Halloww aku bawa oneshoot baru nih! Terinspirasi lagi dari lagu Ending Scene IU. Bagi kalian yg udah pernah denger lagu ini, pasti ngerasa sedih kan? Coba search deh artinya, ngena banget buat kalian yg pernah merasakan putus cinta *cieelah*
Ada sepenggal lirik Ending Scene yang paling ngena dan paling aku suka 👇
'Karena semuanya akan berlalu, pastikan kau makan dengan baik. Kau akan bisa tidur senyenyak dulu. Aku berdoa dari lubuk hatiku. Kau pantas untuk lebih berbahagia.'
'Aku sungguh mengharapkan kau bertemu seseorang yang akan mencintaimu melebihi dirimu. Aku menyesal karena dia bukan aku. Ini bukanlah hal yang mudah.'
Nah nahh 'jlebb' banget kan artinya? Aku blm pernah sih ngerasain putus cinta kayak gimana *bangga bgt dah-_-* tapi ikutan sedih juga liat artinya T.T
Oke deh langsung aja yuk, selamat membaca ^^
****
Dua manusia
yang tengah duduk saling berhadapan itu sama-sama terdiam di tengah suasana
ramai coffe shop yang mereka kunjungi. Si wanita berwajah putih pucat itu
menatap pria di hadapannya dengan ekspresi sendu. Pria itu adalah seseorang
yang sangat dicintainya. Ia bahkan rela menukar apapun miliknya agar bisa
bersama dengan pria itu untuk selamanya.
Namun
kenyataannya tidak seperti yang diinginkan dan diimpikan olehnya. Pria itu,
Ardan, sama sekali tidak menoleh ke arahnya, bahkan untuk sekedar berbasa-basi
saja, Ardan seperti enggan melakukannya.
Wanita itu,
Diandra, menghela napas. Disaat seperti ini saja, Ardan tidak memiliki waktu
untuknya. Padahal mereka sudah menjalin hubungan selama datu tahun lamanya,
tapi sifat Ardan tidak pernah berubah selama itu.
“Dan,”
panggil Diandra mencoba menarik perhatian kekasihnya itu. Namun Ardan hanya
berdehem tanpa meliriknya sama sekali.
Lagi,
Diandra hanya bisa tersenyum miris mendapat jawaban dingin dari Ardan yang
sudah menjadi makanan sehari-harinya selama ini.
“Kamu ingat
ini hari apa?” tanya Diandra hati-hati. Ardan perlahan menegakkan wajahnya,
menatap wajah Diandra dengan tatapan matanya yang tajam. Tak sadar Diandra
mengukir senyum tipisnya, sebisa mungkin ia akan berusaha terlihat baik-baik
saja setiap Ardan menatapnya.
“Hari
Kamis, bukan?” jawab Ardan membuat senyum tipis di bibir Diandra pudar. Ia
menatap Ardan dengan perasaan sedih yang tak terbendung lagi. Pada akhirnya
Ardan memang tidak pernah mengingat hari jadian mereka berdua. Padahal hari itu
adalah hari yang sangat membuat Diandra bahagia. Hari dimana Diandra merasa
terbang ke dunia luar karena berhasil menjadi kekasih seorang Ardan.
Namun tepat
satu bulan hubungan mereka terjalin, Ardan tidak memberi kejutan ataupun hadiah
seperti bunga atau coklat kepada Diandra. Sedih? Tentu saja, bahkan saat itu
Diandra sempat berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Ardan. Tapi
lagi-lagi rasa cintanya yang lebih besar kepada Ardan membuatnya mengurungkan
niatnya untuk memutuskan pria itu.
Diandra
tersenyum miris, “Lagi-lagi kamu lupa hari anniversary kita.” Sekuat tenaga
Diandra menahan genangan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya.
“Ah … ehm …
maafkan aku,” jawab Ardan dengan nada menyesal. Diandra mengalihkan
pandangannya ke arah jendela besar disampingnya sembari menikmati kopi hangat
yang setidaknya dapat menenangkan hatinya.
“Kamu tidak
pernah mengingat hari jadi kita, apa kamu juga tidak pernah ingat kalau aku
adalah kekasihmu?” Ardan sedikit terkejut mendapat pertanyaan dari Diandra yang
terdengar menyudutkannya itu.
“Itu …
kenapa kamu menanyakan itu? Apa kamu kesal karena aku hanya tidak mengingat
hari jadi kita?” Diandra melongo mendengar jawaban Ardan. Hanya, katanya?
Apakah pria di hadapannya ini benar Ardan, kekasihnya? Tapi mengapa Diandra
merasa Ardan seperti orang lain yang sama sekali tak dikenalnya?
“Hanya kata
kamu? Apa kamu merasa anniversary kita bukanlah hal yang penting?” Diandra
tidak habis pikir dengan Ardan. Biasanya jika ia lupa dengan hari jadi mereka,
Ardan akan langsung memberikan hadiah kepada Diandra sebagai tanda permintaan
maaf. Tapi apa yang dikatakannya barusan benar-benar membuat Diandra tak bisa
berkata-kata.
“Itu
hanyalah sebuah simbol, Dian. Kamu bukan lagi anak kecil yang apapun harus
selalu di rayakan. Lagi pula kita ini bukan pasangan yang baru menjalin kasih
selama satu minggu, kita sudah cukup lama untuk berpikir dewasa dan mengerti
kehidupan pribadi masing-masing. Kamu tau aku sibuk dengan pekerjaan di kantor,
seharusnya kamu bisa paham posisi aku sekarang,” kata Ardan dengan nada kesal
yang ditahannya.
“Itu bukan
hanya sekedar simbol bagiku. Itu adalah hari spesial dimana hubungan kita
dimulai. Hari dimana aku dan kamu menjadi satu sebagai sepasang kekasih. Kamu
bahkan tidak menghargai perasaanku, Ardan.” Diandra menumpahkan segala rasa
kesalnya yang selama ini ia pendam sendiri. Sikap Ardan kali ini benar-benar
membuat Diandra naik pitam. Ia harus segera meluruskan masalah ini, jika tidak
hubungan mereka akan hancur.
“Aku hanya
manusia biasa yang bisa melupakan hal kecil sekalipun. Aku minta maaf jika
sikapku ini menyakiti perasaan kamu, tapi inilah aku. Aku bukanlah pria yang romantis,
aku juga bukan pria yang perhatian, tapi jika kamu mulai lelah dengan semua
ini, kamu bisa berhenti sekarang juga.” Kata-kata yang keluar dari mulut Ardan
menusuk tepat di hati Diandra.
“Kamu
bersungguh-sungguh mengatakan hal itu, Ardan? Apa kamu sadar dengan apa yang
telah kamu katakan tadi?”
Ardan
mengacak rambutnya frustasi. Menurut Ardan, Diandra adalah wanita yang sangat
rumit untuk dipahami. Ardan rasa semua yang ia lakukan selama ini selalu salah
di mata wanita itu. Pengorbanan yang selama ini telah ia lakukan tidak ada
maknanya bagi wanita itu.
“Aku sadar,
Diandra. Seratus persen sadar,” jawab Ardan dengan frustasi. Memangnya Diandra
ini mau ia melakukan apa? Mengemis permintaan maaf dengan berlutut di bawah
kakinya begitu? Tidak akan, Ardan tidak akan pernah mau melakukan hal serendah
itu.
Diandra
mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Ia berusaha menetralkan amarahnya
yang sudah mencuat. Jika mereka sedang sama-sama terbawa emosi, salah satu
caranya adalah Diandra memilih untuk mengalah daripada masalah ini bertambah
besar.
“Aku … aku
hanya ingin kamu perhatian padaku, setidaknya sedikit saja. Apa permintaanku
ini terlalu berlebihan bagimu?”
“Aku selama
ini sudah mencoba untuk memberikan perhatian padamu, tapi kamu selalu meminta
lebih. Lalu aku harus bagaimana?” Ardan benar-benar sudah kehabisan
kesabarannya. Memangnya selama ini perhatian yang ia berikan untuk Diandra
kurang? Ardan selalu memberikan apapun yang wanita itu mau, meskipun tidak
sering.
“Ardan,
yang selama ini kamu berikan bukanlah perhatian atau kasih sayang, tapi hanya
sekedar barang yang tidak terlalu penting bagiku. Semua wanita ingin
diperhatikan oleh pasangannya, bukan perlakuan seperti ini yang aku inginkan,
Ardan.” Diandra mengeluarkan segala isi hatinya berharap setelah ini Ardan akan
sadar dan bersikap lembut padanya.
Ardan
mendecih pelan, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, kemana saja asalkan
tidak menatap wajah Diandra. Rasanya Diandra ingin menangis ketika Ardan
kembali bersikap dingin padanya, dengan Ardan memutus kontak mata dengannya,
sudah dipastikan jika pria itu sedang marah besar padanya.
Tidak… ini
tidak boleh terjadi. Bagaimanapun Diandra tidak ingin hubungannya hancur hanya
karena masalah ini. Diandra masih sangat mencintai Ardan, meskipun pria itu
mencintainya ataupun tidak. Sebut saja Diandra wanita bodoh atau tolol, karena
perasaannya hanya ia sendiri yang tau, bukan orang lain.
“Ardan ….”
Kalimat Diandra terputus ketika ponsel Ardan di atas meja bergetar. Diandra
menangkap sebuah nama ‘Adinda’ di layar ponsel Ardan. Kekasihnya itu langsung
menyambar ponselnya dengan cepat dan menerima panggilan itu tanpa menghiraukan
Diandra.
Satu nama
di ponsel Ardan tadi mengusik Diandra. Nama itu adalah nama dari seseorang yang
sangat dibenci oleh Diandra. Adinda adalah mantan kekasih sekaligus cinta
pertamanya Ardan. Lantas, mengapa Adinda masih berhubungan dengan Ardan?
Diandra juga tidak tau.
Diandra
baru mengetahui jika mereka berdua masih saling berhubungan tadi, saat ia
mengintip ponselnya Ardan. Diandra kira Ardan sudah memutus kontak dengan
mantan kekasihnya itu ketika ia baru jadian dengannya. Tapi ternyata semua itu
tidak benar, nyatanya Ardan masih berhubungan dengan Adinda.
Diandra tau
Adinda adalah mantan kekasih Ardan dari sahabat pria itu. Katanya Ardan
diputuskan oleh Adinda karena mantan kekasihnya itu lebih memilih menikah
dengan bosnya saat itu. Bahkan yang Diandra dengar, Ardan sempat putus asa
karena diputuskan Adinda dan melajang selama hampir tiga tahun lamanya.
Setelah
melajang tiga tahun itu, Ardan bertemu dengan Diandra di salah satu mini market
dekat dengan rumah Diandra. Dari sana lah hubungan mereka mulai dekat dan
setelah satu bulan pendekatan, Ardan memberanikan diri untuk menyatakan
cintanya pada Diandra.
“Halo? Kamu
dimana? Apa, di rumah sakit? Ada masalah apa sama kandunganmu? Oh oke baiklah,
aku akan segera kesana.” Ardan segera menutup sambungannya dan hendak pergi
namun Diandra dengan cepat menahan tangannya.
“Kamu mau
kemana?” tanya Diandra dengan wajah memerah menahan amarah.
“Aku ada
urusan mendadak, maaf kamu harus pulang sendiri malam ini.” Ardan mencoba melepaskan
cengkraman tangan Diandra, namun wanita itu memegang tangannya dengan erat.
“Urusan
mendadak apa sampai buat kamu gelisah seperti ini? Katakan, siapa yang
menelponmu?”
Ardan hanya
diam, membuat kesabaran Diandra perlahan menipis. “Adinda, bukan? Adinda kan
yang menelponmu?” kata Diandra sembari meninggikan suaranya.
“Bagaimana
kamu tau Adinda?” tanya Ardan dengan wajah terkejut. Ardan sama sekali tidak
pernah membicarakan soal siapa Adinda kepada Diandra. Bahkan Ardan juga tidak
pernah mengatakan alasan ia jatuh cinta pada Diandra dan akhirnya menjadikannya
kekasihnya adalah karena wajah Diandra sangat mirip dengan Adinda. Sebut saja Ardan brengsek, tapi itulah kenyataannya.
“Aku tau
darimana soal Adinda, itu bukan urusan kamu. Sekarang kamu harus jelasin
semuanya, kenapa Adinda menelponmu?” Diandra terus mendesak agar Ardan menjawab
pertanyaannya. Hatinya begitu sakit mengetahui bahwa selama ini Ardan masih
berhubungan baik dengan mantan kekasihnya tanpa sepengetahuannya.
“Adinda
menelponku karena dia sedang di rumah sakit ….” Diandra menatap Ardan lekat-lekat,
menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.
“Dia
terjatuh di rumahnya dan kandungannya sedikit bermasalah jadi—”
“Demi
Tuhan, Ardan! Lalu apa urusannya denganmu? Kamu bukan Ayah dari anak yang di
kandung wanita itu! Kamu tidak seharusnya bereaksi seperti ini! Biarkan saja
suaminya yang kesana dan mengurus wanita itu!” bentak Diandra marah. Ardan
sampai khawatir seperti itu hanya karena Adinda terjatuh? Diandra iri, sangat
iri terhadap Adinda. Wanita itu dengan mudahnya mendapat perhatian Ardan yang selama
ini Diandra inginkan tapi tidak pernah ia dapatkan.
“Justru
karena itu, Diandra! Adinda sendirian di rumah sakit karena dia sudah bercerai
dengan suaminya! Adinda tidak punya siapa-siapa lagi, hanya aku yang dia punya,
dan sekarang dia membutuhkan bantuanku untuk menemaninya.” Ardan
berkata dengan npas terengah-engah. Adegan pertengkaran mereka semakin memanas
membuat seluruh perhatian pengunjung maupun pegawai coffee shop tertuju pada
mereka berdua.
Diandra
terkejut dengan bentakan Ardan kepadanya. Selama menjalin hubungan dengan
Ardan, pria itu tidak pernah sama sekali membentak atau berprilaku kasar
kepadanya. Meskipun Ardan tidak pernah perhatian pada Diandra, tapi ia selalu
berlaku sopan kepadanya.
Tanpa
Diandra sadari, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Diandra menangis
untuk pertama kalinya di hadapan Ardan. Biasanya Diandra tidak pernah
menunjukkan kesedihannya di depan Ardan dan selalu memasang topeng ceria agar
pria itu tidak tau bahwa jauh di dalam lubuk hatinya, Diandra sangat sakit
dengan sikap Ardan selama ini.
Tubuh Ardan
membeku melihat cairan bening itu mengalir di pipi Diandra. Ia tidak menyangka
bentakannya tadi akan membuat kekasihnya itu menangis.
Cengkraman
erat di tangan Ardan melemah, tangis Diandra makin pecah tatkala ia menutup
wajahnya dan menangis tersedu-sedu. Hancur sudah tembok besar yang sudah ia
bangun selama ini. Diandra kira, ia bisa berlakon lebih lama menjadi Diandra
yang ceria dan selalu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya,
semuanya berantakan begitu saja karena kehadiran seseorang di masa lalu dan menghancurkan semua rencana yang telah Diandra impikan.
“Jadi
selama ini, arti aku di hidup kamu itu apa? Atau jangan-jangan selama ini aku
tidaklah penting bagi kamu? Aku hanya seseorang yang sekedar lewat saja di
hidup kamu, gitu?” kata Diandra dengan air mata yang terus membanjiri wajahnya.
Ardan
bereaksi melihat air mata di wajah Diandra. Ia menggenggam salah satu tangan
wanita itu dan mengusapnya pelan. Diandra terkejut mendapat perlakuan manis
dari Ardan. Tidak pernah Ardan menggenggam tangannya terlebih dahulu kecuali
jika Diandra yang menyuruhnya.
“Aku …
minta maaf. Aku tidak ingin menyakitimu, Diandra.” Ardan menatap Diandra dengan
wajah sendu. Diandra menggelengkan kepalanya, jadi semua harus berakhir saat
ini juga?
“Aku tidak
butuh permintaan maafmu, Ardan. Yang aku butuhkan adalah jawaban kamu, apa arti
aku di hidup kamu?” Diandra sudah tidak peduli dengan bisik-bisikkan orang lain
yang sedang melihat adegan dramatis mereka seperti di sinetron.
“Kamu
berarti di hidup aku, Diandra. Kamu yang mengisi kekosongan hatiku selama tiga
tahun lamanya kosong. Tapi lebih baik aku jujur padamu bahwa sebagian besar
ruang di hatiku tidak sepenuhnya diisi sama kamu, tetapi Adinda lah yang
mengisi penuh sebagian ruang kosong di hatiku,” jawab Ardan dengan suara pelan,
hampir seperti sebuah bisikkan.
Diandra
menghentikkan tangisnya, Ia melepaskan tangan Ardan dari tangannya sedikit kasar.
“Terimakasih karena kamu mau menjawab pertanyaanku. Setelah mendengar jawabanmu,
aku langsung sadar jika aku tidak berarti apa-apa bagimu. Karena selamanya
hanya ada Adinda di hatimu, benar kan?” kata Diandra berhasil membuat Ardan
diam.
Diandra
menarik napas dalam-dalam, ia butuh oksigen lebih banyak untuk mengucapkan
kalimat yang mungkin akan membuatnya menangis lagi. “Kalau begitu kita akhiri
sampai disini saja,” kata Diandra membuat Ardan membelalakan matanya kaget.
“Kenapa
kaget? Seharusnya kamu merasa senang karena sekarang kamu bebas bisa menjalin
hubungan dengan Adinda tanpa takut ketahuan olehku.” Diandra menahan sekuat
tenaga air mata yang kembali memenuhi pelupuk matanya. Tidak, kali ini ia tidak
boleh terlihat cengeng di depan Ardan. ia harus menunjukkan bahwa ia bukanlah
Diandra yang cengeng yang dapat diperlakukan Ardan seenaknya.
Ardan tidak
bereaksi apapun, ia hanya menatap Diandra dengan tatapan matanya yang entah kenapa ia merasa sangat kesal melihatnya.
“Mungkin
ini terakhir kalinya kita bertemu, pesanku untukmu, jaga Adinda dan
kandungannya dengan baik. Jangan pernah kamu sia-siakan Adinda seperti aku yang
pernah kamu sia-siakan.”
Ardan
mengusap wajahnya dengan pelan. “Bencilah aku, Dian, kamu pantas membenci seorang
pria seperti diriku.”
“Aku tidak
akan membenci dirimu atau siapapun, karena disini tidak ada siapapun yang salah.
Hanya aku yang terlalu bodoh karena percaya padamu dan bertahan disisimu
padahal semua itu hanya sebuah kesia-siaan.” Diandra mengambil selembar uang dari dompet dan meletakkannya di atas meja setelah itu ia beranjak dari kursi
hendak keluar dari coffee shop yang mendadak terasa panas dan pengap.
“Diandra—”
Langkah Diandra terhenti begitu mendengar suara Ardan memanggilnya. Diandra
tidak berbalik, ia tidak mau pertahanannya runtuh ketika menatap wajah pria
yang pernah mengisi hatinya itu.
“Aku minta
maaf atas segala yang aku lakukan kepadaku selama ini. Aku berdoa dari lubuk
hatiku semoga kelak kamu akan menemukan seorang pria yang lebih baik dariku,
yang lebih mencintaimu lebih dari aku. Kamu pantas untuk mendapat kebahagiaan
itu, Diandra, selamat tinggal.” Setelah mengatakan itu, Ardan pergi melewatinya
begitu saja tanpa sebuah pelukan perpisahan.
Diandra
menangis, meratapi kisah cintanya yang begitu menyedihkan. Ia terlalu bodoh dan
naïf, menganggap bahwa hubungannya dengan Ardan selama ini akan baik-baik saja
jika ia lebih banyak mengalah dan berkorban. Diandra tidak terlalu mempermasalahkan cinta Ardan kepadanya
selama ia mencintai pria itu melebihi dirinya sendiri.
Semua itu
adalah kebodohan Diandra. Sebuah kesalahan besar mencintai seorang Ardan dengan
tulus dimana sebenarnya pria itu tidak pantas untuk mendapatkan cintanya yang
begitu murni.
****
Uuuggh ... sini sini aku kasih pelukan virtual dulu buat Diandra💔
Next oneshoot yg hepi hepi ya gengs, aku otw ngetik dulu dan gk janji bakal update cepet✌
Sampai jumpa di oneshoot selanjutnyaa~

Tidak ada komentar:
Posting Komentar