. Justru kalau boleh jujur, aku sangat senang dengan gosip kita berdua. Mungkin jika kita menjadi pasangan sungguhan, itu akan menjadi skandal yang heboh di sekolah,” kata Wildan sambil tertawa.

Deana diam sambil memandang wajah Wildan lekat-lekat. “Aku sayang kamu, Wil.”

Wildan cukup terkejut mendengar pernyataan tiba-tiba dari Deana, namun setelah itu ia tersenyum manis. “Aku juga sayang sama kamu, Dean. Dengar aku, setelah aku pergi nanti tidak ada yang berubah dengan hubungan kita. Jarak nggak akan memisahkan kita, lagi pula jarak Surabaya ke Jakarta tidak terlalu jauh jika naik pesawat. Jangan jadi cewek yang cengeng jika aku nggak ada,. Ingat, kamu harus menjadi cewek yang tangguh yang bisa mengalahkan seribu musuh yang menghalangi kamu. Kamu mengerti, 'kan?” Wildan menangkup pipi Deana sambil menungu jawaban gadis itu.

Deana mengangguk, “Iya, aku janji.”

***

Deana menutup buku poetrynya dan menyimpannya kembali kedalam rak buku perpustakaan. Ia menatap ke arah luar jendela besar perpustakan. Langit terlihat sangat cerah, musim panas sudah di depan mata. Deana melirik jam tangannya, sudah waktunya untuk ia pergi ke suatu tempat. Deana mengemasi barang-barangnya dengan senyum tipis di wajahnya.

Deana keluar dari perpustakaan dan memanggil sebuah taksi yang kebetulan sedang berhenti tak jauh dari posisinya. Tak butuh waktu lama untuk taksi itu membawa Deana ke tempat tujuannya. Setelah membayar tipnya, Deana segera keluar dari taksi menuju sebuah warung kecil yang menjual berbagai macam bunga yang indah.

Deana melihat-lihat bunga disana dengan teliti sampai dimana ia menemukan bunga favoritnya. “Ini berapa, Bu?” tanya Deana sambil menunjuk ke arah bunga baby breath yang sangat indah itu.

“Empat puluh lima ribu, Mbak,” jawab si penjual itu dengan ramah. Deana mengambil uang di dalam dompetnya dan memberikannya kepada penjual bunga itu.

“Kembaliannya ambil saja buat, Ibu. Terimakasih ya.” Deana pergi meninggalkan toko bunga itu dan masuk kedalam sebuah pemakaman yang sangat sepi di siang hari. Deana berjalan sambil membawa buket bunga yang tadi dibelinya dengan senyum di wajahnya. Baby breath melambangkan cinta sejati tak berakhir, sama seperti cinta Deana kepada Wildan yang tak pernah pudar sampai kapanpun.

Deana berhenti di satu makam yang terlihat sangat bersih karena hampir setiap hari ia datang kesana untuk membersihkannya. Deana berjongkok, menatap makam itu lekat-lekat sambil mengusap nisan yang bertuliskan ‘Wildan Gifari’ dengan wajah sendu.

“Wil, apa kabar? Maaf aku telat, tadi aku mampir ke perpustakaan, niatnya hanya sebentar tapi aku malah asyik baca buku disana.” Deana berbicara dengan santainya seolah Wildan ada disana dan mendengarnya.

“Buku yang aku baca kali ini tentang perpisahan yang menyedihkan. Wil, aku rasa cerita di dalam buku itu sangat menggambarkan kehidupanku. Aku yang ditinggal oleh kedua orangtuaku karena bercerai, dan aku yang ditinggal pergi untuk selama-lamanya sama kamu.” Deana berkaca-kaca menatap batu nisan Wildan, mencoba mencari kekuatan yang hanya berujung sia-sia.

“Waktu itu kamu janji sama aku kalau kamu akan berkunjung ke Jakarta untuk menemuiku. Tapi setelah pesan yang kamu kirimkan saat itu, kamu menghilang begitu aja. Aku khawatir dan takut, aku selalu berpikir apakah kamu akan kembali bersikap dingin kepadaku seperti yang kamu lakukan saat kita masih sekolah dulu? Kamu nggak memberikan kabar selama berbulan-bulan membuat aku menyerah dan mulai berpikiran negatif sama kamu.” Deana mengusap ukiran nama Wildan di batu nisan dengan air mata yang mulai berjatuhan.

“Sampai dimana Ayah kamu memberi kabar kepadaku lewat telpon dan mengatakan bahwa kamu sudah tiada,” kata Deana sambil sesegukan. “Kamu kira aku percaya sama perkataan Ayah kamu? Enggak sama sekali, aku hanya berpikir jika Ayah kamu bercanda tentang kamu saat itu agar aku tidak menemui kamu. Tapi esok harinya Ayah kamu mengirim gambar sebuah makam dimana ada nama kamu di batu nisannya.”

“Aku kaget, aku nggak percaya kamu sudah nggak ada di dunia ini. Aku kira kamu masih melanjutkan kuliah kamu di Surabaya seperti biasa, tapi setelah melihat kiriman Ayah kamu baru aku percaya kalau kamu sudah pergi ke tempat yang jauh disana.” Deana mengusap air matanya sambil menutup mulutnya agar tidak tangisnya tidak terdengar orang lain.

“Ayah kamu mengatakan bahwa kamu di semayamkan di Jakarta. Aku merasa kaget lagi, jadi saat kamu mengirimkan pesan padaku kamu sedang berada di Jakarta? Lalu kenapa kamu tidak mengabariku lebih dulu, Wil? Apa aku bukan orang yang penting bagimu?” Tangis Deana mulai mereda. Ia mengambil bunga yang tadi dibawanya dan meletakkannya diatas makam Wildan.

“Ini, ada bunga buat kamu. Aku sekarang sudah menghasilkan uang sendiri dengan magang di perusahaan asuransi. Setiap aku gajian nanti, aku akan memberikanmu bunga yang banyak agar kamu tau bahwa aku selalu menyayangimu dan hidupku baik-baik saja disini. Terimakasih karena sudah mau menjadi teman sekaligus penyelamat hiduku, aku nggak akan melupakan kamu selamanya, Wildan.” Deana mengusap batu nisan Wildan untuk yang terakhir kalinya sebelum ia bangkit dan pergi dari sana.

****

Aku saranin bacanya sambil denger lagu IU - My Old Story ya, biar feelnya semakin nyata gitu wkwkwk😁
Aku mau kasih tau, kalau tanda italic/garing miring itu adalah flashbacknya, selain italic itu normal ya.


Oke hari ini satu OS aja ya, kapan2 lagi aku post OS yg baru. Terimakasih, sampai jumpa di OS selanjutnya~

Baca Selengkapnya

Sabtu, 02 Mei 2020

Imagination (Oneshoot #4)



Halooo aku balik bawa OS yg seger nihhh >.< Seseger aku kalau liat kamu keluar rumah buat olahraga pagi eaaaak :D

Happy reading y'all!

****

Seorang gadis berambut sebahu itu nampak serius menatap layar laptopnya di sudut cafe yang ramai. Siang itu ia sedang beristirahat sejenak sebelum berperang kembali dengan draft naskah yang belum ia kirimkan ke editornya. Gadis itu—Sophia namanya—adalah seorang penulis tetap di salah satu tempat penerbitan di Jakarta. Sophia sesekali membenarkan posisi kacamata bacanya yang merosot sambil membaca berita atau gosip yang sedang trending di Twitter.

Salah satu pelayan cafe menghampiri meja Sophia sambil membawa pesanannya. “Silahkan mbak, pesanannya,” kata pelayan itu dengan ramah. Sophia membalas senyum pelayan itu sebelum ia kembali sibuk menatap layar laptop kesayangannya. Sophia sangat tidak ingin ketinggalan gosip terhangat yang sedang trending di Twitter. Biasa, perempuan dan keingintahuannya.

Sophia menyesap kopi hangat yang ia pesan secara perlahan. Meminum kopi yang masih hangat secara perlahan dan mengkhayatinya dengan khidmat adalah kesenangan bagi Sophia sendiri. Ia bukan maniak kopi, tapi meski begitu, kopi adalah salah satu list minuman favoritnya setelah jus strawberry.

“Eh, lo udah tau belum beritanya?”

Sayup-sayup Sophia mendengar suara seorang anak remaja yang duduk tak jauh dari tempatnya.

“Berita apa sih?” sahut temannya penasaran.

“Itu loh vokalis band Darkness katanya mau tunangan sama pacarnya!” sambung si anak remaja yang memakai hoodie berwarna pink itu dengan heboh.

“Ah masa? Gue tau sih Alvero itu udah punya pacar, tapi gue belum liat tuh beritanya,” balas temannya tak percaya.

‘Berita terheboh kali ini datang dari penyanyi tanah air sekaligus vokalis dari band Darkness, Alvero, akhirnya mengumumkan tanggal pertunangannya dengan kekasihnya, Anya Selvia, model sekaligus aktris cantik yang sedang naik daun. Menurut informasi yang kami dapat, Alvero dan Anya akan melaksanakan pesta pertunangan yang tertutup di salah satu hotel bintang lima—’

“Tuh kan bener apa kata gue! Alvero mau tunangan sama pacarnya, Anya Selvia !” seru anak remaja berhoodie itu dengan antusias.

“Iih nggak rela gue! Masa Alvero beneran jadi sih sama si Anya itu? Pokonya gue nggak suka Alvero tunangan sama Anya!” seru temannya itu marah.

Sophia sendiri terlihat syok dengan berita di televisi cafe yang baru saja ia lihat. Jadi benar, Alvero akan bertunangan dengan Anya?

Sophia memalingkan wajahnya ke arah kaca cafe yang memperlihatkan pemandangan jalanan ibu kota. Tiba-tiba saja langit terlihat mendung, sama seperti perasaannya yang tiba-tiba menjadi mendung setelah melihat berita tentang Alvero tadi.

Sophia menghela napas panjang, entah mengapa ia merasa sedih. Padahal kenangan itu sudah lima tahun lamanya, tapi kenapa ia tidak bisa melupakan satu pun kenangan itu sama sekali dari ingatannya?

***

Lima tahun yang lalu

Gadis cantik itu tengah bersiap diri melihat pantulan dirinya dari kaca lemarinya. Gadis itu terlihat sangat puas dengan penampilannya kali ini. Kaos polos berwarna putih dengan celana jeans sebatas lutut membuat ia sangat nyaman memakainya.

“Sophia, ayo turun, sarapan.” Gadis yang dipanggil Sophia itu menoleh mendengar teriakan bundanya dari luar. Dengan tergesa, Sophia mengambil sling bag miliknya dan bergegas keluar dari kamar sebelum bundanya menghampirinya ke kamar dan berteriak menyuruhnya untuk segera keluar.

“Sarapan kali ini apa, Bun?” Sophia duduk di salah satu kursi dan meneteskan air liur melihat beberapa masakan yang tersaji membuat perutnya semakin bergejolak meminta jatahnya segera.

“Nasi goreng, telur mata sapi, ada juga itu sup taoge. Mau Bunda hangatkan lagi sup taogenya?”

Sophia menggeleng, “Nggak usah, Bun. Nasi goreng sama telur mata sapi udah cukup kok,” kata Sophia sambil tersenyum. Sophia mengambil nasi goreng yang masih hangat itu dan mengambil satu telur mata sapi keatas piringnya.

“Bismillahirrohmanirrohim, selamat makan Bunda.” Sophia memasukkan sesendok nasi goreng beserta telur mata sapi kedalam mulutnya dengan mata yang berbinar.

“Enak banget Bunda! Kayak masakan di restoran bintang lima!” seru Sophia terlalu berlebihan. Bunda hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah konyol putri semata wayangnya.

Sophia melihat banyaknya nasi goreng yang masih tersisa di mangkuk besar. “Banyak banget Bun, bikin nasi gorengnya?” tanya Sophia. Biasanya bundanya tidak pernah memasak banyak karena hanya ia dan bunda yang makan.

“Oh katanya Ayah mau pulang hari ini. Jadi Bunda masaknya porsinya dibanyakin sedikit,” jelas bunda dengan senyum bahagia di wajahnya. Sophia tersenyum kecut, “Masih inget rumah, Ayah? Sophie kira Ayah udah nggak tau jalan pulang.”

“Hush, kamu nggak boleh bicara seperti itu, Sophie! Dia kan Ayah kamu, orang tua kamu, seharusnya kamu bisa lebih menghormatinya.” Bunda menegur Sophia tegas. Sophia tidak menjawabnya dan lebih memilih memakan kembali sarapannya. Bunda melihat putri semata wayangnya itu dengan perasaan sedih. Wajar jika Sophia bertingkah seperti itu kepada ayahnya, karena ia sudah sering dibuat kecewa oleh ayahnya, sosok yang selama ini Sophia kira adalah pahlawannya.

“Sophie berangkat dulu, Bun.” Sophia memakai sling bagnya dan mencium tangan bundanya sebelum ia keluar dari rumah. Sophia trsenyum senang tatkala melihat ojek online yang ia pesan untuk mengantarnya ke suatu tempat sudah berada di depan rumahnya. Tak butuh waktu lama untuk kendaraan beroda dua itu menyalip kendaraan lainnya di padatnya jalanan Jakarta di siang menjelang sore hari.

***

“Makasih ya, Bang.” Setelah membayar ojek online tadi, Sophia melihat ke sekitarnya mencari sesuatu disana. Ia tersenyum senang ketika melihat ratusan orang yang sedang mengantre di pintu masuk sebuah venue yang biasanya menjadi tempat untuk konser para penyanyi tanah air maupun internasional.

Sophia ikut mengantre di antrian panjang itu ditengah cuaca terik siang hari. Namun semua itu tak menjadi penghalang bagi Sophia untuk dapat bertemu dengan sang idola, Alvero. Konser band Darkness ini adalah konser yang sangat ditunggu-tunggu oleh Dorkey, julukan fans band Darkness termasuk juga Sophia. Jauh-jauh hari setelah konser ini diumumkan, Sophia langsung membeli tiketnya yang paling depan agar bisa melihat anggota Darkness terutama Alvero lebih dekat.

Setelah mengantre berjam-jam, akhirnya Sophia bisa masuk kedalam venue besar itu. Sophia langsung mengambil tempatnya di paling depan, ia takut jika tidak segera di tempati, maka nanti ada orang yang menyerobot dan menempati tempatnya. Sophia mengeluarkan sebuah bando bertuliskan ‘Alvero’ itu dan memakainya di kepala. Sebelum konser di mulai, Sophia mengabadikan momen tersebut dengan berswafoto dengan ciri khas gayanya.

Tak lama setelah itu lampu yang tadi menyalapun mati. Sophia memekik kegirangan ketika intro lagu Darkness mulai terdengar. Bukan hanya Sophia saja, tapi seluruh fans yang berada disana juga meneriakkan satu per satu nama anggota Darkness dengan histeris.

Setelah itu lampu yang tadi padam menyala kembali dan muncul angoota Darkness yang menampilkan lagu pertamanya sebagai pembuka di konsernya. Adrian pada drum, Cello pada bass, Jaju pada gitar, dan yang pastinya vokalis utamanya, Alvero yang dapat membuat semua perempuan yang melihatnya mati berdiri.

“Arghhh! Alvero! Alverooo!” Sophia berteriak histeris.Beruntungnya Sophia ketika ia meneriakkan nama Alvero, lelaki itu menoleh ke arahnya sambil tersenyum manis membuat kinerja jantung Sophia tak beraturan. Setelah menyanyikan satu lagu pembuka, Darkness istirahat sejenak sambil mengobrol santai dengan para fansnya.

“Apa kabar Dorkey semuaa?” sapa Alvero membuat satu venue berteriak histeris.

“Tadi baru satu lagu yang kami tampilkan. Tapi masih banyak lagu yang akan kami bawakan untuk kalian, jadi apakah Dorkey masih semangat?” Alvero mengangkat mic di tangannya ke arah fans.

“Iyaaa!” jawab Sophia dan fans lainnya histeris. Sophia benar-benar tidak menyangka hari dimana ia bisa melihat secara dekat Alvero akan tiba. Sejak duduk dibangku sekolah menengah atas, Sophia sudah mengidolakan Darkness, terutama Alvero. Namun baru di umurnya yang ke sembilan belas, ia dapat berkesempatan untuk menonton secara langsung konser Darkness dan dapat tempat paling depan.

“Lagu kedua akan bertemakan tentang cinta. Disini siapa yang udah punya pacar dan cinta banget sama pacarnya?”

“Wohoooo!” teriak fans histeris.

“Lagu ini saya ciptakan tentang seseorang yang sangat mencintai pacarnya dan menuangkan rasa cintanya itu kedalam sebuah lagu. Siap-siap ya Dorkey, ada kejutan special untuk kalian nanti.” Alvero mengedipkan sebelah matanya membuat teriakan fans semakin tak terkendali.

Sophia hanya bisa menganga melihat ketampanan Alvero yang bisa memebuat hidungnya mimisan. Suara musik mulai terdengar, lampu kembali padam, namun digantikan dengan lighting yang lebih soft dan bernuansa romantis.

“Ketika mata kita saling bertemu ….” Alvero menyanyikan bait pertama dengan penuh penghayatan. Sophia ikut terhanyut mendengar suara merdu Alvero di telinganya. Sophia jadi merasa kalau Alvero sedang bernyanyi bukan untuk fans lainnya, tapi hanya untuknya.

“Aku mulai jatuh hati padamu ….” Alvero berjalan semakin mendekat ke sisi depan panggung untuk menyapa para fans yang berteriak seperti cacing kepanasan.

Tiba-tiba dipertengahan lagu musiknya berhenti, digantikan dengan instrumental gitar yang membuat nuansa semakin terasa romantis. “Ini adalah kejutan special buat kalian. Saya akan membawa satu fans yang beruntung untuk bernyanyi bersama saya di atas panggung,” kata Alvero membuat semua fans langsung histeris tak terkecuali Sophia.

Saat Alvero kembali mendekat ke sisi depan panggung, Sophia ikut berteriak sekencang-kencangnya agar Alvero memilihnya. Jantung Sophia berdebar tak karuan begitu melihat Alvero berjalan mendekat ke arahnya. Namun sepertinya ia harus menelan kekecewaannya karena Alvero hanya berjalan melewatinya. Sophia menundukkan kepalanya sedih, namun ia kembali mengangkat wajahnya ketika mendengar teriakan fans yang menggila disusul dengan sebuah tangan yang mengulur ke arahnya.

Sophia diam seperti batu, antara percaya dan tidak percaya akan dipilih oleh Alvero langsung. Alvero kembali menggerakkan tangannya, meminta Sophia agar menerima ajakannya untuk ke atas panggung. Setelah kesadarannya sedikit terkumpul, Sophia menerima ajakan Alvero dan memegang tangan Alvero agar lelaki itu bisa membantunya untuk naik ke atas panggung. Semua fans yang ada disana berteriak iri. Tangan Alvero masih menggenggam tangannya, membuat Sophia menahan napas gugup.

“Nah Dorkey inilah yang beruntung. Jadi kalau boleh tau, siapa namanya?” tanya Alvero sambil menatap Sophia dengan lembut, namun tangannya masih tetap menggenggam tangan Sophia erat.

“Eh? Uhm … So-Sophia,” jawab Sophia gugup. Alvero tersenyum manis membuat jantung Sophia berdetak tiga kali lebih cepat.

“Sophia asal darimana nih? Siapa tau kan kalau rumahnya deket bisa main kesana,” goda Alvero membuat semua fans disana berteriak histeris.

“Sa-saya tinggal di Kebayoran Baru.”

“Wah sayang jauh banget, jadi nggak bisa ngapel deh ke rumahnya Sophia,” canda Alvero membuat perasaan Sophia menjadi tak karuan. 

“Ya udah daripada kalian nunggu kelamaan, kami akan nyanyikan lagu ini persembahan untuk seluruh Dorkey yang ada di venue ataupun yang ada di rumah.” Perlahan alunan gitar berubah diiringi dengan alat musik lainnya.

Alvero menyanyikan lagunya dimulai dari verse kedua, sebelumnya Sophia sudah diberikan mic oleh kru disana. Ketika lagu masuk reff, genggaman Alvero semakin erat membuat Sophia menjadi sangat gugup. Untung saja lidahnya tidak terpeleset saat bernyanyi bersama tadi, kalau sampai itu terjadi pasti itu akan membuat Alvero malu. Setelah reff, lagu mulai masuk pada puncak akhir. Awalnya 
Sophia tidak mengira Alvero akan melakukan hal itu tapi tanpa diduga-duga tangan Alvero yang awalnya hanya menggenggam tangannya malah melepasnya dan beralih untuk memeluk bahu Sophia.

Langsung saja perbuatan romantis yang tidak diduga-duga itu pun membuat para fans yang melihatnya iri. Alvero dengan santainya merangkul bahu Sophia mesra, tanpa menyadari bahwa di sampingnya Sophia tengah berjuang melawan rasa gugup plus detak jantungnya yang semakin menjadi.

Saat ending lagu, Alvero tiba-tiba saja mengecup punggung tangan Sophia lalu setelah itu ia tersenyum manis pada Sophia. Ia benar-benar tak habis pikir, apa benar sifat Alvero sangat seromantis ini? Jika iya, betapa beruntungmya kekasihnya nanti siapapun itu. Sophia sungguh tidak akan pernah melupakan kenangan indah ini sampai ia mati. Ini adalah kenangan yang sangat membuatnya melayang hingga langit ke tujuh.

***

Sophia menatap seorang wanita berambut pendek itu dengan wajah yang tenang.

“Hmm … jadi cerita lo ini berdasarkan kisah nyata, gitu?” tanya wanita berambut pendek itu sambil membaca tumpukan kertas di tangannya dengan serius.

Sophia mengangguk mantap, “Yaps,” jawabnya dengan senyum tipis di wajahnya.

Wanita berambut pendek itu melepas kacamata bacanya dan menatap Sophia dengan alis saling bertautan. “Dan di paragraf pertama itu bukan khayalan lo, tapi kejadian sebenarnya?”

Lagi, Sophia mengangguk dengan cepat. “Iya, waktu gue nulis cerita ini, gue lagi di cafe sebrang kantor itu, yang di depan itu. Terus waktu gue lagi stuck buat nulis, tiba-tiba ada berita tentang band Darkness ini yang katanya mau ngeluarin single baru. Dan begitulah, ide mengalir begitu aja,” jelas Sophia dengan sangat rinci.

Wanita berambut pendek itu mengusap wajahnya lelah. “Dan tentang pertunangan si Alvero sama Anya Selvia ini, bohongan?”

Sophia mengangguk kembali, “Iya, semua gosip tentang Alvero sama Anya tunangan itu hasil karangan gue. Keren, kan?” kata Sophia sambil menaik-turunkan alisnya.

“Keren gigi neptunus gendut! Ini mah bukan keren, Sophie, yang ada bikin pusing pembaca nantinya,” kata wanita berambut pendek itu frustasi.

Sophia mendengus tak percaya. “Lulu, editor yang paling cantik dan baik hati. Gini ya, dimana letak cerita gue yang bisa bikin pembaca pusing? Ini cuma cerita roman picisan loh, belum kayak genre sci-fi atau thriller dan semacamnya.”

Lulu, si wanita berambut pendek itu menghela napas lelah. “Letak kesalahan lo itu ketika lo ngekhayal kalau Alvero itu punya pacar dan pecinta wanita which is, itu sama sekali nggak bener! Alvero itu gay, Sophie, dia sendiri yang mengumumkannya di depan awak media loh!” seru Lulu sambil merentangkan kedua tangannya kesamping dengan kedua mata yang membulat sempurna.

Sophia berdecak sebal. “Ya nggak masalah dong, itu kan cuma khayalan gue doang. Lagian kenapa sih gitu aja dipermasalahkan? Toh cerita gue ini nggak akan membuat orang lain terutama Alvero sendiri rugi,” balas Sophia tak mau kalah.

Lulu menghela napas pasrah, dan mengangkat kedua tangannya ke udara tanda menyerah. “Terus lo itu beneran fansnya band Darkness?” tanya Lulu. Sophia menganggukkan kepalanya antusias.

“Iya dong, fans nomor satu! Bias gue itu Alvero, teteup di hati.” Sophia tertawa membuat Lulu pun ikut tertawa.

“Terus gimana kalau cerita lo ini di terbitkan dan sampai ke telinga Darkness? Khususnya Alvero?”

“Gue nggak mikir sejauh itu sih. Cuma kalau itu sampai terjadi, gue sih seneng-seneng aja. Siapa tau dengan hasil imajinasi gue, gue bisa ketemu langsung sama Alvero kayak di cerita karangan gue ini?” kata Sophia sambil tersenyum lebar penuh harap.

“Ya terserah lo deh. Nanti naskahnya gue rundingin lagi sama yang lainnya.”

“Oke, siap!” sahut Sophia sambil mengangkat ibu jarinya. Setelah kepergian Lulu, Sophia duduk termenung sambil memikirkan kembali perkataan sang editornya tadi.

Benar juga, sampai detik dimana Lulu memberitahunya tentang Alvero, Sophia tidak akan pernah menyadari bahwa segala kemungkinan Alvero mengetahui tentang novelnya itu bisa saja terjadi. 
Apalagi ia sedikit menambahkan karangannya tentang Alvero yang sama sekali tidak benar, contohnya Alvero adalah seorang yang sangat mencintai tunangannya, alias Anya Selvia.

Jika saja itu terjadi, Sophia tidak mempermasalahkan itu. Ia akan sangat senang jika Alvero membaca ceritanya. Siapa tau mereka akan di takdirkan untuk bertemu suatu hari nanti berkat cerita imajinasinya itu. Memikirkan segala kemungkinan itu membuat Sophia tidak bisa menutupi rasa bahagianya.


****

Sampai jumpa di OS selanjutnya~


Baca Selengkapnya