Rabu, 27 Mei 2020

Ending Scene (Oneshoot #7)


Halloww aku bawa oneshoot baru nih! Terinspirasi lagi dari lagu Ending Scene IU. Bagi kalian yg udah pernah denger lagu ini, pasti ngerasa sedih kan? Coba search deh artinya, ngena banget buat kalian yg pernah merasakan putus cinta *cieelah*

Ada sepenggal lirik Ending Scene yang paling ngena dan paling aku suka 👇

'Karena semuanya akan berlalu, pastikan kau makan dengan baik. Kau akan bisa tidur senyenyak dulu. Aku berdoa dari lubuk hatiku. Kau pantas untuk lebih berbahagia.'

'Aku sungguh mengharapkan kau bertemu seseorang yang akan mencintaimu melebihi dirimu. Aku menyesal karena dia bukan aku. Ini bukanlah hal yang mudah.'

Nah nahh 'jlebb' banget kan artinya? Aku blm pernah sih ngerasain putus cinta kayak gimana *bangga bgt dah-_-* tapi ikutan sedih juga liat artinya T.T

Oke deh langsung aja yuk, selamat membaca ^^

****

Dua manusia yang tengah duduk saling berhadapan itu sama-sama terdiam di tengah suasana ramai coffe shop yang mereka kunjungi. Si wanita berwajah putih pucat itu menatap pria di hadapannya dengan ekspresi sendu. Pria itu adalah seseorang yang sangat dicintainya. Ia bahkan rela menukar apapun miliknya agar bisa bersama dengan pria itu untuk selamanya.

Namun kenyataannya tidak seperti yang diinginkan dan diimpikan olehnya. Pria itu, Ardan, sama sekali tidak menoleh ke arahnya, bahkan untuk sekedar berbasa-basi saja, Ardan seperti enggan melakukannya.

Wanita itu, Diandra, menghela napas. Disaat seperti ini saja, Ardan tidak memiliki waktu untuknya. Padahal mereka sudah menjalin hubungan selama datu tahun lamanya, tapi sifat Ardan tidak pernah berubah selama itu.

“Dan,” panggil Diandra mencoba menarik perhatian kekasihnya itu. Namun Ardan hanya berdehem tanpa meliriknya sama sekali.

Lagi, Diandra hanya bisa tersenyum miris mendapat jawaban dingin dari Ardan yang sudah menjadi makanan sehari-harinya selama ini.

“Kamu ingat ini hari apa?” tanya Diandra hati-hati. Ardan perlahan menegakkan wajahnya, menatap wajah Diandra dengan tatapan matanya yang tajam. Tak sadar Diandra mengukir senyum tipisnya, sebisa mungkin ia akan berusaha terlihat baik-baik saja setiap Ardan menatapnya.

“Hari Kamis, bukan?” jawab Ardan membuat senyum tipis di bibir Diandra pudar. Ia menatap Ardan dengan perasaan sedih yang tak terbendung lagi. Pada akhirnya Ardan memang tidak pernah mengingat hari jadian mereka berdua. Padahal hari itu adalah hari yang sangat membuat Diandra bahagia. Hari dimana Diandra merasa terbang ke dunia luar karena berhasil menjadi kekasih seorang Ardan.

Namun tepat satu bulan hubungan mereka terjalin, Ardan tidak memberi kejutan ataupun hadiah seperti bunga atau coklat kepada Diandra. Sedih? Tentu saja, bahkan saat itu Diandra sempat berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Ardan. Tapi lagi-lagi rasa cintanya yang lebih besar kepada Ardan membuatnya mengurungkan niatnya untuk memutuskan pria itu.

Diandra tersenyum miris, “Lagi-lagi kamu lupa hari anniversary kita.” Sekuat tenaga Diandra menahan genangan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya.

“Ah … ehm … maafkan aku,” jawab Ardan dengan nada menyesal. Diandra mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar disampingnya sembari menikmati kopi hangat yang setidaknya dapat menenangkan hatinya.

“Kamu tidak pernah mengingat hari jadi kita, apa kamu juga tidak pernah ingat kalau aku adalah kekasihmu?” Ardan sedikit terkejut mendapat pertanyaan dari Diandra yang terdengar menyudutkannya itu.

“Itu … kenapa kamu menanyakan itu? Apa kamu kesal karena aku hanya tidak mengingat hari jadi kita?” Diandra melongo mendengar jawaban Ardan. Hanya, katanya? Apakah pria di hadapannya ini benar Ardan, kekasihnya? Tapi mengapa Diandra merasa Ardan seperti orang lain yang sama sekali tak dikenalnya?

“Hanya kata kamu? Apa kamu merasa anniversary kita bukanlah hal yang penting?” Diandra tidak habis pikir dengan Ardan. Biasanya jika ia lupa dengan hari jadi mereka, Ardan akan langsung memberikan hadiah kepada Diandra sebagai tanda permintaan maaf. Tapi apa yang dikatakannya barusan benar-benar membuat Diandra tak bisa berkata-kata.

“Itu hanyalah sebuah simbol, Dian. Kamu bukan lagi anak kecil yang apapun harus selalu di rayakan. Lagi pula kita ini bukan pasangan yang baru menjalin kasih selama satu minggu, kita sudah cukup lama untuk berpikir dewasa dan mengerti kehidupan pribadi masing-masing. Kamu tau aku sibuk dengan pekerjaan di kantor, seharusnya kamu bisa paham posisi aku sekarang,” kata Ardan dengan nada kesal yang ditahannya.

“Itu bukan hanya sekedar simbol bagiku. Itu adalah hari spesial dimana hubungan kita dimulai. Hari dimana aku dan kamu menjadi satu sebagai sepasang kekasih. Kamu bahkan tidak menghargai perasaanku, Ardan.” Diandra menumpahkan segala rasa kesalnya yang selama ini ia pendam sendiri. Sikap Ardan kali ini benar-benar membuat Diandra naik pitam. Ia harus segera meluruskan masalah ini, jika tidak hubungan mereka akan hancur.

“Aku hanya manusia biasa yang bisa melupakan hal kecil sekalipun. Aku minta maaf jika sikapku ini menyakiti perasaan kamu, tapi inilah aku. Aku bukanlah pria yang romantis, aku juga bukan pria yang perhatian, tapi jika kamu mulai lelah dengan semua ini, kamu bisa berhenti sekarang juga.” Kata-kata yang keluar dari mulut Ardan menusuk tepat di hati Diandra.

“Kamu bersungguh-sungguh mengatakan hal itu, Ardan? Apa kamu sadar dengan apa yang telah kamu katakan tadi?”

Ardan mengacak rambutnya frustasi. Menurut Ardan, Diandra adalah wanita yang sangat rumit untuk dipahami. Ardan rasa semua yang ia lakukan selama ini selalu salah di mata wanita itu. Pengorbanan yang selama ini telah ia lakukan tidak ada maknanya bagi wanita itu.

“Aku sadar, Diandra. Seratus persen sadar,” jawab Ardan dengan frustasi. Memangnya Diandra ini mau ia melakukan apa? Mengemis permintaan maaf dengan berlutut di bawah kakinya begitu? Tidak akan, Ardan tidak akan pernah mau melakukan hal serendah itu.

Diandra mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Ia berusaha menetralkan amarahnya yang sudah mencuat. Jika mereka sedang sama-sama terbawa emosi, salah satu caranya adalah Diandra memilih untuk mengalah daripada masalah ini bertambah besar.

“Aku … aku hanya ingin kamu perhatian padaku, setidaknya sedikit saja. Apa permintaanku ini terlalu berlebihan bagimu?”

“Aku selama ini sudah mencoba untuk memberikan perhatian padamu, tapi kamu selalu meminta lebih. Lalu aku harus bagaimana?” Ardan benar-benar sudah kehabisan kesabarannya. Memangnya selama ini perhatian yang ia berikan untuk Diandra kurang? Ardan selalu memberikan apapun yang wanita itu mau, meskipun tidak sering.

“Ardan, yang selama ini kamu berikan bukanlah perhatian atau kasih sayang, tapi hanya sekedar barang yang tidak terlalu penting bagiku. Semua wanita ingin diperhatikan oleh pasangannya, bukan perlakuan seperti ini yang aku inginkan, Ardan.” Diandra mengeluarkan segala isi hatinya berharap setelah ini Ardan akan sadar dan bersikap lembut padanya.

Ardan mendecih pelan, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, kemana saja asalkan tidak menatap wajah Diandra. Rasanya Diandra ingin menangis ketika Ardan kembali bersikap dingin padanya, dengan Ardan memutus kontak mata dengannya, sudah dipastikan jika pria itu sedang marah besar padanya.

Tidak… ini tidak boleh terjadi. Bagaimanapun Diandra tidak ingin hubungannya hancur hanya karena masalah ini. Diandra masih sangat mencintai Ardan, meskipun pria itu mencintainya ataupun tidak. Sebut saja Diandra wanita bodoh atau tolol, karena perasaannya hanya ia sendiri yang tau, bukan orang lain.

“Ardan ….” Kalimat Diandra terputus ketika ponsel Ardan di atas meja bergetar. Diandra menangkap sebuah nama ‘Adinda’ di layar ponsel Ardan. Kekasihnya itu langsung menyambar ponselnya dengan cepat dan menerima panggilan itu tanpa menghiraukan Diandra.

Satu nama di ponsel Ardan tadi mengusik Diandra. Nama itu adalah nama dari seseorang yang sangat dibenci oleh Diandra. Adinda adalah mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya Ardan. Lantas, mengapa Adinda masih berhubungan dengan Ardan? Diandra juga tidak tau.

Diandra baru mengetahui jika mereka berdua masih saling berhubungan tadi, saat ia mengintip ponselnya Ardan. Diandra kira Ardan sudah memutus kontak dengan mantan kekasihnya itu ketika ia baru jadian dengannya. Tapi ternyata semua itu tidak benar, nyatanya Ardan masih berhubungan dengan Adinda.

Diandra tau Adinda adalah mantan kekasih Ardan dari sahabat pria itu. Katanya Ardan diputuskan oleh Adinda karena mantan kekasihnya itu lebih memilih menikah dengan bosnya saat itu. Bahkan yang Diandra dengar, Ardan sempat putus asa karena diputuskan Adinda dan melajang selama hampir tiga tahun lamanya.

Setelah melajang tiga tahun itu, Ardan bertemu dengan Diandra di salah satu mini market dekat dengan rumah Diandra. Dari sana lah hubungan mereka mulai dekat dan setelah satu bulan pendekatan, Ardan memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Diandra.

“Halo? Kamu dimana? Apa, di rumah sakit? Ada masalah apa sama kandunganmu? Oh oke baiklah, aku akan segera kesana.” Ardan segera menutup sambungannya dan hendak pergi namun Diandra dengan cepat menahan tangannya.

“Kamu mau kemana?” tanya Diandra dengan wajah memerah menahan amarah.

“Aku ada urusan mendadak, maaf kamu harus pulang sendiri malam ini.” Ardan mencoba melepaskan cengkraman tangan Diandra, namun wanita itu memegang tangannya dengan erat.

“Urusan mendadak apa sampai buat kamu gelisah seperti ini? Katakan, siapa yang menelponmu?”

Ardan hanya diam, membuat kesabaran Diandra perlahan menipis. “Adinda, bukan? Adinda kan yang menelponmu?” kata Diandra sembari meninggikan suaranya.

“Bagaimana kamu tau Adinda?” tanya Ardan dengan wajah terkejut. Ardan sama sekali tidak pernah membicarakan soal siapa Adinda kepada Diandra. Bahkan Ardan juga tidak pernah mengatakan alasan ia jatuh cinta pada Diandra dan akhirnya menjadikannya kekasihnya adalah karena wajah Diandra sangat mirip dengan Adinda. Sebut saja Ardan brengsek, tapi itulah kenyataannya.

“Aku tau darimana soal Adinda, itu bukan urusan kamu. Sekarang kamu harus jelasin semuanya, kenapa Adinda menelponmu?” Diandra terus mendesak agar Ardan menjawab pertanyaannya. Hatinya begitu sakit mengetahui bahwa selama ini Ardan masih berhubungan baik dengan mantan kekasihnya tanpa sepengetahuannya.

“Adinda menelponku karena dia sedang di rumah sakit ….” Diandra menatap Ardan lekat-lekat, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.

“Dia terjatuh di rumahnya dan kandungannya sedikit bermasalah jadi—”

“Demi Tuhan, Ardan! Lalu apa urusannya denganmu? Kamu bukan Ayah dari anak yang di kandung wanita itu! Kamu tidak seharusnya bereaksi seperti ini! Biarkan saja suaminya yang kesana dan mengurus wanita itu!” bentak Diandra marah. Ardan sampai khawatir seperti itu hanya karena Adinda terjatuh? Diandra iri, sangat iri terhadap Adinda. Wanita itu dengan mudahnya mendapat perhatian Ardan yang selama ini Diandra inginkan tapi tidak pernah ia dapatkan.

“Justru karena itu, Diandra! Adinda sendirian di rumah sakit karena dia sudah bercerai dengan suaminya! Adinda tidak punya siapa-siapa lagi, hanya aku yang dia punya, dan sekarang dia membutuhkan bantuanku untuk menemaninya.” Ardan berkata dengan npas terengah-engah. Adegan pertengkaran mereka semakin memanas membuat seluruh perhatian pengunjung maupun pegawai coffee shop tertuju pada mereka berdua.

Diandra terkejut dengan bentakan Ardan kepadanya. Selama menjalin hubungan dengan Ardan, pria itu tidak pernah sama sekali membentak atau berprilaku kasar kepadanya. Meskipun Ardan tidak pernah perhatian pada Diandra, tapi ia selalu berlaku sopan kepadanya.

Tanpa Diandra sadari, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Diandra menangis untuk pertama kalinya di hadapan Ardan. Biasanya Diandra tidak pernah menunjukkan kesedihannya di depan Ardan dan selalu memasang topeng ceria agar pria itu tidak tau bahwa jauh di dalam lubuk hatinya, Diandra sangat sakit dengan sikap Ardan selama ini.

Tubuh Ardan membeku melihat cairan bening itu mengalir di pipi Diandra. Ia tidak menyangka bentakannya tadi akan membuat kekasihnya itu menangis.

Cengkraman erat di tangan Ardan melemah, tangis Diandra makin pecah tatkala ia menutup wajahnya dan menangis tersedu-sedu. Hancur sudah tembok besar yang sudah ia bangun selama ini. Diandra kira, ia bisa berlakon lebih lama menjadi Diandra yang ceria dan selalu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya, semuanya berantakan begitu saja karena kehadiran seseorang di masa lalu dan menghancurkan semua rencana yang telah Diandra impikan.

“Jadi selama ini, arti aku di hidup kamu itu apa? Atau jangan-jangan selama ini aku tidaklah penting bagi kamu? Aku hanya seseorang yang sekedar lewat saja di hidup kamu, gitu?” kata Diandra dengan air mata yang terus membanjiri wajahnya.

Ardan bereaksi melihat air mata di wajah Diandra. Ia menggenggam salah satu tangan wanita itu dan mengusapnya pelan. Diandra terkejut mendapat perlakuan manis dari Ardan. Tidak pernah Ardan menggenggam tangannya terlebih dahulu kecuali jika Diandra yang menyuruhnya.

“Aku … minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu, Diandra.” Ardan menatap Diandra dengan wajah sendu. Diandra menggelengkan kepalanya, jadi semua harus berakhir saat ini juga?

“Aku tidak butuh permintaan maafmu, Ardan. Yang aku butuhkan adalah jawaban kamu, apa arti aku di hidup kamu?” Diandra sudah tidak peduli dengan bisik-bisikkan orang lain yang sedang melihat adegan dramatis mereka seperti di sinetron.

“Kamu berarti di hidup aku, Diandra. Kamu yang mengisi kekosongan hatiku selama tiga tahun lamanya kosong. Tapi lebih baik aku jujur padamu bahwa sebagian besar ruang di hatiku tidak sepenuhnya diisi sama kamu, tetapi Adinda lah yang mengisi penuh sebagian ruang kosong di hatiku,” jawab Ardan dengan suara pelan, hampir seperti sebuah bisikkan.

Diandra menghentikkan tangisnya, Ia melepaskan tangan Ardan dari tangannya sedikit kasar. “Terimakasih karena kamu mau menjawab pertanyaanku. Setelah mendengar jawabanmu, aku langsung sadar jika aku tidak berarti apa-apa bagimu. Karena selamanya hanya ada Adinda di hatimu, benar kan?” kata Diandra berhasil membuat Ardan diam.

Diandra menarik napas dalam-dalam, ia butuh oksigen lebih banyak untuk mengucapkan kalimat yang mungkin akan membuatnya menangis lagi. “Kalau begitu kita akhiri sampai disini saja,” kata Diandra membuat Ardan membelalakan matanya kaget.

“Kenapa kaget? Seharusnya kamu merasa senang karena sekarang kamu bebas bisa menjalin hubungan dengan Adinda tanpa takut ketahuan olehku.” Diandra menahan sekuat tenaga air mata yang kembali memenuhi pelupuk matanya. Tidak, kali ini ia tidak boleh terlihat cengeng di depan Ardan. ia harus menunjukkan bahwa ia bukanlah Diandra yang cengeng yang dapat diperlakukan Ardan seenaknya.

Ardan tidak bereaksi apapun, ia hanya menatap Diandra dengan tatapan matanya yang entah kenapa ia merasa sangat kesal melihatnya.

“Mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu, pesanku untukmu, jaga Adinda dan kandungannya dengan baik. Jangan pernah kamu sia-siakan Adinda seperti aku yang pernah kamu sia-siakan.”

Ardan mengusap wajahnya dengan pelan. “Bencilah aku, Dian, kamu pantas membenci seorang pria seperti diriku.”

“Aku tidak akan membenci dirimu atau siapapun, karena disini tidak ada siapapun yang salah. Hanya aku yang terlalu bodoh karena percaya padamu dan bertahan disisimu padahal semua itu hanya sebuah kesia-siaan.” Diandra mengambil selembar uang dari dompet dan meletakkannya di atas meja setelah itu ia beranjak dari kursi hendak keluar dari coffee shop yang mendadak terasa panas dan pengap.

“Diandra—” Langkah Diandra terhenti begitu mendengar suara Ardan memanggilnya. Diandra tidak berbalik, ia tidak mau pertahanannya runtuh ketika menatap wajah pria yang pernah mengisi hatinya itu.

“Aku minta maaf atas segala yang aku lakukan kepadaku selama ini. Aku berdoa dari lubuk hatiku semoga kelak kamu akan menemukan seorang pria yang lebih baik dariku, yang lebih mencintaimu lebih dari aku. Kamu pantas untuk mendapat kebahagiaan itu, Diandra, selamat tinggal.” Setelah mengatakan itu, Ardan pergi melewatinya begitu saja tanpa sebuah pelukan perpisahan.

Diandra menangis, meratapi kisah cintanya yang begitu menyedihkan. Ia terlalu bodoh dan naïf, menganggap bahwa hubungannya dengan Ardan selama ini akan baik-baik saja jika ia lebih banyak mengalah dan berkorban. Diandra tidak terlalu mempermasalahkan cinta Ardan kepadanya selama ia mencintai pria itu melebihi dirinya sendiri.

Semua itu adalah kebodohan Diandra. Sebuah kesalahan besar mencintai seorang Ardan dengan tulus dimana sebenarnya pria itu tidak pantas untuk mendapatkan cintanya yang begitu murni.


****

Uuuggh ... sini sini aku kasih pelukan virtual dulu buat Diandra💔
Next oneshoot yg hepi hepi ya gengs, aku otw ngetik dulu dan gk janji bakal update cepet✌

Sampai jumpa di oneshoot selanjutnyaa~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar