Jumat, 08 Mei 2020

My Old Story (Oneshoot #5)


Halooo~ Aku comeback lagi dengan cerpen terbaru yang fresh from the oven banget!
Sedikit cerita ya, cerpen ini terinspirasi dari lagu IU - My Old Story. Makna lagu itu dalem banget, bagi kalian yg kpopers pasti tau betapa sedihnya lagu itu *cielahhh*


Oh ya sedikit info, kalau di blog ini aku emang sengaja post khusus cerpen aja. Kalau kalian mau liat karyaku yg lain bisa cari di wattpad ya, usernamenya : ayalim_

Aku belum pasti bakal jadiin blog ini sebagai dunia imajinasi kedua ku setelah wattpad atau gimana, yg jelas untuk saat ini setiap postingan disini baru sekedar cerpen. Kalau untuk review drama sepertinya ditahan dulu, karena aku sedang tidak tertarik nonton drakor😄

Oke udahan ya cuap2nya, selamat membaca 😚

****

Sebuah perpisahan seringkali meninggalkan luka yang mendalam bagi seseorang yang pernah mengalaminya. Tentu saja tidak semua orang ingin berpisah dari orang yang dikasihinya, sama halnya dengan perempuan cantik berkulit pucat yang sedang duduk sendiri di pojok perpustakaan. Deana namanya, perempuan itu tengah membaca salah satu buku poetry kesukaannya dengan seksama. Deana sangat suka dengan hal-hal berbau novel, dan genre apapun Deana sangat menyukainya.

Deana membuka lembaran baru di buku yang sedang ia baca. Disana tertulis jelas judul yang menceritakan tentang perpisahan yang sangat menyedihkan. Deana menghirup napas dalam-dalam dengan kedua mata yang tertutup.

Jangan lagi, aku mohon…

Deana meringis pelan sambil mengusap dahinya yang sedikit pusing dengan pelan. Ia benar-benar trauma mendengar atau melihat kata-kata perpisahan, karena setelah itu kepalanya langsung terasa sakit seperti rasanya ingin pecah sampai erkeping-keping.

Deana punya alasan sendiri penyebab mengapa ia sampai seperti ini. Deana berasal dari keluarga yang broken home. Ayah dan ibunya telah berpisah sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan Deana sendiri yang melihat langsung bagaimana pertengkaran hebat mereka malam itu sebelum mereka memutuskan bercerai keesokan harinya.

Saat itu adalah kenangan terburuk yang pernah Deana miliki. Bertahun-tahun ia mencoba melupakan kejadian pertengkaran orangtuanya namun semua memori itu tidak bisa lepas dari benaknya yang membuat dirinya menjadi trauma karena hal itu. Itulah alasan mengapa Deana sangat membenci dengan kata ‘perpisahan’.

Disaat hidupnya terasa hampa karena retaknya rumah tangga keluarganya, Deana mulai memiliki harapan untuk hidup sejak muncul Wildan dalam hidupnya. Mereka tak sengaja bertemu di salah satu danau belakang sekolah dekat rumahnya dulu.

Saat itu Deana berniat untuk melakukan bunuh diri karena tidak tahan lagi hidup lebih lama di dunia. Namun Wildan yang entah darimana muncul dan menggagalkan rencana Deana. Tentu saja reaksi Deana saat itu bingung dan sedikit terkejut, karena memang jarang banyak orang yang datang ke danau ini kecuali dirinya.

Saat itu Wildan mengenalkan dirinya kepada Deana. Wildan adalah orang pindahan berasal dari Surabaya. Ia mengikuti ayahnya yang sedang bertugas di Jakarta. Entah bagaimana sejak saat itu hubungan mereka menjadi dekat. Dan seperti sebuah takdir, keluarga Wildan pindah ke rumah tepat di samping rumah Deana membuat gadis itu bahagia tak terkira.

Deana yang awalnya sangat menutup diri dan pendiam mulai menampilkan wajah ceria dan tingkah imutnya sejak Wildan menjadi temannya.  Hidupnya saat itu sangatlah indah, Deana sangat bersyukur Wildan datang di hidupnya dan membuatnya mulai berubah ke arah yang lebih baik.

Wildan masuk ke sekolah yang sama dengan Deana, tentunya atas rekomendasi gadis itu sendiri. Deana dan Wildan satu kelas. Yang awalnya Deana selalu duduk sendiri, setelah muncul Wildan lelaki itu yang menempati bangku kosong disebelahnya. Deana sangat bahagia, hari-harinya di sekolah sudah tidak terasa membosankan lagi sejak ada Wildan yang menemaninya.

Jika Wildan pergi ke kantin, Deana akan mengikutinya. Jika Wildan dipanggil oleh guru, Deana menemaninya kesana. Deana terus mengekori Wildan kemanapun lelaki itu pergi sampai membuat seluruh murid bergosip jika mereka berpacaran.

Deana sih tidak masalah dengan gosip itu, ia malah sangat senang jika semua orang menganggapnya sebagai pacar Wildan. Namun karena rumor itu telah tersebar di lingkungan sekolah membuat Wildan perlahan memberi jarak dengan Deana. Wildan tidak lagi duduk bersama Deana, ia lebih memilih duduk bersama teman cowok lainnya.

Perasaan Deana? Tentu saja sedih, ia tidak tau mengapa sikap Wildan menjadi aneh saat itu. Berkali-kali Deana hendak menanyakan perihal sikap Wildan yang berubah, namun lelaki itu nampak sengaja menjauhinya dan tidak ingin berbicara dengannya.

Dengan perubahan sikap Wildan membuat hari-hari Deana kembali gelap. Tidak ada lagi Wildan yang selalu menyemangatinya dan membuatnya tertawa, karena satu-satunya orang yang membuatnya berubah sudah menjauhinya.

Hari demi hari telah berlalu, tak terasa Deana sudah menginjak kelas tiga sekolah menengah atas. Selama itu juga Wildan tidak pernah bertegur sapa lagi dengan Deana. Bahkan setiap Deana ingin berangkat sekolah bersamanya, Wildan sudah pergi terlebih dahulu. Sejak saat itu Deana mengerti, mungkin Wildan merasa tidak nyaman dengan adanya gosip tentang mereka berdua yang telah menyebar di lingkungan sekolah.

Karenanya Deana memutuskan untuk perlahan mulai menjauh dari Wildan. Ia tidak lagi mencoba meminta penjelasan atas sikap anehnya ke Wildan, atau apapun itu. Deana tidak ingin membuat Wildan malu karena dirinya.

Hari itu dimana hujan turun dengan derasnya, ditambah dengan petir yang sangat menyeramkan, Deana tengah duduk termenung di depan lab komputer sendirian. Deana paling suka dengan hujan, karena dengan begitu ia bisa menumpahkan segala kesedihannya tanpa diketahui atau terdengar orang lain.

Deana ingat saat itu Wildan tiba-tiba saja muncul disana dan melihat ke arahnya dengan ragu. Deana tau jika ada sosok Wildan disana, namun ia hanya diam dan bersikap seakan tidak tau ada orang lain selain dirinya disana. Mereka berdua saling diam satu sama lain selama tiga puluh menit lamanya sebelum perkataan Wildan membuat Deana tidak dapat berkata-kata.

***

“Deana, aku mau pergi,” katanya dengan wajah sendu. Deana masih tidak menoleh ke arahnya dan tetap berfokus menatap lurus kedepan.

“Ayahku di tugaskan lagi di Surabaya, aku harus ikut pergi dengannya,” sambungnya lagi dengan kepala yang tertunduk. Deana membeku, pandangannya mulai tidak fokus, pikirannya juga mulai kacau.

“Kepindahanku satu minggu dari sekarang. Aku harus mengatakan ini kepadamu sebelum hari itu tiba dan aku tidak bisa mengucapkan perpisahan denganmu.” Wildan mulai melangkah dengan gerakan lambat mendekat kea rah Deana yang masih dalam posisi duduknya.

Saat Wildan sudah tepat berdiri di belakangnya, Deana berbalik dan menatap wajah Wildan yang sudah sangat ia rindukan. “Ke-kenapa tiba-tiba?” kata Deana dengan bibir bergetar menahan tangis. Ia berusaha keras agar air matanya tidak jatuh.

“Aku tidak tau, ini bukan keinginanku. Ini karena pekerjaan Ayahku yang mengharuskan aku untuk berpindah-pindah tempat,” jawabnya dengan wajah sedih dan bingung bercampur aduk.

Air mata Deana berjatuhan membuat Wildan cukup kaget melihatnya. “Dean … kenapa kamu nangis?” tanya Wildan khawatir. Deana menggelengkan kepalanya, namun tangisnya malah semakin kencang membuat Wildan bingung sekaligus khawatir. Akhirnya Wildan memutuskan untuk memeluk Deana dan mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut.

“Kamu jahat, Wil. Kamu nggak seharusnya begini sama aku, kamu tau aku sudah sangat terluka karena sikap acuh kamu ke aku? Dan sekarang kamu tiba-tiba ngomong ke aku kalau kamu mau pergi? Kamu kira aku nggak punya perasaan? Kamu kira aku hanya boneka yang nggak berharga dengan gampangnya kamu buang?” Deana berkata dengan frustasi sambil memukul lengan Wildan lemah.

Wildan memejamkan matanya dan semakin mempererat pelukannya pada Deana. “Maafin aku … maafin aku, Deana. Aku memang cowok brengsek yang nggak pantas buat kamu, buat jadi sahabat kamu. Maaf jika sikap aku membuat kamu sedih, tapi kamu perlu tau bahwa aku melakukan semua itu untuk kebaikan kamu juga.” Deana menghentikan tangisnya untuk mendengar penjelasan Wildan selanjutnya.

“Kamu nggak pernah tau bahwa banyak orang di sekolah ini terutama di kelas yang nggak suka sama kamu, Dean. Semenjak ada gosip tentang kita menyebar, aku pernah mendengar beberapa siswi sedang membicarakan hal-hal jelek tentang kamu. Karena aku nggak ingin hal buruk menimpa kamu, aku memutuskan untuk menjauh dari kamu agar orang-orang yang membenci kamu itu nggak mengganggumu lagi,” jelas Wildan membuat Dean melepaskan pelukannya dan menatap wajah Wildan dengan kedua mata yang sembab.

“Aku nggak peduli, Wil. Aku sama sekali nggak peduli tentang omongan orang lain tentangku, itu terserah mereka. Aku yang menjalani hidupku sendiri, Wil, bukan mereka! Aku nggak butuh dengar semua cacian nggak penting mereka yang malah membuat aku semakin down. Aku cuma butuh kamu, Wil, cuma kamu satu-satunya orang yang ngerti perasaan aku,” kata Deana dengan marah.

“Justru kalau kamu terus diam seperti ini malah akan membuat orang yang membenci kamu semakin gencar mengolok-ngolok kamu. Kamu harus buktikan kepada mereka bahwa kamu bukanlah seorang pecundang yang dengan gampang mereka jatuhkan. Kamu harus merubah jalan pikiranmu, Dean. Kalau kamu terus menutup diri seperti ini, hidup kamu bagaimana setelah kepergianku nanti?” Wildan meremas bahu Deana erat.

Deana terdiam mendengar semua perkataan Wildan. “Aku sayang sama kamu, Dean. Aku nggak mau kamu dijahati oleh mereka, aku nggak mau kamu menjadi lemah. Kamu harus berubah menjadi lebih kuat, menjadi Deana yang nggak takut pada apapun.” Deana kembali meneteskan air matanya begitu kalimat yang keluar dari bibir Wildan sangat mempengaruhinya.

“Maafin aku, Wil karena udah nyusahin kamu selama ini. Aku kira kamu benar-benar muak berteman denganku, aku kira kamu tidak suka berdekatan denganku. Ternyata dugaanku selama ini salah, kamu adalah orang terbaik di hidupku, Wil.” Deana kembali memeluk Wildandengan erat.

“Aku sama sekali nggak membenci kamu. Justru kalau boleh jujur, aku sangat senang dengan gosip kita berdua. Mungkin jika kita menjadi pasangan sungguhan, itu akan menjadi skandal yang heboh di sekolah,” kata Wildan sambil tertawa.

Deana diam sambil memandang wajah Wildan lekat-lekat. “Aku sayang kamu, Wil.”

Wildan cukup terkejut mendengar pernyataan tiba-tiba dari Deana, namun setelah itu ia tersenyum manis. “Aku juga sayang sama kamu, Dean. Dengar aku, setelah aku pergi nanti tidak ada yang berubah dengan hubungan kita. Jarak nggak akan memisahkan kita, lagi pula jarak Surabaya ke Jakarta tidak terlalu jauh jika naik pesawat. Jangan jadi cewek yang cengeng jika aku nggak ada,. Ingat, kamu harus menjadi cewek yang tangguh yang bisa mengalahkan seribu musuh yang menghalangi kamu. Kamu mengerti, 'kan?” Wildan menangkup pipi Deana sambil menungu jawaban gadis itu.

Deana mengangguk, “Iya, aku janji.”

***

Deana menutup buku poetrynya dan menyimpannya kembali kedalam rak buku perpustakaan. Ia menatap ke arah luar jendela besar perpustakan. Langit terlihat sangat cerah, musim panas sudah di depan mata. Deana melirik jam tangannya, sudah waktunya untuk ia pergi ke suatu tempat. Deana mengemasi barang-barangnya dengan senyum tipis di wajahnya.

Deana keluar dari perpustakaan dan memanggil sebuah taksi yang kebetulan sedang berhenti tak jauh dari posisinya. Tak butuh waktu lama untuk taksi itu membawa Deana ke tempat tujuannya. Setelah membayar tipnya, Deana segera keluar dari taksi menuju sebuah warung kecil yang menjual berbagai macam bunga yang indah.

Deana melihat-lihat bunga disana dengan teliti sampai dimana ia menemukan bunga favoritnya. “Ini berapa, Bu?” tanya Deana sambil menunjuk ke arah bunga baby breath yang sangat indah itu.

“Empat puluh lima ribu, Mbak,” jawab si penjual itu dengan ramah. Deana mengambil uang di dalam dompetnya dan memberikannya kepada penjual bunga itu.

“Kembaliannya ambil saja buat, Ibu. Terimakasih ya.” Deana pergi meninggalkan toko bunga itu dan masuk kedalam sebuah pemakaman yang sangat sepi di siang hari. Deana berjalan sambil membawa buket bunga yang tadi dibelinya dengan senyum di wajahnya. Baby breath melambangkan cinta sejati tak berakhir, sama seperti cinta Deana kepada Wildan yang tak pernah pudar sampai kapanpun.

Deana berhenti di satu makam yang terlihat sangat bersih karena hampir setiap hari ia datang kesana untuk membersihkannya. Deana berjongkok, menatap makam itu lekat-lekat sambil mengusap nisan yang bertuliskan ‘Wildan Gifari’ dengan wajah sendu.

“Wil, apa kabar? Maaf aku telat, tadi aku mampir ke perpustakaan, niatnya hanya sebentar tapi aku malah asyik baca buku disana.” Deana berbicara dengan santainya seolah Wildan ada disana dan mendengarnya.

“Buku yang aku baca kali ini tentang perpisahan yang menyedihkan. Wil, aku rasa cerita di dalam buku itu sangat menggambarkan kehidupanku. Aku yang ditinggal oleh kedua orangtuaku karena bercerai, dan aku yang ditinggal pergi untuk selama-lamanya sama kamu.” Deana berkaca-kaca menatap batu nisan Wildan, mencoba mencari kekuatan yang hanya berujung sia-sia.

“Waktu itu kamu janji sama aku kalau kamu akan berkunjung ke Jakarta untuk menemuiku. Tapi setelah pesan yang kamu kirimkan saat itu, kamu menghilang begitu aja. Aku khawatir dan takut, aku selalu berpikir apakah kamu akan kembali bersikap dingin kepadaku seperti yang kamu lakukan saat kita masih sekolah dulu? Kamu nggak memberikan kabar selama berbulan-bulan membuat aku menyerah dan mulai berpikiran negatif sama kamu.” Deana mengusap ukiran nama Wildan di batu nisan dengan air mata yang mulai berjatuhan.

“Sampai dimana Ayah kamu memberi kabar kepadaku lewat telpon dan mengatakan bahwa kamu sudah tiada,” kata Deana sambil sesegukan. “Kamu kira aku percaya sama perkataan Ayah kamu? Enggak sama sekali, aku hanya berpikir jika Ayah kamu bercanda tentang kamu saat itu agar aku tidak menemui kamu. Tapi esok harinya Ayah kamu mengirim gambar sebuah makam dimana ada nama kamu di batu nisannya.”

“Aku kaget, aku nggak percaya kamu sudah nggak ada di dunia ini. Aku kira kamu masih melanjutkan kuliah kamu di Surabaya seperti biasa, tapi setelah melihat kiriman Ayah kamu baru aku percaya kalau kamu sudah pergi ke tempat yang jauh disana.” Deana mengusap air matanya sambil menutup mulutnya agar tidak tangisnya tidak terdengar orang lain.

“Ayah kamu mengatakan bahwa kamu di semayamkan di Jakarta. Aku merasa kaget lagi, jadi saat kamu mengirimkan pesan padaku kamu sedang berada di Jakarta? Lalu kenapa kamu tidak mengabariku lebih dulu, Wil? Apa aku bukan orang yang penting bagimu?” Tangis Deana mulai mereda. Ia mengambil bunga yang tadi dibawanya dan meletakkannya diatas makam Wildan.

“Ini, ada bunga buat kamu. Aku sekarang sudah menghasilkan uang sendiri dengan magang di perusahaan asuransi. Setiap aku gajian nanti, aku akan memberikanmu bunga yang banyak agar kamu tau bahwa aku selalu menyayangimu dan hidupku baik-baik saja disini. Terimakasih karena sudah mau menjadi teman sekaligus penyelamat hiduku, aku nggak akan melupakan kamu selamanya, Wildan.” Deana mengusap batu nisan Wildan untuk yang terakhir kalinya sebelum ia bangkit dan pergi dari sana.

****

Aku saranin bacanya sambil denger lagu IU - My Old Story ya, biar feelnya semakin nyata gitu wkwkwk😁
Aku mau kasih tau, kalau tanda italic/garing miring itu adalah flashbacknya, selain italic itu normal ya.


Oke hari ini satu OS aja ya, kapan2 lagi aku post OS yg baru. Terimakasih, sampai jumpa di OS selanjutnya~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar