Haiiiiii aku balik lagi sama OS baru nih! Sebenernya udh dari kapan tau aku buat oneshoot ini, tapi baru di upload sekarang 😂
Jadi aku tuh niatnya mau upload oneshoot secara bergantian, misalnya hari ini aku upload genre romance, besoknya aku upload yg genre sad. Habis dibuat senyam-senyum langsung dibuat nangis ya gengs😂
Okay Happy Reading guys!
****
Pagi itu,
seorang gadis cantik sedang menyiram tanaman di halaman depan rumahnya.
Sesekali ia curi-curi pandang ke rumah di sampingnya, berharap sang empunya
rumah keluar dan menyegarkan kedua mata indahnya di pagi hari ini.
Namanya Ameira,
seorang mahasiswa yang baru pindah ke perumahan dekat kampusnya. Sebenarnya
rumah ini bukan ia kos sendiri, melainkan milik tantenya yang sudah lama
kosong. Karena itu Ameira diminta tantenya untuk tinggal di rumahnya yang
sekarang ia tempati, daripada mencari tempat kos yang mahal dan sangat susah di
cari.
Ameira
sangat senang saat ditawari untuk tinggal di rumahnya, uang sakunya lumayan hemat
untuk kebutuhan yang lainnya. Apalagi saat Ameira tau bahwa ada tetangga yang
tinggal tepat disamping rumah tantenya adalah seorang lelaki tampan yang sangat
jarang keluar rumah.
Ame,
panggilan akrabnya, baru bertemu beberapa kali dengan lelaki itu. Saat itu ia
baru saja pindah ke rumah tantenya, tiba-tiba saja si tetangga tampannya itu
datang ke rumah untuk mengajaknya makan malam di rumahnya.
Kaget? Tentu saja.
Ame bahkan belum menyiapkan diri untuk berkenalan dengan tetangga yang lain,
niatnya Ame akan berkunjung ke beberapa tetangga dekat rumahnya esok hari,
karena ia perlu menyiapkan beberapa hal. Tidak etis bila Ame berkunjung dengan
tangan kosong tanpa membawa apapun.
Yang
membuat Ame lebih merasa takjub dan tak menyangka, ternyata ibu dari lelaki
tampan yang bernama Zahran itu adalah teman tantenya saat masih tinggal disini.
Sungguh, Ame tidak menyangka di malam pertama ia pindah kemari akan langsung
diberi sebuah kejutan yang sangat tidak diduga-duganya.
Kira-kira
sudah satu bulan lebih Ame tinggal di perumahan sederhana ini. Dan selama itu
juga bisa dihitung berapa kali Ame bertatap muka dengan Zahran, si tetangganya
itu. Yang hanya Ame tau, Zahran juga seorang mahasiswa yang juga sedang bekerja
paruh waktu di coffe shop dekat kampusnya. Semua informasi tentangnya, Ame tau secara ekslusif dari ibunya.
“Hari ini
dia nggak keluar juga? Betah amat di rumah, emangnya ada apa sih?” gerutu Ame
kesal. Menurut informasi dari ibunya, Zahran memang tipe anak rumahan. Ia hanya
akan keluar rumah jika mau kuliah dan bekerja saja. Selebihnya ia menghabiskan
waktunya di dalam rumah, entah melakukan apa disana.
“Masa aku
harus main ke rumahnya lagi?” Ame berkata pada dirinya sendiri. Demi bisa
bertemu dengan sang pujaan hati, Ame rela dua hari sekali main ke rumah Zahran
dengan dalih ingin bertemu ibunya. Begitulah resiko memiliki gebetan yang
jarang ke luar rumah, jadilah Ame yang harus berkorban demi mengejar masa
depannya yang cerah.
Ame
menghela napas pasrah, sepertinya pagi yang kesekian kalinya ini akan menjadi sia-sia
lagi. Baru saja Ame mematikan kran air dan hendak berbalik masuk kedalam rumah,
pintu rumah Zahran terbuka. Ame buru-buru membungkukkan sedikit tubuhnya dan
mengintip dari balik tembok pembatas rumahnya dan Zahran. Ame melihat Zahran
yang membawa gunting rumput seketika membentuk sebuah senyuman di wajahnya.
Akhirnya,
setelah tigapuluh menit lamanya Ame menunggu di luar, sosok Zahran muncul
membuat pagi Ame terasa lebih cerah. Zahran dengan wajah cool di mata Ame
menggunting daun-daun kering tanaman di halaman rumahnya.
Ame masih
terus mengintip dengan senyum bodohnya setiap gerak-gerik Zahran tanpa ia
ketahui bahwa lelaki itu…
“Sedang apa
kamu disana?” Zahran berkata tiba-tiba membuat Ame jadi salah tingkah. Ame
menegakkan tubuhnya kaku sambil merapikan rambutnya dengan canggung.
“Eh? A-aku
lagi nyiram bunga,” jawab Ame dengan gugup. Zahran melirik tangan Ame yang
masih memegang kran air.
“Yakin lagi
nyiram bunga? Kok krannya mati?” sambungnya lagi membuat Ame semakin salah
tingkah. Memang tembok pembatas rumahnya dan rumah Zahran tidak terlalu tinggi,
jadi Ame bisa mengobrol dan bertatap muka dengan Zahran dari halaman rumah masing-masing.
“I-ini baru aja dimatiin tadi. Habisnya aku
nunggu kamu keluar lama banget, jadinya daripada mubazir air mendingan aku
matiin ….” Tersadar telah mengucapkan kata yang sangat fatal keluar dari
mulutnya, Ame membanting kran air di tangannya begitu saja dan langsung berlari
masuk ke dalam rumah seperti orang gila.
Zahran yang
melihat tingkah aneh Ame hanya tertawa gemas. Semenjak kedatangan Ame disamping
rumahnya, hidupnya berubah menjadi lebih berwarna. Yang biasanya di rumah hanya
ibu yang dapat menghidupkan suasana rumah, kini ada Ame yang sering membuat
rumahnya terasa lebih hidup.
Setelah
memastikan Ame tidak keluar lagi dari rumahnya, Zahran memutuskan untuk masuk
kedalam rumah dengan senyum geli yang masih menghiasi wajah tampannya.
***
Sudah
sekitar dua jam setelah kejadian memalukan itu, tapi Ame belum bisa melupakan
kebodohan yang baru saja ia lakukan.
“Kenapa sih
punya mulut ember banget?” gerutu Ame sambil menepuk bibirnya kesal. Ame tidak
melihat ekspresi Zahran setelah ia mengatakan hal laknat itu karena ia sudah
terlanjur kelewat malu pada lelaki itu.
“Selesai
sudah, setelah ini pasti Zahran nggak akan mau lagi ngobrol sama aku. Pasti dia
ilfeel deh sama omongan aku, pasti Zahran kira aku cewek ganjen yang
ngejar-ngejar dia. Eh, bukannya bener ya? Aish tapi, aduuuh … bodoh banget sih
kamu, Ame!” Ame terus saja merutuki dirinya sendiri sambil mengacak-acak
rambutnya kesal.
Tok Tok
Ame
terperanjat dari sofa sambil menatap ke arah pintu dengan tatapan bertanya. Ame
mengambil langkah lebar menuju pintu utama, sebelum itu ia waspada dengan
mengintip terlebih dahulu melalui jendela dekat pintu. Betapa terkejutnya Ame
melihat sang tamu yang mengetuk pintu itu ternyata lelaki yang menghantui
pikirannya sejak tadi pagi.
Ame
buru-buru merapihkan kembali rambutnya yang berantakan akibat dari kekesalannya
tadi. Ame membuka pintu secara perlahan sambil tersenyum semanis mungkin.
“Zahran, ada apa ya?” Sebisa mungkin Ame menghalau rasa gugupnya dan berlakon
senormal mungkin di hadapan Zahran.
“Aku pesan
makanan lewat aplikasi online tadi dan ternyata porsinya kebanyakan. Aku mau
numpang makan di rumah kamu, boleh?” tanya Zahran sambil mengangkat tangannya
yang sedang memegang satu kantong plastik besar bernamakan restoran terkenal.
“Ah iya boleh,
silahkan masuk.” Ame membuka pintunya lebar-lebar sehingga Zahran bisa masuk
kedalam. Zahran berjalan menuju ruang tengah diikuti Ame dibelakangnya.
“Aku boleh
duduk disini, kan?” tanya Zahran yang langsung dibalas anggukan oleh Ame.
Zahran duduk di sofa sambil mengeluarkan satu per satu makanan dari dalam
kantong plastik.
“Kamu nggak
mau makan di ruang makan?” tawar Ame dengan nada setenang mungkin. Padahal
tubuhnya sudah panas dingin dan jantungnya berdetak sangat cepat. Ame sangat bersyukur bibirnya tidak gemetaran yang bia membuat ia terlihat bodoh untuk kedua kalinya dihadapan Zahran.
“Nggak
usah, lebih enak makan disini,” jawab Zahran. Ame ikut duduk di sofa berhadapan
dengan Zahran. Ia menatap makanan yang sangat menggiurkan itu dengan mata yang
berbinar.
“Kamu
pesannya nggak kebanyakan? Emangnya kamu sanggup habisin semua makanan ini?”
Ame menunjuk semua makanan yang tersusun rapih di atas meja dengan tatapan
ragu.
“Siapa yang
mau menghabiskan semuanya sendiri? Kamu juga ikut makan, Ameira. Aku nggak akan
pelit kalau soal makanan,” sahut Zahran dengan nada lembutnya membuat semburat
merah di wajah Ame muncul.
“Aku
ambilkan piring dulu.” Ame beranjak dari sofa berjalan menuju dapur sambil
menahan senyum bahagianya. Ame mengambil dua piring dan dua sendok untukya dan
Zahran. Ame tidak menyangka bahwa ia bisa makan berdua bersama dengan Zahran di
rumahnya. Rasanya seperti pasangan baru menikah yang sedang bahagia menikmati
makanan berdua.
Aih… barusan Ame berpikir yang iya-iya lagi—eh
maksudnya yang tidak-tidak lagi.
Ame kembali
dengan membawa piring dan sendok yang tadi ia ambil di dapur. Dengan sigap Ame
menaruh makanan keatas piring dan memberikannya kepada Zahran. Lelaki itu
mengucapkan terimakasih sambil tersenyum penuh arti kepada Ame.
Mereka
berdua makan bersama dengan tenang. Zahran tidak banyak bicara ketika makan
membuat Ame sedikit merasa canggung dengan suasana hening seperti saat ini.
“Ibu kamu kemana?” tanya Ame memecah keheningan diantara mereka.
“Ibuku
sedang ke rumah bibi buat bantu-bantu lagi hajatan disana,” jawab Zahran
singkat. Lagi-lagi suasana kembali hening dan itu benar-benar mengganggu Ame.
“Ameira,
menurut kamu kalau cewek yang mengejar cowok duluan itu gimana?” tanya Zahran tiba-tiba
membuat Ame tersedak kuah sop yang sedang ia makan.
Zahran yang
panik melihat Ame terbatuk-batuk dengan sigap memberikan air minum botol
miliknya kepada Ame. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Zahran khawatir. Ame
menggeleng, sambil tersenyum tipis. “Nggak apa-apa kok,” jawabnya dengan gugup.
Zahran ini meledeknya atau gimana sih? Kenapa tiba-tiba ia mendadak bertanya
hal seperti itu kepada Ame?
“Ke-kenapa
kamu mendadak tanya itu?” Ame tidak berani memandang wajah Zahran. Entah kenapa
ia mendadak merasa malu dengan pertanyaan yang Zahran ucapkan. Benarkah Zahran
sedang menyindirnya secara halus? Apakah Zahran mengetahui bahwa Ame selama ini
suka padanya tapi ia sengaja pura-pura tidak mengetahuinya?
“Bukan,
temanku tadi bertanya dan meminta pendapatku. Menurutku nggak ada salahnya jika
cewek yang mengutarakan perasaannya terlebih dahulu kepada cowok. Aku rasa itu
nggak aneh, bagaimana menurut kamu?” Zahran menatap Ame lekat-lekat membuat gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Apa ini
karena Ame yang keceplosan tadi pagi makannya Zahran bertanya seperti itu?
Apakah Zahran benar-benar menyadari perasaannya selama ini gara-gara perkataan
bodohnya tadi pagi?
Ame,
kamu harus minta maaf segera.
Nggak
usah! Kamu nggak salah apa-apa. Itu kan perasaan kamu, kamu berhak mengatakan
itu ke dia.
Suara hati
Ame saling beradu argument. Ame bimbang memilih antara meluruskan perkataannya
tadi pagi agar tidak terjadi kesalah pahaman yang akan membuat Zahran menjauh
darinya atau ia harus jujur pada lelaki itu bahwa selama ini ia memiliki rasa
padanya.
“Ehm …
Zahran, aku mau minta maaf soal tadi pagi.”
Dahi Zahran
mengkerut bingung, “Memangnya tadi pagi kenapa?”
“Itu loh
aku yang keceplosan kalau aku nunggu kamu keluar rumah. Aku benar-benar nggak
tau kenapa bibir aku bisa keceplosan ngomong begitu. Aku benar-benar nggak
sadar waktu ngomong itu, aku minta maaf.” Ame berkata sambil menundukkan
wajahnya, antara merasa sedih dan malu.
“Kenapa
minta maaf? Aku suka kamu ngomong itu tadi pagi,” kata Zahran membuat Ame
mengangkat wajahnya dan menatap lelaki itu dengan ekspresi terkejut bercampur
bingung.
“Eh?” tanya
Ame memastikan. Ame tidak salah dengar, kan? Barusan Zahran mengatakan bahwa ia
suka dengan perkataannya tadi pagi?
Zahran
mengangguk mantap, kemudian ia menaruh sendok keatas piring dan menatap wajah
Ame lekat-lekat. “Karena topik sedang dibahas, maka aku mau jujur sama kamu.”
Ame menelan salivanya susah payah, harap-harap cemas menunggu apa yang akan
dikatakan oleh Zahran setelah ini.
“Aku suka
sama kamu, Ameira.” Kata-kata singkat yang keluar dari mulut Zahran berhasil
membuat tubuh Ame membeku. Beberapa kali Ame mengerjapkan matanya, seakan tak
percaya telah mendengar kata-kata sakral yang selama ini ingin ia dengar dari
bibir Zahran sendiri.
“Aku tau
mungkin ini terlalu mendadak, tapi aku nggak bisa menahan perasaan aku lagi.
Sejak kamu datang dan tinggal di rumah sebelah, kamu menarik perhatianku
apalagi setelah Ibu menyuruhku mengundangmu
untuk makan malam bersama. Kamu tau kan, aku itu cowok rumahan yang
tidak terlalu tertarik dengan dunia luar apalagi perempuan? Tapi setelah melihat
kamu berhasil dekat dengan Ibu dan sering berkunjung ke rumah, aku merasakan
perasaan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Hanya kamu, Ameira, yang
berhasil membuat hatiku tergerak untuk dapat merasakan cinta.” Zahran berkata
dengan nada lembut namun ekspresi wajahnya sangat serius itu justru nampak lucu
di mata Ame.
Ame melirik
malu-malu Zahran dihadapannya, “A-aku kira selama ini kamu nggak suka sama aku.
Aku kira cintaku bertepuk sebelah tangan …,” sahutnya dengan nada rendah.
“Kamu salah
besar, Ameira. Kamu kira selama ini aku nggak memberi kamu kode bahwa aku suka
sama kamu? Kamu kira selama ini yang mengajak kamu makan malam adalah Ibuku?
Bukan, itu adalah aku, tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya secara
langsung. Lalu, dengan segala hadiah yang mengatasnamakan Ibuku, itu juga semua
hadiah dariku. Aku hanyalah cowok rumahan biasa yang nggak tau cara mendekati
seorang cewek, maafkan aku.” Zahran menatap wajah Ame dengan ekspresi menyesal.
“Jadi kamu
selama ini tau kalau aku suka sama kamu?” tanya Ame dengan wajah kaget. Zahran
menganggukkan kepalanya, “Iya, tingkah kamu lucu setiap ada aku pasti kamu
langsung gugup gitu dan akhirnya masuk ke rumah nggak keluar semalaman.” Zahra
tertawa geli setiap mengingat tingkah lucu Ame.
Ame
mengambil satu bantal sofa dan melemparnya ke arah Zahran. “Ikh, kamu mah!
Kalau kamu udah tau dari dulu, kenapa nggak langsung bilang suka sama aku sih?
Kan aku jadi malu …,” kata Ame sambil memberengut kesal.
“Kapan lagi
aku bisa isengin kamu sampai muka kamu merah kayak tomat?” tawa Zahran semakin
kencang yang membuat Ame semakin kesal mendengarnya.
Sadar jika
Ame sedang merajuk padanya, Zahra beranjak dari sofa dan duduk disebelah gadis
itu. “Ameira, yang semua aku katakan itu benar, tentang perasaanku padamu
bukanlah main-main. Maaf jika sikap cuek aku selama ini telah membuat kamu
tertekan, tapi perasaanku ini benar-benar tulus kepadamu. Jadi, maukah kamu
menerima si cowok rumahan yang masih dangkal dengan hal-hal percintaan menjadi
pacar kamu?” kata Zahran sambil menatap Ame intens.
Ame diam
selama beberapa detik dengan wajah gugup yang sangat terlihat jelas. Padahal ia
hanya tinggal menjawab ‘iya’, tapi mengapa rasanya sangat susah sekali untuk
mengucapkannya?
“Iya,
Zahran, aku terima pernyataan cinta kamu.” Zahran tak bisa menutupi rasa
bahagianya, tanpa sadar ia memeluk tubuh Ame dengan erat membuat gadis itu
sedikit speechless dengan perlakuan lelaki yang baru saja menyandang status sebagai kekasihnya itu.
“Terimakasih,
aku sangat senang kamu menerima cintaku, Ameira.” Zahran melepas pelukannya dan
menatap wajah Ame dengan binar bahagia.
“Aku yang
seharusnya berterimakasih sama kamu, ternyata cintaku selama ini nggak bertepuk
sebelah tangan.” Zahran mengelus puncak kepala Ame dengan lembut.
“Malam
nanti, aku akan mengenalkan kamu sebagai pacar aku kepada Ibuku,” kata Zahran
tiba-tiba membuat kedua mata Ame membulat sempurna.“Secepat itu? Tapi aku belum
memiliki persiapan apa-apa …,” kata Ame dengan panik.
“Nggak usah
takut, aku yakin Ibuku seratus persen akan setuju sama hubungan kita. Aku
beritahu satu rahasia yang Ibu katakan padaku,” kata Zahran dengan seringai misterius
di wajahnya.
“Apa itu?”
tanya Ame penasaran.
“Ibu pernah
bilang padaku bahwa dia ingin kamu menjadi menantunya kelak.” Wajah Ame
seketika menjadi merah padam mendengar perkataan kekasihnya itu. Zahran tertawa
gemas melihat tingkah malu-malu Ame yang sangat lucu di matanya.
Zahran
berharap hubungannya dengan Ame akan langgeng sampai saatnya ia lulus kuliah
dan memiliki pekerjaan tetap sehingga ia bisa menimang Ame menjadi istrinya
kelak. Memikirkannya saja membuat Zahran merasa tidak sabar hari itu tiba.
****
Happy ending lagi pemirsahhhhh wkwkwk😂
Next OS berarti genre sad yah, nanti aku harus nonton atau denger lagu yg sedih2 dulu biar kebawa emosi pas ngetiknya😂
Terimakasih sudah membaca dan sampai jumpa di oneshoot selanjutnyaaa~

Tidak ada komentar:
Posting Komentar