Rabu, 20 Mei 2020

The Boy Next Door (Oneshoot #6)


Haiiiiii aku balik lagi sama OS baru nih! Sebenernya udh dari kapan tau aku buat oneshoot ini, tapi baru di upload sekarang 😂
Jadi aku tuh niatnya mau upload oneshoot secara bergantian, misalnya hari ini aku upload genre romance, besoknya aku upload yg genre sad. Habis dibuat senyam-senyum langsung dibuat nangis ya gengs😂

Okay Happy Reading guys!

****

Pagi itu, seorang gadis cantik sedang menyiram tanaman di halaman depan rumahnya. Sesekali ia curi-curi pandang ke rumah di sampingnya, berharap sang empunya rumah keluar dan menyegarkan kedua mata indahnya di pagi hari ini.

Namanya Ameira, seorang mahasiswa yang baru pindah ke perumahan dekat kampusnya. Sebenarnya rumah ini bukan ia kos sendiri, melainkan milik tantenya yang sudah lama kosong. Karena itu Ameira diminta tantenya untuk tinggal di rumahnya yang sekarang ia tempati, daripada mencari tempat kos yang mahal dan sangat susah di cari.

Ameira sangat senang saat ditawari untuk tinggal di rumahnya, uang sakunya lumayan hemat untuk kebutuhan yang lainnya. Apalagi saat Ameira tau bahwa ada tetangga yang tinggal tepat disamping rumah tantenya adalah seorang lelaki tampan yang sangat jarang keluar rumah.

Ame, panggilan akrabnya, baru bertemu beberapa kali dengan lelaki itu. Saat itu ia baru saja pindah ke rumah tantenya, tiba-tiba saja si tetangga tampannya itu datang ke rumah untuk mengajaknya makan malam di rumahnya. 

Kaget? Tentu saja. Ame bahkan belum menyiapkan diri untuk berkenalan dengan tetangga yang lain, niatnya Ame akan berkunjung ke beberapa tetangga dekat rumahnya esok hari, karena ia perlu menyiapkan beberapa hal. Tidak etis bila Ame berkunjung dengan tangan kosong tanpa membawa apapun.

Yang membuat Ame lebih merasa takjub dan tak menyangka, ternyata ibu dari lelaki tampan yang bernama Zahran itu adalah teman tantenya saat masih tinggal disini. Sungguh, Ame tidak menyangka di malam pertama ia pindah kemari akan langsung diberi sebuah kejutan yang sangat tidak diduga-duganya.

Kira-kira sudah satu bulan lebih Ame tinggal di perumahan sederhana ini. Dan selama itu juga bisa dihitung berapa kali Ame bertatap muka dengan Zahran, si tetangganya itu. Yang hanya Ame tau, Zahran juga seorang mahasiswa yang juga sedang bekerja paruh waktu di coffe shop dekat kampusnya. Semua informasi tentangnya, Ame tau secara ekslusif dari ibunya.

“Hari ini dia nggak keluar juga? Betah amat di rumah, emangnya ada apa sih?” gerutu Ame kesal. Menurut informasi dari ibunya, Zahran memang tipe anak rumahan. Ia hanya akan keluar rumah jika mau kuliah dan bekerja saja. Selebihnya ia menghabiskan waktunya di dalam rumah, entah melakukan apa disana.

“Masa aku harus main ke rumahnya lagi?” Ame berkata pada dirinya sendiri. Demi bisa bertemu dengan sang pujaan hati, Ame rela dua hari sekali main ke rumah Zahran dengan dalih ingin bertemu ibunya. Begitulah resiko memiliki gebetan yang jarang ke luar rumah, jadilah Ame yang harus berkorban demi mengejar masa depannya yang cerah.

Ame menghela napas pasrah, sepertinya pagi yang kesekian kalinya ini akan menjadi sia-sia lagi. Baru saja Ame mematikan kran air dan hendak berbalik masuk kedalam rumah, pintu rumah Zahran terbuka. Ame buru-buru membungkukkan sedikit tubuhnya dan mengintip dari balik tembok pembatas rumahnya dan Zahran. Ame melihat Zahran yang membawa gunting rumput seketika membentuk sebuah senyuman di wajahnya.

Akhirnya, setelah tigapuluh menit lamanya Ame menunggu di luar, sosok Zahran muncul membuat pagi Ame terasa lebih cerah. Zahran dengan wajah cool di mata Ame menggunting daun-daun kering tanaman di halaman rumahnya.

Ame masih terus mengintip dengan senyum bodohnya setiap gerak-gerik Zahran tanpa ia ketahui bahwa lelaki itu…

“Sedang apa kamu disana?” Zahran berkata tiba-tiba membuat Ame jadi salah tingkah. Ame menegakkan tubuhnya kaku sambil merapikan rambutnya dengan canggung.

“Eh? A-aku lagi nyiram bunga,” jawab Ame dengan gugup. Zahran melirik tangan Ame yang masih memegang kran air.

“Yakin lagi nyiram bunga? Kok krannya mati?” sambungnya lagi membuat Ame semakin salah tingkah. Memang tembok pembatas rumahnya dan rumah Zahran tidak terlalu tinggi, jadi Ame bisa mengobrol dan bertatap muka dengan Zahran dari halaman rumah masing-masing.

“I-ini baru aja dimatiin tadi. Habisnya aku nunggu kamu keluar lama banget, jadinya daripada mubazir air mendingan aku matiin ….” Tersadar telah mengucapkan kata yang sangat fatal keluar dari mulutnya, Ame membanting kran air di tangannya begitu saja dan langsung berlari masuk ke dalam rumah seperti orang gila.

Zahran yang melihat tingkah aneh Ame hanya tertawa gemas. Semenjak kedatangan Ame disamping rumahnya, hidupnya berubah menjadi lebih berwarna. Yang biasanya di rumah hanya ibu yang dapat menghidupkan suasana rumah, kini ada Ame yang sering membuat rumahnya terasa lebih hidup.
Setelah memastikan Ame tidak keluar lagi dari rumahnya, Zahran memutuskan untuk masuk kedalam rumah dengan senyum geli yang masih menghiasi wajah tampannya.

***

Sudah sekitar dua jam setelah kejadian memalukan itu, tapi Ame belum bisa melupakan kebodohan yang baru saja ia lakukan.

“Kenapa sih punya mulut ember banget?” gerutu Ame sambil menepuk bibirnya kesal. Ame tidak melihat ekspresi Zahran setelah ia mengatakan hal laknat itu karena ia sudah terlanjur kelewat malu pada lelaki itu.

“Selesai sudah, setelah ini pasti Zahran nggak akan mau lagi ngobrol sama aku. Pasti dia ilfeel deh sama omongan aku, pasti Zahran kira aku cewek ganjen yang ngejar-ngejar dia. Eh, bukannya bener ya? Aish tapi, aduuuh … bodoh banget sih kamu, Ame!” Ame terus saja merutuki dirinya sendiri sambil mengacak-acak rambutnya kesal.

Tok Tok

Ame terperanjat dari sofa sambil menatap ke arah pintu dengan tatapan bertanya. Ame mengambil langkah lebar menuju pintu utama, sebelum itu ia waspada dengan mengintip terlebih dahulu melalui jendela dekat pintu. Betapa terkejutnya Ame melihat sang tamu yang mengetuk pintu itu ternyata lelaki yang menghantui pikirannya sejak tadi pagi.

Ame buru-buru merapihkan kembali rambutnya yang berantakan akibat dari kekesalannya tadi. Ame membuka pintu secara perlahan sambil tersenyum semanis mungkin. “Zahran, ada apa ya?” Sebisa mungkin Ame menghalau rasa gugupnya dan berlakon senormal mungkin di hadapan Zahran.

“Aku pesan makanan lewat aplikasi online tadi dan ternyata porsinya kebanyakan. Aku mau numpang makan di rumah kamu, boleh?” tanya Zahran sambil mengangkat tangannya yang sedang memegang satu kantong plastik besar bernamakan restoran terkenal.

“Ah iya boleh, silahkan masuk.” Ame membuka pintunya lebar-lebar sehingga Zahran bisa masuk kedalam. Zahran berjalan menuju ruang tengah diikuti Ame dibelakangnya.

“Aku boleh duduk disini, kan?” tanya Zahran yang langsung dibalas anggukan oleh Ame. Zahran duduk di sofa sambil mengeluarkan satu per satu makanan dari dalam kantong plastik.

“Kamu nggak mau makan di ruang makan?” tawar Ame dengan nada setenang mungkin. Padahal tubuhnya sudah panas dingin dan jantungnya berdetak sangat cepat. Ame sangat bersyukur bibirnya tidak gemetaran yang bia membuat ia terlihat bodoh untuk kedua kalinya dihadapan Zahran.

“Nggak usah, lebih enak makan disini,” jawab Zahran. Ame ikut duduk di sofa berhadapan dengan Zahran. Ia menatap makanan yang sangat menggiurkan itu dengan mata yang berbinar.

“Kamu pesannya nggak kebanyakan? Emangnya kamu sanggup habisin semua makanan ini?” Ame menunjuk semua makanan yang tersusun rapih di atas meja dengan tatapan ragu.

“Siapa yang mau menghabiskan semuanya sendiri? Kamu juga ikut makan, Ameira. Aku nggak akan pelit kalau soal makanan,” sahut Zahran dengan nada lembutnya membuat semburat merah di wajah Ame muncul.

“Aku ambilkan piring dulu.” Ame beranjak dari sofa berjalan menuju dapur sambil menahan senyum bahagianya. Ame mengambil dua piring dan dua sendok untukya dan Zahran. Ame tidak menyangka bahwa ia bisa makan berdua bersama dengan Zahran di rumahnya. Rasanya seperti pasangan baru menikah yang sedang bahagia menikmati makanan berdua.

 Aih… barusan Ame berpikir yang iya-iya lagi—eh maksudnya yang tidak-tidak lagi.

Ame kembali dengan membawa piring dan sendok yang tadi ia ambil di dapur. Dengan sigap Ame menaruh makanan keatas piring dan memberikannya kepada Zahran. Lelaki itu mengucapkan terimakasih sambil tersenyum penuh arti kepada Ame.

Mereka berdua makan bersama dengan tenang. Zahran tidak banyak bicara ketika makan membuat Ame sedikit merasa canggung dengan suasana hening seperti saat ini. “Ibu kamu kemana?” tanya Ame memecah keheningan diantara mereka.

“Ibuku sedang ke rumah bibi buat bantu-bantu lagi hajatan disana,” jawab Zahran singkat. Lagi-lagi suasana kembali hening dan itu benar-benar mengganggu Ame.

“Ameira, menurut kamu kalau cewek yang mengejar cowok duluan itu gimana?” tanya Zahran tiba-tiba membuat Ame tersedak kuah sop yang sedang ia makan.

Zahran yang panik melihat Ame terbatuk-batuk dengan sigap memberikan air minum botol miliknya kepada Ame. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Zahran khawatir. Ame menggeleng, sambil tersenyum tipis. “Nggak apa-apa kok,” jawabnya dengan gugup. Zahran ini meledeknya atau gimana sih? Kenapa tiba-tiba ia mendadak bertanya hal seperti itu kepada Ame?

“Ke-kenapa kamu mendadak tanya itu?” Ame tidak berani memandang wajah Zahran. Entah kenapa ia mendadak merasa malu dengan pertanyaan yang Zahran ucapkan. Benarkah Zahran sedang menyindirnya secara halus? Apakah Zahran mengetahui bahwa Ame selama ini suka padanya tapi ia sengaja pura-pura tidak mengetahuinya?

“Bukan, temanku tadi bertanya dan meminta pendapatku. Menurutku nggak ada salahnya jika cewek yang mengutarakan perasaannya terlebih dahulu kepada cowok. Aku rasa itu nggak aneh, bagaimana menurut kamu?” Zahran menatap Ame lekat-lekat membuat gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Apa ini karena Ame yang keceplosan tadi pagi makannya Zahran bertanya seperti itu? Apakah Zahran benar-benar menyadari perasaannya selama ini gara-gara perkataan bodohnya tadi pagi?

Ame, kamu harus minta maaf segera.

Nggak usah! Kamu nggak salah apa-apa. Itu kan perasaan kamu, kamu berhak mengatakan itu ke dia.

Suara hati Ame saling beradu argument. Ame bimbang memilih antara meluruskan perkataannya tadi pagi agar tidak terjadi kesalah pahaman yang akan membuat Zahran menjauh darinya atau ia harus jujur pada lelaki itu bahwa selama ini ia memiliki rasa padanya.

“Ehm … Zahran, aku mau minta maaf soal tadi pagi.”

Dahi Zahran mengkerut bingung, “Memangnya tadi pagi kenapa?”

“Itu loh aku yang keceplosan kalau aku nunggu kamu keluar rumah. Aku benar-benar nggak tau kenapa bibir aku bisa keceplosan ngomong begitu. Aku benar-benar nggak sadar waktu ngomong itu, aku minta maaf.” Ame berkata sambil menundukkan wajahnya, antara merasa sedih dan malu.

“Kenapa minta maaf? Aku suka kamu ngomong itu tadi pagi,” kata Zahran membuat Ame mengangkat wajahnya dan menatap lelaki itu dengan ekspresi terkejut bercampur bingung.

“Eh?” tanya Ame memastikan. Ame tidak salah dengar, kan? Barusan Zahran mengatakan bahwa ia suka dengan perkataannya tadi pagi?

Zahran mengangguk mantap, kemudian ia menaruh sendok keatas piring dan menatap wajah Ame lekat-lekat. “Karena topik sedang dibahas, maka aku mau jujur sama kamu.” Ame menelan salivanya susah payah, harap-harap cemas menunggu apa yang akan dikatakan oleh Zahran setelah ini.

“Aku suka sama kamu, Ameira.” Kata-kata singkat yang keluar dari mulut Zahran berhasil membuat tubuh Ame membeku. Beberapa kali Ame mengerjapkan matanya, seakan tak percaya telah mendengar kata-kata sakral yang selama ini ingin ia dengar dari bibir Zahran sendiri.

“Aku tau mungkin ini terlalu mendadak, tapi aku nggak bisa menahan perasaan aku lagi. Sejak kamu datang dan tinggal di rumah sebelah, kamu menarik perhatianku apalagi setelah Ibu menyuruhku mengundangmu  untuk makan malam bersama. Kamu tau kan, aku itu cowok rumahan yang tidak terlalu tertarik dengan dunia luar apalagi perempuan? Tapi setelah melihat kamu berhasil dekat dengan Ibu dan sering berkunjung ke rumah, aku merasakan perasaan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Hanya kamu, Ameira, yang berhasil membuat hatiku tergerak untuk dapat merasakan cinta.” Zahran berkata dengan nada lembut namun ekspresi wajahnya sangat serius itu justru nampak lucu di mata Ame.

Ame melirik malu-malu Zahran dihadapannya, “A-aku kira selama ini kamu nggak suka sama aku. Aku kira cintaku bertepuk sebelah tangan …,” sahutnya dengan nada rendah.

“Kamu salah besar, Ameira. Kamu kira selama ini aku nggak memberi kamu kode bahwa aku suka sama kamu? Kamu kira selama ini yang mengajak kamu makan malam adalah Ibuku? Bukan, itu adalah aku, tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya secara langsung. Lalu, dengan segala hadiah yang mengatasnamakan Ibuku, itu juga semua hadiah dariku. Aku hanyalah cowok rumahan biasa yang nggak tau cara mendekati seorang cewek, maafkan aku.” Zahran menatap wajah Ame dengan ekspresi menyesal.

“Jadi kamu selama ini tau kalau aku suka sama kamu?” tanya Ame dengan wajah kaget. Zahran menganggukkan kepalanya, “Iya, tingkah kamu lucu setiap ada aku pasti kamu langsung gugup gitu dan akhirnya masuk ke rumah nggak keluar semalaman.” Zahra tertawa geli setiap mengingat tingkah lucu Ame.

Ame mengambil satu bantal sofa dan melemparnya ke arah Zahran. “Ikh, kamu mah! Kalau kamu udah tau dari dulu, kenapa nggak langsung bilang suka sama aku sih? Kan aku jadi malu …,” kata Ame sambil memberengut kesal.

“Kapan lagi aku bisa isengin kamu sampai muka kamu merah kayak tomat?” tawa Zahran semakin kencang yang membuat Ame semakin kesal mendengarnya.

Sadar jika Ame sedang merajuk padanya, Zahra beranjak dari sofa dan duduk disebelah gadis itu. “Ameira, yang semua aku katakan itu benar, tentang perasaanku padamu bukanlah main-main. Maaf jika sikap cuek aku selama ini telah membuat kamu tertekan, tapi perasaanku ini benar-benar tulus kepadamu. Jadi, maukah kamu menerima si cowok rumahan yang masih dangkal dengan hal-hal percintaan menjadi pacar kamu?” kata Zahran sambil menatap Ame intens.

Ame diam selama beberapa detik dengan wajah gugup yang sangat terlihat jelas. Padahal ia hanya tinggal menjawab ‘iya’, tapi mengapa rasanya sangat susah sekali untuk mengucapkannya?

“Iya, Zahran, aku terima pernyataan cinta kamu.” Zahran tak bisa menutupi rasa bahagianya, tanpa sadar ia memeluk tubuh Ame dengan erat membuat gadis itu sedikit speechless dengan perlakuan lelaki yang baru saja menyandang status sebagai kekasihnya itu.

“Terimakasih, aku sangat senang kamu menerima cintaku, Ameira.” Zahran melepas pelukannya dan menatap wajah Ame dengan binar bahagia.

“Aku yang seharusnya berterimakasih sama kamu, ternyata cintaku selama ini nggak bertepuk sebelah tangan.” Zahran mengelus puncak kepala Ame dengan lembut.

“Malam nanti, aku akan mengenalkan kamu sebagai pacar aku kepada Ibuku,” kata Zahran tiba-tiba membuat kedua mata Ame membulat sempurna.“Secepat itu? Tapi aku belum memiliki persiapan apa-apa …,” kata Ame dengan panik.

“Nggak usah takut, aku yakin Ibuku seratus persen akan setuju sama hubungan kita. Aku beritahu satu rahasia yang Ibu katakan padaku,” kata Zahran dengan seringai misterius di wajahnya.

“Apa itu?” tanya Ame penasaran.

“Ibu pernah bilang padaku bahwa dia ingin kamu menjadi menantunya kelak.” Wajah Ame seketika menjadi merah padam mendengar perkataan kekasihnya itu. Zahran tertawa gemas melihat tingkah malu-malu Ame yang sangat lucu di matanya.


Zahran berharap hubungannya dengan Ame akan langgeng sampai saatnya ia lulus kuliah dan memiliki pekerjaan tetap sehingga ia bisa menimang Ame menjadi istrinya kelak. Memikirkannya saja membuat Zahran merasa tidak sabar hari itu tiba.

****

Happy ending lagi pemirsahhhhh wkwkwk😂
Next OS berarti genre sad yah, nanti aku harus nonton atau denger lagu yg sedih2 dulu biar kebawa emosi pas ngetiknya😂

Terimakasih sudah membaca dan sampai jumpa di oneshoot selanjutnyaaa~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar