Halooo~ Aku comeback lagi dengan cerpen terbaru yang fresh from the oven banget!
Sedikit cerita ya, cerpen ini terinspirasi dari lagu IU - My Old Story. Makna lagu itu dalem banget, bagi kalian yg kpopers pasti tau betapa sedihnya lagu itu *cielahhh*
Oh ya sedikit info, kalau di blog ini aku emang sengaja post khusus cerpen aja. Kalau kalian mau liat karyaku yg lain bisa cari di wattpad ya, usernamenya : ayalim_
Aku belum pasti bakal jadiin blog ini sebagai dunia imajinasi kedua ku setelah wattpad atau gimana, yg jelas untuk saat ini setiap postingan disini baru sekedar cerpen. Kalau untuk review drama sepertinya ditahan dulu, karena aku sedang tidak tertarik nonton drakor😄
Oke udahan ya cuap2nya, selamat membaca 😚
****
Sebuah
perpisahan seringkali meninggalkan luka yang mendalam bagi seseorang yang
pernah mengalaminya. Tentu saja tidak semua orang ingin berpisah dari orang
yang dikasihinya, sama halnya dengan perempuan cantik berkulit pucat yang
sedang duduk sendiri di pojok perpustakaan. Deana namanya, perempuan itu tengah
membaca salah satu buku poetry kesukaannya dengan seksama. Deana sangat suka
dengan hal-hal berbau novel, dan genre apapun Deana sangat menyukainya.
Deana
membuka lembaran baru di buku yang sedang ia baca. Disana tertulis jelas judul
yang menceritakan tentang perpisahan yang sangat menyedihkan. Deana menghirup
napas dalam-dalam dengan kedua mata yang tertutup.
Jangan
lagi, aku mohon…
Deana
meringis pelan sambil mengusap dahinya yang sedikit pusing dengan pelan. Ia
benar-benar trauma mendengar atau melihat kata-kata perpisahan, karena setelah
itu kepalanya langsung terasa sakit seperti rasanya ingin pecah sampai
erkeping-keping.
Deana punya
alasan sendiri penyebab mengapa ia sampai seperti ini. Deana berasal dari
keluarga yang broken home. Ayah dan ibunya telah berpisah sejak ia duduk di
bangku sekolah dasar. Bahkan Deana sendiri yang melihat langsung bagaimana
pertengkaran hebat mereka malam itu sebelum mereka memutuskan bercerai keesokan
harinya.
Saat itu
adalah kenangan terburuk yang pernah Deana miliki. Bertahun-tahun ia mencoba
melupakan kejadian pertengkaran orangtuanya namun semua memori itu tidak bisa
lepas dari benaknya yang membuat dirinya menjadi trauma karena hal itu. Itulah
alasan mengapa Deana sangat membenci dengan kata ‘perpisahan’.
Disaat
hidupnya terasa hampa karena retaknya rumah tangga keluarganya, Deana mulai
memiliki harapan untuk hidup sejak muncul Wildan dalam hidupnya. Mereka tak
sengaja bertemu di salah satu danau belakang sekolah dekat rumahnya dulu.
Saat itu
Deana berniat untuk melakukan bunuh diri karena tidak tahan lagi hidup lebih
lama di dunia. Namun Wildan yang entah darimana muncul dan menggagalkan rencana
Deana. Tentu saja reaksi Deana saat itu bingung dan sedikit terkejut, karena
memang jarang banyak orang yang datang ke danau ini kecuali dirinya.
Saat itu
Wildan mengenalkan dirinya kepada Deana. Wildan adalah orang pindahan berasal
dari Surabaya. Ia mengikuti ayahnya yang sedang bertugas di Jakarta. Entah
bagaimana sejak saat itu hubungan mereka menjadi dekat. Dan seperti sebuah
takdir, keluarga Wildan pindah ke rumah tepat di samping rumah Deana membuat
gadis itu bahagia tak terkira.
Deana yang
awalnya sangat menutup diri dan pendiam mulai menampilkan wajah ceria dan
tingkah imutnya sejak Wildan menjadi temannya.
Hidupnya saat itu sangatlah indah, Deana sangat bersyukur Wildan datang
di hidupnya dan membuatnya mulai berubah ke arah yang lebih baik.
Wildan
masuk ke sekolah yang sama dengan Deana, tentunya atas rekomendasi gadis itu
sendiri. Deana dan Wildan satu kelas. Yang awalnya Deana selalu duduk sendiri,
setelah muncul Wildan lelaki itu yang menempati bangku kosong disebelahnya.
Deana sangat bahagia, hari-harinya di sekolah sudah tidak terasa membosankan
lagi sejak ada Wildan yang menemaninya.
Jika Wildan
pergi ke kantin, Deana akan mengikutinya. Jika Wildan dipanggil oleh guru,
Deana menemaninya kesana. Deana terus mengekori Wildan kemanapun lelaki itu
pergi sampai membuat seluruh murid bergosip jika mereka berpacaran.
Deana sih
tidak masalah dengan gosip itu, ia malah sangat senang jika semua orang
menganggapnya sebagai pacar Wildan. Namun karena rumor itu telah tersebar di
lingkungan sekolah membuat Wildan perlahan memberi jarak dengan Deana. Wildan
tidak lagi duduk bersama Deana, ia lebih memilih duduk bersama teman cowok
lainnya.
Perasaan
Deana? Tentu saja sedih, ia tidak tau mengapa sikap Wildan menjadi aneh saat
itu. Berkali-kali Deana hendak menanyakan perihal sikap Wildan yang berubah,
namun lelaki itu nampak sengaja menjauhinya dan tidak ingin berbicara
dengannya.
Dengan
perubahan sikap Wildan membuat hari-hari Deana kembali gelap. Tidak ada lagi
Wildan yang selalu menyemangatinya dan membuatnya tertawa, karena satu-satunya
orang yang membuatnya berubah sudah menjauhinya.
Hari demi
hari telah berlalu, tak terasa Deana sudah menginjak kelas tiga sekolah
menengah atas. Selama itu juga Wildan tidak pernah bertegur sapa lagi dengan
Deana. Bahkan setiap Deana ingin berangkat sekolah bersamanya, Wildan sudah
pergi terlebih dahulu. Sejak saat itu Deana mengerti, mungkin Wildan merasa
tidak nyaman dengan adanya gosip tentang mereka berdua yang telah menyebar di
lingkungan sekolah.
Karenanya Deana memutuskan untuk perlahan mulai menjauh dari Wildan. Ia tidak lagi mencoba meminta penjelasan atas
sikap anehnya ke Wildan, atau apapun itu. Deana tidak ingin membuat Wildan malu
karena dirinya.
Hari itu
dimana hujan turun dengan derasnya, ditambah dengan petir yang sangat
menyeramkan, Deana tengah duduk termenung di depan lab komputer sendirian.
Deana paling suka dengan hujan, karena dengan begitu ia bisa menumpahkan segala
kesedihannya tanpa diketahui atau terdengar orang lain.
Deana ingat
saat itu Wildan tiba-tiba saja muncul disana dan melihat ke arahnya dengan
ragu. Deana tau jika ada sosok Wildan disana, namun ia hanya diam dan bersikap
seakan tidak tau ada orang lain selain dirinya disana. Mereka berdua saling
diam satu sama lain selama tiga puluh menit lamanya sebelum perkataan Wildan
membuat Deana tidak dapat berkata-kata.
***
“Deana,
aku mau pergi,” katanya dengan wajah sendu. Deana masih tidak menoleh ke
arahnya dan tetap berfokus menatap lurus kedepan.
“Ayahku
di tugaskan lagi di Surabaya, aku harus ikut pergi dengannya,” sambungnya lagi
dengan kepala yang tertunduk. Deana membeku, pandangannya mulai tidak fokus,
pikirannya juga mulai kacau.
“Kepindahanku
satu minggu dari sekarang. Aku harus mengatakan ini kepadamu sebelum hari itu
tiba dan aku tidak bisa mengucapkan perpisahan denganmu.” Wildan mulai
melangkah dengan gerakan lambat mendekat kea rah Deana yang masih dalam posisi
duduknya.
Saat
Wildan sudah tepat berdiri di belakangnya, Deana berbalik dan menatap wajah
Wildan yang sudah sangat ia rindukan. “Ke-kenapa tiba-tiba?” kata Deana dengan
bibir bergetar menahan tangis. Ia berusaha keras agar air matanya tidak jatuh.
“Aku
tidak tau, ini bukan keinginanku. Ini karena pekerjaan Ayahku yang mengharuskan
aku untuk berpindah-pindah tempat,” jawabnya dengan wajah sedih dan bingung
bercampur aduk.
Air mata
Deana berjatuhan membuat Wildan cukup kaget melihatnya. “Dean … kenapa kamu
nangis?” tanya Wildan khawatir. Deana menggelengkan kepalanya, namun tangisnya
malah semakin kencang membuat Wildan bingung sekaligus khawatir. Akhirnya Wildan memutuskan untuk memeluk Deana dan mengusap puncak kepala gadis itu dengan
lembut.
“Kamu
jahat, Wil. Kamu nggak seharusnya begini sama aku, kamu tau aku sudah sangat
terluka karena sikap acuh kamu ke aku? Dan sekarang kamu tiba-tiba ngomong ke
aku kalau kamu mau pergi? Kamu kira aku nggak punya perasaan? Kamu kira aku
hanya boneka yang nggak berharga dengan gampangnya kamu buang?” Deana berkata
dengan frustasi sambil memukul lengan Wildan lemah.
Wildan
memejamkan matanya dan semakin mempererat pelukannya pada Deana. “Maafin aku …
maafin aku, Deana. Aku memang cowok brengsek yang nggak pantas buat kamu, buat
jadi sahabat kamu. Maaf jika sikap aku membuat kamu sedih, tapi kamu perlu tau
bahwa aku melakukan semua itu untuk kebaikan kamu juga.” Deana menghentikan
tangisnya untuk mendengar penjelasan Wildan selanjutnya.
“Kamu
nggak pernah tau bahwa banyak orang di sekolah ini terutama di kelas yang nggak
suka sama kamu, Dean. Semenjak ada gosip tentang kita menyebar, aku pernah
mendengar beberapa siswi sedang membicarakan hal-hal jelek tentang kamu. Karena
aku nggak ingin hal buruk menimpa kamu, aku memutuskan untuk menjauh dari kamu
agar orang-orang yang membenci kamu itu nggak mengganggumu lagi,” jelas Wildan
membuat Dean melepaskan pelukannya dan menatap wajah Wildan dengan kedua mata
yang sembab.
“Aku
nggak peduli, Wil. Aku sama sekali nggak peduli tentang omongan orang lain
tentangku, itu terserah mereka. Aku yang menjalani hidupku sendiri, Wil, bukan
mereka! Aku nggak butuh dengar semua cacian nggak penting mereka yang malah
membuat aku semakin down. Aku cuma butuh kamu, Wil, cuma kamu satu-satunya
orang yang ngerti perasaan aku,” kata Deana dengan marah.
“Justru
kalau kamu terus diam seperti ini malah akan membuat orang yang membenci kamu
semakin gencar mengolok-ngolok kamu. Kamu harus buktikan kepada mereka bahwa
kamu bukanlah seorang pecundang yang dengan gampang mereka jatuhkan. Kamu harus
merubah jalan pikiranmu, Dean. Kalau kamu terus menutup diri seperti ini, hidup
kamu bagaimana setelah kepergianku nanti?” Wildan meremas bahu Deana erat.
Deana terdiam mendengar semua perkataan Wildan. “Aku sayang sama kamu, Dean. Aku
nggak mau kamu dijahati oleh mereka, aku nggak mau kamu menjadi lemah. Kamu
harus berubah menjadi lebih kuat, menjadi Deana yang nggak takut pada apapun.”
Deana kembali meneteskan air matanya begitu kalimat yang keluar dari bibir
Wildan sangat mempengaruhinya.
“Maafin
aku, Wil karena udah nyusahin kamu selama ini. Aku kira kamu benar-benar muak
berteman denganku, aku kira kamu tidak suka berdekatan denganku. Ternyata
dugaanku selama ini salah, kamu adalah orang terbaik di hidupku, Wil.” Deana
kembali memeluk Wildandengan erat.
“Aku
sama sekali nggak membenci kamu. Justru kalau boleh jujur, aku sangat senang dengan
gosip kita berdua. Mungkin jika kita menjadi pasangan sungguhan, itu akan
menjadi skandal yang heboh di sekolah,” kata Wildan sambil tertawa.
Deana
diam sambil memandang wajah Wildan lekat-lekat. “Aku sayang kamu, Wil.”
Wildan
cukup terkejut mendengar pernyataan tiba-tiba dari Deana, namun setelah itu ia
tersenyum manis. “Aku juga sayang sama kamu, Dean. Dengar aku, setelah aku
pergi nanti tidak ada yang berubah dengan hubungan kita. Jarak nggak akan
memisahkan kita, lagi pula jarak Surabaya ke Jakarta tidak terlalu jauh jika
naik pesawat. Jangan jadi cewek yang cengeng jika aku nggak ada,. Ingat, kamu
harus menjadi cewek yang tangguh yang bisa mengalahkan seribu musuh yang
menghalangi kamu. Kamu mengerti, 'kan?” Wildan menangkup pipi Deana sambil menungu
jawaban gadis itu.
Deana
mengangguk, “Iya, aku janji.”
***
Deana menutup
buku poetrynya dan menyimpannya kembali kedalam rak buku perpustakaan. Ia
menatap ke arah luar jendela besar perpustakan. Langit terlihat sangat cerah,
musim panas sudah di depan mata. Deana melirik jam tangannya, sudah waktunya
untuk ia pergi ke suatu tempat. Deana mengemasi barang-barangnya dengan senyum
tipis di wajahnya.
Deana
keluar dari perpustakaan dan memanggil sebuah taksi yang kebetulan sedang
berhenti tak jauh dari posisinya. Tak butuh waktu lama untuk taksi itu membawa
Deana ke tempat tujuannya. Setelah membayar tipnya, Deana segera keluar dari
taksi menuju sebuah warung kecil yang menjual berbagai macam bunga yang indah.
Deana
melihat-lihat bunga disana dengan teliti sampai dimana ia menemukan bunga
favoritnya. “Ini berapa, Bu?” tanya Deana sambil menunjuk ke arah bunga baby
breath yang sangat indah itu.
“Empat
puluh lima ribu, Mbak,” jawab si penjual itu dengan ramah. Deana mengambil uang
di dalam dompetnya dan memberikannya kepada penjual bunga itu.
“Kembaliannya
ambil saja buat, Ibu. Terimakasih ya.” Deana pergi meninggalkan toko bunga itu
dan masuk kedalam sebuah pemakaman yang sangat sepi di siang hari. Deana
berjalan sambil membawa buket bunga yang tadi dibelinya dengan senyum di
wajahnya. Baby breath melambangkan cinta sejati tak berakhir, sama seperti
cinta Deana kepada Wildan yang tak pernah pudar sampai kapanpun.
Deana
berhenti di satu makam yang terlihat sangat bersih karena hampir setiap hari ia
datang kesana untuk membersihkannya. Deana berjongkok, menatap makam itu
lekat-lekat sambil mengusap nisan yang bertuliskan ‘Wildan Gifari’ dengan wajah
sendu.
“Wil, apa
kabar? Maaf aku telat, tadi aku mampir ke perpustakaan, niatnya hanya sebentar
tapi aku malah asyik baca buku disana.”
Deana berbicara dengan santainya seolah Wildan ada disana dan mendengarnya.
“Buku yang
aku baca kali ini tentang perpisahan yang menyedihkan. Wil, aku rasa cerita di
dalam buku itu sangat menggambarkan kehidupanku. Aku yang ditinggal oleh kedua
orangtuaku karena bercerai, dan aku yang ditinggal pergi untuk selama-lamanya
sama kamu.” Deana berkaca-kaca menatap batu nisan Wildan, mencoba mencari
kekuatan yang hanya berujung sia-sia.
“Waktu itu
kamu janji sama aku kalau kamu akan berkunjung ke Jakarta untuk menemuiku. Tapi
setelah pesan yang kamu kirimkan saat itu, kamu menghilang begitu aja. Aku
khawatir dan takut, aku selalu berpikir apakah kamu akan kembali bersikap
dingin kepadaku seperti yang kamu lakukan saat kita masih sekolah dulu? Kamu
nggak memberikan kabar selama berbulan-bulan membuat aku menyerah dan mulai
berpikiran negatif sama kamu.” Deana mengusap ukiran nama Wildan di batu nisan
dengan air mata yang mulai berjatuhan.
“Sampai
dimana Ayah kamu memberi kabar kepadaku lewat telpon dan mengatakan bahwa kamu
sudah tiada,” kata Deana sambil sesegukan. “Kamu kira aku percaya sama
perkataan Ayah kamu? Enggak sama sekali, aku hanya berpikir jika Ayah kamu
bercanda tentang kamu saat itu agar aku tidak menemui kamu. Tapi esok harinya
Ayah kamu mengirim gambar sebuah makam dimana ada nama kamu di batu nisannya.”
“Aku kaget,
aku nggak percaya kamu sudah nggak ada di dunia ini. Aku kira kamu masih
melanjutkan kuliah kamu di Surabaya seperti biasa, tapi setelah melihat kiriman
Ayah kamu baru aku percaya kalau kamu sudah pergi ke tempat yang jauh disana.”
Deana mengusap air matanya sambil menutup mulutnya agar tidak tangisnya tidak
terdengar orang lain.
“Ayah kamu
mengatakan bahwa kamu di semayamkan di Jakarta. Aku merasa kaget lagi, jadi
saat kamu mengirimkan pesan padaku kamu sedang berada di Jakarta? Lalu kenapa
kamu tidak mengabariku lebih dulu, Wil? Apa aku bukan orang yang penting
bagimu?” Tangis Deana mulai mereda. Ia mengambil bunga yang tadi dibawanya dan
meletakkannya diatas makam Wildan.
“Ini, ada
bunga buat kamu. Aku sekarang sudah menghasilkan uang sendiri dengan magang di
perusahaan asuransi. Setiap aku gajian nanti, aku akan memberikanmu bunga yang
banyak agar kamu tau bahwa aku selalu menyayangimu dan hidupku baik-baik saja
disini. Terimakasih karena sudah mau menjadi teman sekaligus penyelamat hiduku, aku
nggak akan melupakan kamu selamanya, Wildan.” Deana mengusap batu nisan Wildan
untuk yang terakhir kalinya sebelum ia bangkit dan pergi dari sana.
****
Aku saranin bacanya sambil denger lagu IU - My Old Story ya, biar feelnya semakin nyata gitu wkwkwk😁
Aku mau kasih tau, kalau tanda italic/garing miring itu adalah flashbacknya, selain italic itu normal ya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar